Pengaturan gambut ditempatkan sebagai kawasan Esensial. UU No. 32/2009 menyebutkan sebagai “ecoregion). Pasal 1 angka (1) UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan “ecoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan fauna asli serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas system alam dan lingkungan hidup”. Berbagai literatur kemudian menempatkan “rawa, gambut, Sungai, savana, pesisir, laut, karst”.
Regulasi kemudian menegaskan didalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP No. 28 Tahun 2011 kemudian menegaskan sebagai Kawasan ekosistem esensial adalah “karst”, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau dan diwilayah pasang surut, mangrove dan gambut”.
Sehingga PP No. 28 Tahun 2011 kemudian mendefinisikan sebagai Kawasan esensial yang terdiri dari “ekosistem esensial lahan basah dan ekosistem terrestrial”. “Ekosistem lahan basah” kemudian terdiri dari danau, sungai, payau, rawa, Mangrove dan gambut’.
Ketika gambut sebagai Kawasan esensial berdasarkan PP No. 28 Tahun 2011 juga ditegaskan sebagai “Kawasan plasma nutfah spesifik dan atau endemik” (Pasal 9 ayat (4) huruf b PP No. 71 Tahun 2014”.
Turunan UU No. 32 Tahun 2009 kemudian dilihat didalam Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2004 yang kemudian diperbaiki PP No. 57 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut.
Istilah gambut kurang dikenal ditengah masyarakat. Di Jambi malah dikenal soak, danau, lopak, payo, payo dalam, bento, hutan hantu pirau. Di Riau dikenal “tanah redang”. Atau “lebak berayun, tanah bergelombang dan tanah sako. Ada juga menyebutkan “Lebak Lebung” atau “rawang hidup” (Sumsel). Tanah sepo’, gente (Kalbar), pakung pahewa, tanah petak, petak sahep (Kalteng), tanah ireng, tanah item (Kalsel), tanah begoyang (Papua).
Cara melihat sangat sederhana. Ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Walhi, 2016). Di daerah Hilir Jambi dikenal dengan “dua-tigo mato cangkul” (Perdes Sungai Beras, Tanjabtim). Di Kalteng malah ditandai dengan “ujung Mandau”. Caranya “Mandau ditusukkan ketanah. Kemudian diangkat. Apabila diujung Mandau tidak terdapat tanah, maka dipastikan “tanah tidak boleh dibuka”. Begitu sebaliknya.
Sehingga nama tempat seperti “tanah redang” (Riau), soak, danau, lopak, payo, payo dalam, bento, hutan hantu pirau (Jambi), rawang hidup, lebak lebung, lebak berayun (Sumsel), tanah sepo’, gente (Kalbar), pakung pahewa, tanah petak, petak sahep (Kalteng), tanah ireng, tanah item (Kalsel), tanah begoyang (Papua) yang ditandai dengan “akar bekait, pakis, jelutung”, “dua-tigo mato cangkul” maka dipastikan sebagai “gambut dalam” berfungsi lindung.
Problema yuridis mulai muncul. Regulasi masih menempatkan gambut fungsi lindung masih menempatkan “kedalaman 3 meter atau lebih (Pasal 9 ayat (2) huruf dan Pasal 2 ayat (4) huruf a PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016). Sehingga gambut kedalaman 3 mter lebih kemudian ditetapkan sebagai Kawasan gambut fungsi lindung.
Problema muncul. Bagaimana dengan gambut fungsi budidaya (dibawah 3 meter) yang kemudian diatur didalam Pasal 9 ayat (2) huruf b dan pasal 9 ayat (6), Pasal 21 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016 ?
Apakah masih relevan menempatkan gambut fungsi lindung “kedalaman 3 meter atau lebih” ?
Apabila kita telaah kebakaran 2013, 2015 dan 2019 maka kebakaran justru terletak dikawasan yang justru “ditetapkan sebagai Kawasan lindung” oleh masyarakat.
Sebagai contoh. Di Desa Sungai Aur (Kumpeh, Muara Jambi), nama-nama tempat seperti Danau Ara, Danau Selat, Danau Rumbe, Talang babi, Lubuk Ketapang, Pematang kerangi, Pematang Kayo, pematang duren, Sungai Sumpit, Sungai Aur, Sungai Palu dan Olak Resam adalah nama-nama tempat kebakaran tahun 2015. Padahal nama-nama tempat ini dikenal sebagai daerah untuk menyediakan air untuk tanaman padi. Khas Payo.
Begitu juga di Desa Kota Kandis Dendang (Kecamatan Dendang, Tanjabtim) dikenal tempat seperti Hutan Hijau. Atau “Pematang Gede Mat, Ujung Sungai Bungur, Ujung Pematang Tepulo, Ujung Pematang Sirih, Ujung Pematang Tepus (Desa Sungai Bungur).
Kawasan yang terbakar memang dikenal sebagai “danau”, “soak”, lopak” yang ditandai dengan “akar bekait, pakis dan jelutung” (Kumpeh). Sehingga dipastikan ‘areal” terbakar memang dikenal tempat yang tidak pernah dikonversi untuk lahan pertanian ataupun perkebunan. Dan tempat ini memang dikenal sebagai “Kawasan lindung”.
Kebakaran 2013 dan 2015 berulang 2019 adalah pesan dari alam. Kategori gambut fungsi lindung dengan “kedalaman 3 meter atau lebih” menjadi terbantahkan dengan kebakaran 2013 dan 2015 yang kemudian berulang 2019.
Atau dengan kata lain, “areal yang terbakar’ adalah dikawasan lindung oleh masyarakat. Sehingga kategori “kedalaman 3 meter atau lebih” berdasarkan regulasi (Pasal 9 ayat (2) huruf b dan pasal 9 ayat (6), Pasal 21 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016) menjadi tidak relevan lagi.
Apabila menggunakan pengetahuan empirik ditengah masyarakat dengan menandai seperti “akar bekait, pakis dan jelutung” atau “dua-tigo mato cangkul” atau “ujung Mandau” justru menempatkan gambut berfungsi lindung hanya 0,5 meter. Sehingga dipastikan, diatas 0,5 meter justru ditempatkan sebagai Kawasan gambut berfungsi lindung.
Sehingga dipastikan areal yang terbakar 2013, 2015 dan berulang 2019 adalah tempat yang dilindungi oleh masyarakat.
Dengan demikian maka makna “gambut fungsi lindung dengan “kedalaman 3 meter atau lebih” harus dikembalikan kepada hakekat gambut itu sendiri.
Penetapan “gambut fungsi lindung” berdasarkan 0,5 meter harus dikembalikan dan menjadi baseline untuk melihat regulasi Pasal 9 ayat (2) huruf b dan pasal 9 ayat (6), Pasal 21 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016.
Sehingga revisi kedalaman gambut berfungsi lindung dengan kedalaman 3 meter harus direvisi didalam regulasi.
Dengan demikian maka regulasi harus menggunakan indicator kedalaman gambut 0,5 meter untuk memperbaiki redaksi kalimat yang masih mencantumkan “gambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih” menjadi “gambut dengan ketebalan 0,5 meter atau lebih” (Pasal 9 ayat (2) huruf b PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016). Sehingga “gambut dengan ketebalan 0,5 meter atau lebih” maka “berfungsi lindung ekosistem gambut” (Pasal 9 ayat (6), Pasal 21 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016).
Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi