Naskah Tanjung Tanah mengandung dua teks yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan menggunakan dua jenis aksara yang berbeda.
Teks utama, yaitu kitab undang- undang mencakup tigapuluh dua halaman, dan teks kedua tertulis di halaman 33 dan 34.
Teks undang-undang ditulis dengan sejenis aksara pasca-Palawa yang mirip dengan aksara Malayu zaman Adityawarman.
Aksara Malayu merupakan turunan dari aksara Palawa yang berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara.
Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang, antara lain, digunakan dalam prasasti-prasasti Srivijaya yang kebanyakan berasal dari abad ketujuh.
Karena jumlah prasasti di Sumatra dan juga di kawasan berbahasa Melayu sangat sedikit maka tidak jelas bagaimana sejarah perkembangan aksara Sumatra di antara zaman Srivijaya sampai pada prasasti Adityawarman di abad ke-14.
Secara paralel aksara pasca- Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura, dan Bali sehingga pada abad ke-16 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang, antara lain, mencakup aksara yang digu- nakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Malayu di zaman Adityavarman.
Aksara Palawa- Nusantara ini selanjutnya mengalami perubahan yang cukup berarti sehingga timbullah berbagai ragam tulisan di Nusantara yang hubungan satu dengan yang lain belum diteliti secara sempurna.
Aksara ini mencakup aksara Jawa dan Bali, serta beberapa ragam aksara di Sumatra (surat Batak dan surat ulu), Sulawesi, dan di Filipina yang mengalami perubahan yang sangat radikal sehingga hubungannya dengan aksara induknya tidak lagi jelas.
Sebagaimana juga halnya dengan aksara Nusantara lainnya di luar Jawa dan Bali, surat ulu, yang digunakan di hampir seluruh wilayah selatan dari sungai Batang Hari, sangat sederhana dan mudah untuk dipelajari. Setiap aksara terdiri atas sebuah konsonan yang diikuti vokal a: ga, pa, ra, la.
Setiap aksara dapat diubah dengan menggunakan sandangan. Sebagian sandangan mengganti vokal /a/ yang melekat pada aksara men- jadi /e/, /é/, /i/, /o/, dan /u/.
sehingga pa menjadi pi, pe, pé, po, dan pu.
Ada pula sandangan yang menambah bunyi sengau atau konsonan lain sehingga pa menjadi pang, pah, pan, atau par. Untuk membunuh vokal /a/ digunakan tanda bunuh sehingga pa menjadi p.
Bila ada gugusan dua konsonan maka digunakan juga tanda bunuh.
Dengan demikian surat ulu jauh lebih sederhana daripada aksara Jawa yang menggunakan pasangan untuk gu- gusan konsonan.
Dibandingkan dengan aksara pasca-Palawa, aksara Sumatra lebih sesuai untuk menulis bahasa-bahasa setempat yang memiliki struktur bunyi yang sederhana.
Gugusan konsonan dalam satu suku kata hampir tidak ada kecuali apabila sebuah konsonan didahului bunyi sengau (mp, nt, nc, ngg, ngk, etc.).
Karena prenasalisasi tersebut begitu sering terjadi maka sebagian tulisan Sumatra menciptakan aksara baru untuk konsonan yang diawali bunyi sengau, yaitu mpa, nta, nca, ngka, ngsa. Aksara tambahan ini biasanya bentuknya mirip dengan aksara.
Bahasa-bahasa Sumatra yang sedemikian sederhana dari struktur bunyinya tidak memerlukan aksara pasangan untuk menulis gugusan konsonan sebagaimana terdapat dalam bahasa Jawa. Penghapusan pasangan tersebut sangat memudahkan penulisan bahasa-bahasa Sumatra.
Dengan demikian surat ulu jelas lebih sesuai untuk menulis bahasa-bahasa Sumatra dibandingkan dengan aksara pasca-Palawa maupun abjad jawi.
surat ulu berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dengan diperkenalnya abjad jawi maka hasil tulisan menjadi seragam, dan huruf jawi juga dianggap lebih maju karena digunakan untuk menulis Al- Quran dan menyatukan penulisnya dengan ummat Islam di seluruh Nusantara.
Hasselt menggunakan Surat ulu dengan surat rencong. Istilah ini diperkenalkan oleh Hasselt untuk menamakan aksara yang dipakai oleh suku-suku yang berbahasa Midden-Maleis (Melayu Tengah), tetapi di kemudian hari istilah rencong sering juga digunakan untuk semua aksara yang terdapat di bagian selatan pulau Sumatra, termasuk Kerinci dan kadang-kadang juga Lampung.
Istilah surat rencong sebetulnya terbatas pada beberapa daerah saja, dan tidak dikenal di Rejang atau di Lampung. Lebih umum diketahui oleh pemakai aksara itu sendiri adalah istilah surat ulu yang berarti tulisan yang digunakan di daerah hulu.
Baca juga : Kesaktian Kitab Tanjung Tanah (3)
Advokat. Tinggal di Jambi