Kebakaran
massif di Jambi sejak 1997 hingga sekarang menimbulkan dampak yang merugikan
masyarakat. Tahun 2015, selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra
satelit, terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di
Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu
lingkungan hidup kemudian tinggal 27%. Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan
Hidup dilihat dari “daya dukung” dan “daya tampung”, Instrumen Hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, penggunaan “scientific” dan pengetahuan
lokal masyarakat memandang lingkungan hidup.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang
berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan
di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas
yang dilepas Jerman.
25,6 juta orang terpapar
asap dan mengakibatkan 324.152
jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar
pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali
lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang
anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita
di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di
Sumsel.
Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa
diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di
Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan
sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di
Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.
Kelima daerah kemudian menyatakan “darurat asap” sehingga
diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api selama tiga bula lebih.
Kebakaran dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan,
menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan
mengganggu hubungan regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan
nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency
(NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di
Singapura.
Entah
mengapa tahun 2019 kebakaran kembali berulang. Ditempat yang sama dan
mengakibatkan jumlah korban yang terus bertambah. Data dari Dinkes menyebutkan
hingga September 2019, jumlah korban ISPA sudah mencapai 64.147 orang. Angka
mengerikan dibandingkan tahun 2015.
Disatu
sisi, Polda Jambi sudah menyatakan 12 perusahan yang menyebabkan kebakaran.
Sedangkan menurut KLHK, 7 perusahaan telah disegel. 6 adalah perusahaan yang
terletak digambut. Perusahaan yang terbakar kembali setelah tahun 2015.
Lalu
dimana problema kebakaran 2019. Apakah pemberian izin digambut yang kemudian
menyebabkan kebakaran yang menjadi persoalan ?
Tanggungjawab
perusahaan yang beraktivitas diareal gambut merupakan konsekwensi dari “pemegang
izin’. Sebagai perusahaan yang bersedia beraktivitas digambut, maka selain
pengelolaan yang harus tunduk dengan mekanisme yang telah diatur didalam
regulasi negara, juga harus mempunyai peralatan yang mendukung. Baik peralatan
pencegahan maupun peralatan penanggulangan. Mekanisme inilah yang menjadi
materi didalam pemeriksaan dalam proses hukum.
Sedari
awal, problema kebakaran terutama diareal gambut adalah problema pemberian izin
diareal gambut. Regulasi yang masih membolehkan pengelolaan gambut (PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016, Permen
LHK No. 15,16,17/2017, Permentan No. 5/2018) tidak mampu mencegah kebakaran
yang terus berulang. Lalu apakah regulasi yang tidak dipatuhi ? Atau memang ada
problema pengelolaan gambut yang masih menyisakan persoalan ?
UU
No. 32/2009 sudah mewanti-wanti. Gambut kemudian diletakkan sebagai kawasan
unik (ecosystem essensial). Sebagai kawasan unik maka gambut haruslah
diperlakukan “khusus”. Tidak dapat disandingkan dengan model pengelolaan dengan
entitas lain seperti “minyak, panas bumi, sawit, hutan”.
Turunan
UU No. 32/2009 seperti PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016 kemudian menegaskan.
Pasal 9 ayat (2) kemudian menyebutkan fungsi gambut. Yakni fungsi lindung dan
fungsi budidaya. Pasal 9 ayat (4) PP No. 71/2014 kemudian menyebutkan kategori
gambut lindung seperti kedalaman 3 meter lebih, terdapat plasma nutfah spesifik
dan spesies yang dilindungi.
Pertanyaannya
? Apakah gambut dikedalamanan 3 meter merupakan areal yang aman untuk dikelola
?
Dalam
praktek ditengah masyarakat, kawasan gambut sering disebutkan seperti “Tanah redang” (Riau), Soak, danau, lopak,
Payo, Payo dalam, Bento, hutan hantu pirau (Jambi), Rawang Hidup, lebak Lebung,
Lebak Berayun (Sumsel), Tanah Sapo, Gente (Kalbar), Pakung pahewa, Tanah Petak,
Petak Sahep (Kalteng), Tanah Ireng, Tanah Item (Kalsel), Tanah Begoyang
(Papua)”.
Tempat-tempat yang disebutkan malah
tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi). Baik untuk pertanian. Apalagi untuk
perkebunan. Daerah ini hanya digunakan untuk mengambil ikan dan air bersih (akses).
Sehingga dipastikan dari dulu memang daerah itu adalah dilarang untuk dikelola.
Daerah ini kemudian dikenal sebagai “gambut dalam”. Secara scientific
ditempatkan sebagai kawasan lindung.
Lalu berapa kedalaman areal gambut
lindung berdasarkan praktek ditengah masyarakat ?
Di Dayak dikenal proses mengetahui
tekstur tanah. Dengan menancapkan Mandau dan kemudian menariknya, maka akan
ditentukan apakah daerah itu boleh dibuka atau tidak boleh. Apabila diujung Mandau
terdapat tanah, maka tanah boleh digunakan. Sedangkan apabila diujung Mandau ternyata
tidak ditemukan tanah, maka daerah itu kemudian tidak boleh diganggu.
Didaerah Kumpeh ditandai dengan “akar bekait, pakis dan
jelutung” (Walhi, 2016). Didaerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato
cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim). Kesemuanya bermakna sebagai fungsi
lindung. Dan rata-rata dikedalaman cuma 0,5 meter.
Didaerah lindung gambut inilah,
areal hanya digunakan untuk mengambil ikan, air dan pandan serta purun.
Lalu ketika areal yang dilindungi
masyarakat kemudian dianggap sebagai daerah tidak bertuan atau Tanah liar (woeste grond). Sehingga ketika tanah,
hutan, tanah liar, tanah terpakai, tanah tidak dibudidayakan atau tanah kosong
maka kemudian negara memberikan izin. Baik kepada perkebunan di areal APL
maupun kepada pemegang konsensi kehutanan (kawasan hutan). Pemberian massif
sejak 2006.
Pemegang konsesi kemudian membangun
kanal utama (kanal primer). Mengeringkan dan kemudian menanam sawit. Sehingga
daerah-daerah kemudian kering. Dan mudah terbakar.
Lalu ketika kebakaran 2006, 2010,
2011, 2012, 2013, 2015 dan 2019 dan terus berulang, maka menimbulkan persoalan
dalam tataran empiris.
Di Desa Sungai Aur nama-nama tempat seperti
Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang
kerangi, Pematang Kayo, pematang duren, Sungai Batanghari, Sungai Sumpit,
Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam adalah
tempat-tempat menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.
Kebakaran 2015 kemudian
menghanguskan seluruh areal yang semula ditanami padi dan kemudian telah
menjadi tanaman sawit. Padahal Desa Sungai Aur terkenal sebagai “lumbung padi” sebelum kedatangan sawit
tahun 2000-an.
Begitu juga di Desa Kota Kandis
Dendang dikenal tempat seperti Hutan Hijau, Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung
Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).
Sehingga dipastikan, data-data empiris
yang berangkat dari praktek pengetahuan di Desa sekitar gambut yang meletakkan
sebagai daerah budidaya gambut oleh regulasi negara yang kemudian terbakar adalah
daerah lindung yang harus dikembalikan fungsinya. Fungsi lindung. Sehingga
harus dikembalikan dibasahi (restorasi gambut).
Sehingga penetapan fungsi lindung
dikategorikan kedalamanan 3 meter terbantahkan dengan kebakaran massif yang
terus berulang hingga tahun 2019.
Justru regulasi menetapkan kedalaman
3 meter harus sesuai dengan tipologi gambut. Berdasarkan kebakaran yang terus
berulang dan praktek pengetahuan ditengah masyarakat justru regulasi harus
menetapkan kedalamanan gambut 0,5 meter. Praktek yang sudah dikenal masyarakat
gambut turun temurun.
Bukankah pasal Pasal 11 ayat (1) junto Pasal 18 ayat (1) PP No.
57/2016 sudah mengamanatkan perubahan fungsi. Fungsi budidaya dikembalikan ke
fungsi lindung. Menteri kemudian dapat melakukannya (Pasal 11 ayat (2) dan ayat
(3) PP No. 57/2016).
Sedangkan
pemegang izin berkewajiban untuk memulihkan. Mandat yang tegas dinyatakan
didalam Pasal
30 ayat 1 PP No. 57 Tahun 2016 junto Pasal 31 A PP No. 57/2016.
Baca juga : Gambut dari pendekatan Etnografi