09 Juli 2020

opini musri nauli : Perhutanan Sosial - Refleksi Pengakuan Hak



Paska penolakan izin PT. DAM di daerah jangkat (Merangin), tawaran untuk Hutan Adat kemudian disampaikan oleh Hasan Basri Harun (Wakil Bupati Merangin). Waktu itu “semangat menggelora” tentang Hutan Adat begitu menggema.

Namun ketika dilihat regulasi, Hutan Adat belum memungkinkan. Aturan regulasi yang diatur didalam UU Kehutanan belum diturunkan dalam regulasi teknis (entah Peraturan Menteri Kehutanan ataupun aturan teknis ditingkat Dirjen).
Aturan regulasi teknis merupakan “jimat” ampuh dikalangan birokrasi. Entah mengapa “aturan teknis” merupakan petunjuk bagi birokrat untuk menentukan. Apakah pengajuan proses dapat dilanjutkan atau tidak.

Sementara itu aturan umum masih diatur didalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan masih menyebutkan “persyaratan” tentang masyarakat Hukum Adat dengan menyebutkan “sepanjang kenyataan masih ada dan diakui keberadaannya. “Dengan hak melakukan pemungutan hasil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan (Pasal 67 ayat 1 huruf a UU Kehutanan), melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku (Pasal 67 ayat 1 huruf b UU Kehutanan). Sedangkan pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan memberikan mandate “pengukuhan keberadaan masyarakat Hukum adat harus berupa Peraturan Daerah.

Sementara itu, issu Hutan adat sebagaimana putusan MK No. 35/2012 belum menjadi wacana nasional. MK sendiri belum memutuskan mengenai Hutan Adat berdasarkan konstitusi.

Akhirnya kemudian “dipilih” taktis untuk mengusung Hutan Desa. Regulasi masih memungkinkan dilihat dari PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Selain itu regulasi seperti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.49/MENHUT-II/2008 Tentang Hutan Desa (Permen Kehutanan No P.49/2008). Perkembangan Permen Kehutanan No P.49/2008 kemudian diperbarui Dengan Permen Kehutanan No. P.53/MENHUT-II/2011.

Ketika itu dibentuk aliansi Poros Masyarakat Kehutanan Merangin (PMKM) yang terdiri dari KKI-Warsi, Walhi Jambi, Pundi Sumatera dan Lembaga Tiga Beradik (LTB). PMKM kemudian mengorganisir, membuat perencanaan pengusulan hutan Desa ke Kementerian Kehutanan.

Ketika pilihan “taktis” mengusulkan Hutan Desa, kritik tajam ditujukan kepada Walhi Jambi. Walhi Jambi dituding menjadi “biang” mendukung konsep negara. Berbagai hujatan seperti “tanah kok dinegosiasikan”, “negara tidak mengakui hak rakyat terhadap hutan” menjadi umpatan sehari-hari. Bahkan tuduhan yang paling menyakitkan adalah “Walhi Jambi melalui Hutan Desa mendukung perubahan iklim.

Entah dalam berbagai guyonan maupun kritik tajam dalam forum-forum informal dalam agenda resmi nasional.

Masih ingat perkataan Direktur Walhi Jambi. “Kito jalan terus, lur. Kagek orang tau siapa yang bekerja. Siapa yang idak”. Dengan pendek penulis hanya menyampaikan. “Bismillah. Kurangi interaksi forum nasional. Perbanyak dilapangan.

Waktupun berlalu. Dalam kesempatan di Jakarta, penulis mendampingi Direktur Walhi Jambi (alm Arif Munandar) bertemu dengan pimpinan Nasional Walhi di Jakarta.

Dalam pertemuan informal, diceritakan “pilihan taktis” mengusung Hutan Desa. Pilihan Hutan Desa semata-mata berkejaran waktu sehingga Kawasan hutan yang belum diberi izin kepada pemegang konsensi dapat diletakkan sebagai hak untuk masyarakat. Sementara regulasi Hutan Adat belum memungkinkan. Masih diperlukan waktu Panjang untuk menerbitkannya. Dan itu menjadi ranah politis yang tidak mungkin bisa ditunggu.

Walhi nasional kemudian “mengamini”. Setelah melihat berbagai standing Walhi terutama melihat pandangan Walhi dalam berbagai issu termasuk manifesto maka kemudian dilihat dengan nilai prinsip yang menjadi panduan. Walhi menunjuk standing sebagai “penghormatan masyarakat terhadap hutan”, “keberlanjutan”.

Dua nilai ini kemudian sering menjadi tagline kampanya “menyelamatkan Kawasan ekologi genting”. Tagline kemudian dimaknai kepengurusan Walhi sekarang dengan tagline “menyelamatkan rimba terakhir”. Penulis lebih suka memaknai “rimba terakhir” dengan diksi “rimba tersisa”.

Sehingga dengan melihat nilai Walhi “penghormatan masyarakat terhadap hutan”  dan nilai “keberlanjutan” dalam tagline “menyelamatkan Kawasan ekologi genting”, kemudian dipahami “hutan Desa” adalah cover. Pilihan taktis ketika itu.

Disatu sisi, tim lapangan kemudian bekerja keras. Berbagai regulasi yang “memerintahkan” pengajuan Hutan Desa dengan dilampiri bahan-bahan teknis kemudian dipersiapkan. Tim Lapangan seperti Rudiansyah (sekarang Direktur Walhi Jambi), Eko Waskito (sekarang Tenaga Ahli Pendamping Desa), Sutono (sekarang Direktur Pundi Sumatera), Marwan (Pendamping Desa), Edi Endra (Tenaga Ahli Pendamping Desa Provinsi Jambi), Nelly (sekarang orang penting di PT. ABT) adalah saksi bagaimana kesulitan mengumpulkan data-data dari lapangan.

Dari 82 ribu hektar yang diusulkan menjadi 49 ribu hektar. Dari 22 Desa menjadi 17 Desa. Terletak di 3 hamparan.

Bayangkan. Bagaimana mereka bekerja berkejaran dengan waktu, mengumpulkan data dari nol (mengumpulkan cerita tentang wilayah, tata ruang, model pengelolaan hingga mengolah menjadi peta indikatif) menjadi dokumen yang layak diusulkan menjadi hutan Desa.

Belum lagi rute perjalanan yang mesti menggunakan “ban dikelilingi dengan rantai yang diikat”, memerlukan waktu untuk mengumpulkan masyarakat, masih asingnya wacana hutan Desa. Hingga berbagai kendala dilapangan yang memungkinkan pergeseran waktu.

Akhirnya tahun 2011 kemudian turun pengakuan Hutan Desa. 14 Hutan Desa kemudian diterima oleh Pemerintah Desa. 3 menyusul kemudian.

Terbayar lunas terhadap upaya kerja keras dari PMKM. Negara menghormati masyarakat yang tinggal dikawasan hutan berdasarkan Hutan Desa.

Namun sebagai pilihan “taktis”, Walhi Jambi sendiri merumuskan Hutan Desa dengan model pengelolaan Hutan Desa berdasarkan pengetahuan dan cara pandang Hukum Adat didesa masing-masing.

Lahirnya Peraturan Desa Tanjung Mudo No. 07 Tahun 2011 Tentang Piagam Rio Penganggun Jago Bayo, Peraturan Desa Tanjung Alam Nomor 03 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo, Peraturan Desa Gedang tahun 2011 Tentang Keputusan Adat Istiadat Depati Suko Merajo, Peraturan Desa Nomor 01 Tahun 2011 Tentang Lembaga Pengelola Hutan Desa Depati Suko Dirajo dan Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo.

Materi Peraturan Desa berisikan dari sejarah Desa, wilayah Desa (tembo), Pantang larang (larangan), Tatacara membuka hutan, retribusi, sanksi adat dan jenjang adat (tata cara penyelesaian sengketa adat).

Berbagai Seloko lahir. Belukar lasah, pantang larang, keaek bebungo pasir-kedarat bebungo kayu, alam sekato Rajo-negeri sekato batin, harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawa, cacak tanam. Jambu kleko, Nasi putih. Air jernih, jenjang adat, sanksi adat, gantang, rimbo ganuh.

Seloko yang dirumuskan didalam Peraturan Desa adalah nilai dan norma yang menjadi pedoman dan masih berlaku dalam kehidupan sehari-hari ditengah Desa.

Dengan pedoman dan cara pandang terhadap seloko maka diharapkan model pengelolaan Hutan Desa tetap merujuk kepada Hukum adat dan nilai yang dihormati dan menjadi praktek untuk menjaga “keberlanjutan hutan Desa” untuk anak cucu di Desa.

Dalam perkembangannya, model pengelolaan Hutan Desa kemudian diatur lebih lanjut yang kemudian dikenal satu regulasi. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial (Perhutanan Sosial/PS).

Regulasi P.83/2016 sebagai Perhutanan Sosial juga mencakup Hutan Adat, Hutan Tanaman rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan kemitraan Kehutanan.

Tidak salah kemudian makna Perhutanan Sosial adalah bentuk nyata dari penghormatan dari refleksi Pengakuan Hak. Terutama masyarakat yang tinggal hidup dan sekitar Kawasan hutan. Sebuah upaya dari rintisan Panjang hingga 8 tahun.

Tema Perhutanan Sosial menjadi tagline dan menjadi rujukan didalam melihat berbagai konflik disektor kehutanan. Menjadi tagline yang kemudian menjadi agenda resmi negara. Bahkan menjadi solusi yang digunakan berbagai pihak.