Sementara itu disisi lain, dokumen yang berkaitan abad XV dapat kita menengok 500 tahun yang lalu, kita akan mudah membaca jejak dari Kesultanan Melayu Islam Jambi (1460-1901 M).
Membaca berbagai data yang disampaikan para Ahli, Pada masa kepemimpinan Orang Kayo Hitam (anak dari Datuk Paduko Berhalo dengan Putri Selaro Pinang Masak) pusat kerajaan Melayu dipindahkan dari Muara Sabak (Muara Jambi) ke Kota Jambi. Penempatan Kota Jambi menjadi pusat kerajaan dikenal dengan sebutan Tanah Pilih.
Pada tahun 1500 M, Orang Kayo Hitam mengumumkan bahwa Kerajaan Melayu Tanah Pilih Jambi adalah Kerajaan Islam, agama Islam adalah agama kerajaan dan agama penduduk Melayu Tanah Pilih adalah Islam, dan Tanah Pilih berserambi Aceh, Aceh berserambi Mekkah.
Pada masa pemererintahan Sultan Agung Abdul Qahar (1615-1643) Islam telah menunjukkan jatidirinya di Kerajaan Jambi. Dapat terlihat dengan adanya pergantian gelar penguasa dari raja menjadi sultan serta Kerajaan Jambi juga berubah nama menjadi Kesultanan Jambi. (Ona Yulita dan Deki Syaputra ZE, “Islamisasi di Kerajaan Jambi”).
Sehingga Uli Kozok kemudian menyebutkan “Secara geografis kawasan Malayu-Jambi mencakup daerah aliran sungai Batang Hari beserta dengan anak sungai seperti Merangin, Tabir, Tebo, dan Tembesi, dan daerah pegunungan seperti Kerinci dan Sumatra Barat”.
Apakah Kotamadya Jambi kemudian mengikrarkan diri adalah Kerajaan Jambi Darussalam yang dimulai Datuk Paduko Berhalo abad XV ?
Pertanyaan bang didi sekaligus perhatian saya ketika Kotamadya Jambi mengikrarkan diri hari jadi ke ke 619 Tahun dihubungkan dengan Kerajaan Jambi Darussalam adalah keliru besar.
Pertama. Kekuasaan Kerajaan Jambi Darussalam yang sering dituturkan didalam tembo (batas Negeri Jambi dengan Pagaruyung (Sumbar) dan Palembang Darussalam (Sumsel) adalah wilayah Provinsi Jambi. Sering juga disebutkan sebagai “Deklarasi Bukit Siguntang”.
Para raja (kerajaan Pagaruyung, Kerajaan Jambi Darussalam dan Kerajaan Palembang Darussalam) kemudian membuat tanda. Dengan “membuat tanda” dengan “memotong sedikit pohon”. Biasa dikenal “takuk rajo”.
Didalam tutur ditengah masyarakat, batas-batasnya masih jelas. Berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung (Sumbar) sering disebutkan “Durian takuk rajo”. Sedangkan dengan Kerajaan Palembang Darussalam ditandai dengan “sialang belantak besi”.
Batas-batas ini masih dapat ditelusuri. Marga Jujuhan, Marga VII Koto, Marga IX dan Marga Sumay (Tebo) masih menempatkan “durian takuk Rajo” sebagai (tembo) batas antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi Darussalam.
Sedangkan “sialang belantak besi” dapat dijumpai di Marga Batin Pengambang, Marga Bukit Bulan, Datuk nan Tigo, Marga Pelawan, Batin V Sarolangun, Marga Simpang III Pauh, Marga VI Mandiangin (Kabupaten Sarolangun), Marga V Matagoal, Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir (Kabupaten Batanghari), Marga Mestong, Marga Kumpeh Ulu, Marga Kumpeh Ilir , Marga Jebus (Kabupaten Muara Jambi) dan Marga Berbak (Kabupaten Tanjung Jabung Timur) .
Batas-batas Jambi – Sumsel yang dikenal didalam tembo ditengah masyarakat “sialang belantak besi” telah jelas tercantum didalam peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910.
Kedua. Dengan demikian maka membicarakan 500 yang lalu adalah Kerajaan Tanah Pilih. Belum berikrar menjadi Kerajaan Jambi Darussalam.
Ketika. Namun ketika membicarakan Kerajaan Jambi Darussalam yang wilayahnya (tembo) berbatasan langsung dengan Kerajaan Pagaruyung dan Kerajan Jambi Darussalam.
Kerajaan Jambi Darussalam kemudian tumbang dan digantikan menjadi Residentie Jambi 1907. Dan wilayah itu kemudian menjadi Provinsi Jambi.
Bukan wilayah Kotamadya Jambi.
Sehingga menempatkan Kotamadya Jambi dengan Kerajaan Jambi Darussalam menjadi tidak relevan lagi.
Tidak salah kemudian “idul Fitri” yang kemudian disambangi oleh arkeologi (membicarakan sejarah dari benda) dan mas Wiwin yang sejarawan (dokumen adalah sejarah) menjadikan makna idul Fitri begitu berbeda.
Tidak salah kemudian saya memberikan perumpamaan sebagai “Idul Fitri bersejarah”.
Baca : Idul Fitri bersejarah