Beberapa waktu yang lalu, sewindu putusan MK No. 35 Tahun 2013. Putusan konstitusi menentukan makna hakekat dari hutan adat.
Putusan MK No. 35 Tahun 2013 kemudian menegaskan. Kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan. “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Dengan demikian menurut MK berdasarkan pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan maka Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Namun Hutan Adat kemudian diatur didalam regulasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/102016 (P 83).
Menempatkan Hutan Adat sebagaimana diperintahkan oleh MK didalam regulasi P.83 justru menimbulkan implikasi.
Implikasi hukum baik dilihat dari formil maupun materi yang diatur. Pendekatan formil maupun pendekatan materiil merupakan salah satu “pisau analisis” didalam melakukan penilaian terhadap sebuah peraturan (judicial review).
Dari segi formil, lahirnya P83 merupakan Peraturan Setingkat Menteri. Biasa dikenal Perhutanan Sosial (PS).
Padahal Putusan MK No. 35 kemudian menugaskan kepada Pemerintah untuk mengakui hutan adat.
Untuk sementara mari kita telisik implementasi MK No. 35 Tahun 2013 selama sewindu.
Namun apabila kita telusuri pemberian SK Hutan Adat di Jambi dapat dilihat dari tahun 2016. Tahun 2016, kemudian diberikan kepada Hutan Adat Depati Kara Jayo Tuo Desa Rantau Kermas (130 Ha), Hutan Adat Bukit Sembahyang (39 Ha), Hutan Adat Bukit Tinggi (41 Ha), Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (252 Ha), Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan (452 Ha)
Begitu juga tahun 2018 terhadap 10 SK Hutan adat justru telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun.
Lihatlah Hutan Adat Rimbo Bulim oleh Masyarakat Hukum Adat Bathin II Batang Uleh (40,5 Ha), Hutan Adat Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Belitung Kuning Muara Air Dua oleh Masyarakat Hukum Adat Nenek Limo Dan Nenek Empat (645 Ha), Hutan Adat Hulu Air Lempuk Lekuk Limo Puluh Tumbi oleh Masyarakat Hukum Adat Hulu Air Lempur Lekok Limo Puluh Tumbi (745 Ha), Hutan Adat Imbo Larangan Pematang Kulim dan Imbo Larangan Inum Sakti oleh Masyarakat Hukum Adat Dusun Mengkadai Desa Temenggung (115 Ha), Hutan Adat Desa Meribung oleh Masyarakat Hukum Adat Batin Jo Pangulu Desa Meribung (617 Ha), Hutan Adat Pangulu Lareh oleh Masyarakat Hukum Adat Pangulu Lareh Desa Temalang (124 Ha), Hutan Adat Rio Peniti oleh Masyarakat Hukum Adat Batin (240 Ha), Hutan Adat Titian Teras oleh Masyarakat Hukum Adat Titian Teras Dusun Kampung Pondok (138 Ha), Hutan Adat Imbo Pseko oleh Masyarakat Hukum Adat Pangulu Desa Napal Melintang (seluas 83 Ha), Hutan Adat Datuk Mantri Sati oleh Masyarakat Hukum Adat Batin Jo Pangulu Desa Mersip (78 Ha).
Sehingga dipastikan penetapan hutan adat yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah hanyalah “pengukuhan” dari KLHK. Bukan Pekerjaan baru.
Begitu juga tahun 2019. Jumlahnya 27 Hutan Adat.
Pada tanggal 7 Januari 2021 ketika Jokowi menyerahkan Surat Keputusan (SK) Hutan Adat, SK Hutan Sosial, dan SK Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) se Indonesia pada Kamis (07/01/2021), menyebutkan Provinsi Jambi menerima 64 SK dengan luas 32.500,92 ha. Mencakup 9.424 KK.
Dengan tegas KLHK menyatakan Provinsi Jambi memiliki hutan adat yang terbanyak. Ada yang masih dalam proses. Paling banyak adalah di Kabupaten Merangin.
Sebelumnya, berdasarkan Evaluasi Perhutanan Sosial di Provinsi Jambi Tahun 2020 oleh KLHK tahun 2020, menyebutkan Program Perhutanan Sosial (PS) sampai dengan Bulan Oktober 2020, di Provinsi Jambi telah memperoleh izin PS seluas ± 201.102,47 ha. Dengan jumlah SK yang telah diterbitkan sebanyak 410 unit dengan melibatkan penerima manfaat sejumlah 33.033 keluarga. Perhutanan Sosial tersebut dibagi dalam skema
- Hutan Desa sebanyak 48 seluas 101.013,00 ha mencakup 12.824 kk
- Hutan Kemasyarakatan sebanyak 57 seluas 4.897 28.123,00 ha mencakup 4.897
- Hutan Tanaman Rakyat sebanyak 220 mencakup 4.084 seluas 37.730,65 ha
- Hutan Adat sebanyak 27, mencakup 10.309, seluas 11.645,68
- Kemitraan Kehutanan sebanyak 58 mencakup 919 kk, seluas 22.590,14 ha
Dengan total yang telah memiliki SK sebanyak 410 mencakup 33.033 KK seluas 201.102,47.
Dinas Kehutanan Provinsi Jambi menyebutkan cadangan hutan untuk PS mencapai 392 ribu hektar.
Sehingga pernyataan KLHK menyatakan Provinsi Jambi memiliki hutan adat yang terbanyak (20,4 %.)
Padahal berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 863/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014, luas kawasan hutan di Provinsi Jambi seluas ± 2.098.535 ha, terdiri dari Hutan Konservasi seluas ± 685.471 ha, Hutan Lindung seluas ± 179.588 ha, dan Hutan Produksi seluas ± 1.233.476 ha.
Dengan demikian maka capaian PS di Jambi dari luas kawasan hutan hanya 10,4%. Atau hanya 6,1 % dari hutan produksi yang telah diberikan kepada industri Kehutanan.
Apabila kita mau mengerucut, KLHK menargetkan 6,5 juta ha untuk hutan adat (2019). Namun hingga akhir 2020, menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), capaian hutan adat baru mencapai 56.903 ha (0,87 %).
Sementara itu, capaian hutan adat di Jambi yang mencapai 10.309 ha dibandingkan dengan capaian hutan adat secara nasional 56.903 ha (BRWA), maka Hutan Adat di Jambi justru menyumbang hingga mencapai 20,4 %.
Masih jauh dari ekspetasi publik dari semangat putusan MK No. 35 Tahun 2013.