06 September 2010

opini musri nauli : Perampokan ditinjau dari hukum pidana



Akhir-akhir ini “jantung” kita serasa copot mendengar berbagai peristiwa “perampokan” yang cenderung melewati akal sehat. 

“Rasa Aman” sebagai hak yang mendasar kemudian tidak ditemukan lagi. Rasa aman kemudian menjadi komoditas yang langkah dan sulit kita temukan. 

 Jantung kita serasa copot, melihat bagaimana semakin “beringasnya” perampokan. 

 Perampok bersenjata api yang terdiri dari dua orang, menjarah kantor Mandiri Tunas Finence, di jalan Hayam Wuruk, Jelutung Kota Jambi, dan berhasil membawa kabur uang senilai Rp30 juta. 

Belum lagi Rumah pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Jambi, Benhard Panjaitan, dijarah kawanan perampok bersenjata api, namun para pelaku hanya berhasil membawa satu unit laptop dan telepon genggam. 

 Padahal baru beberapa saat, Polisi berhasil mendapat tangkapan besar, Robin Yulianto Saragih alias Abdul Rahman, 30, tersangka kasus perampokan manajer Asiatic Persada di Muarojambi tahun lalu berhasil dibekuk di di Jalan Raya Ngrambe-Walikukun, Ngawi, jawa Timur. 

 Peristiwa diatas terbukti tidak effektifnya ancaman “Tembak ditempat” dari petinggi Kepolisian. Ancaman “tembak ditempat” seakan-akan teriakan di siang bolong dan tidak menyurutkan “aksi beringas” perampokan di Jambi.

 PERAMPOKAN DAN HUKUM PIDANA 

 Istilah “perampokan” tidak dikenal dalam istilah hukum pidana. Di lapangan hukum pidana lebih dikenal dengan nama “pencurian dengan pemberatan”. 

Ukuran ‘pemberatan”, artinya perbuatan pencurian itu dilakukan perbuatan pidana lain seperti pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat, Jika perbuatan mengakibatkan kematian, jika perbuatan mengakitkan luka berat. 

 Dengan melihat definisi, maka perbuatan “perampokan” yang akhir-akhir sering terjadi di Jambi, lebih tepat dikategorikan sebagai perbuatan “pencurian dengna pemberatan” yang ancamannya mulai dari hukuman mati, hukum seumur hidup, hukuman paling sedikit 20 tahun. 

 Lantas, bagaimana posisi hukum pidana didalam melihat kasus-kasus perampokan. 

Apakah Hukum Pidana tidak bisa memberikan “effek jera” kepada para pelaku atau kepada masyarakat. 

 Dalam ranah praktek peradilan, hampir praktis kasus perampokan sepi dari liputan dan kajian yang serius. 

Kasus perampokan lebih mudah dibuktikan sehingga tidak menjadi bahan yang menarik untuk dibicarakan. 

Liputan media massa hanya berkutat kepada sidang pertama, sidang pembacaan tuntutan dan putusan hakim (vonis). Tidak ada liputan yang cukup komprehensif (investigasi reporting) terhadap kasus-kasus yang berdimensi “perampokan”. 

 Akibat yang paling terasa, sepinya liputan dan sedikitnya perhatian terhadap kasus “perampokan” ingatan publik terhadap peristiwa perampokan tidak membuat pengetahuan kita tentang kejahatan ini menjadi lengkap, terpotong dan cenderung berdasarkan ingatan semata. 

Hampir praktisnya catatan dan pengetahuan kita tentang kasus “perampokan” tidak membuat kita menjadi waspada dan cenderung terkotak-kotak pengungkapan kasus an sich. 

 PERAMPOKAN DAN KRIMINOLOGI 

 Dengan menggunakan definisi kriminologi, maka menjadi perhatian yang serius kita melihat kasus “perampokan”. Pertanyaan yang timbul apakah para pelaku yang sama melakukan “perampokan” (specialist residivis) ? Atau ada faktor-faktor tertentu terjadinya kejahatan ? Menggunakan indikator ekonomi adalah indikator yang gampang untuk mengidentifikasi para pelaku “perampokan”. 

Harus diakui “para pelaku” cenderung berlatar belakang ekonomi yang tidak stabil kalaulah tidak dikatakan sebagai masyarakat marginal terpinggirkan. 

Baik akses mendapatkan jaminan pekerjaan, maupun jaminan masa depan. Indikator inilah yang menyebabkan praktis “para pelaku” menggunakan cara-cara ‘perampokan” sebagai jalan keluar untuk mendapatkan “uang”. 

 Namun, yang sering dilupakan, “hasil rampokan” selain digunakan untuk kebutuhan juga digunakan diluar dari kebutuhan sehari-hari. “hasil rampokan” ternyata digunakan sebagai “biaya hidup” yang mampu bertahan selama setahun. 

 Tentu saja asumsi yang disampaikan memerlukan hasil kajian yang dalam. 

Namun yang menjadi sorotan adalah gejala-gejala yang “dapat” mempengaruhi bekerjanya sistem hukum di Indonesia. 

 MODEL INSTANT DAN MODEL SISTEMATIK 

 Pengungkapan kasus dan ancaman “tembak ditempat” adalah model-model instant yang dilakukan pihak kepolisian didalam “menentramkan” masyarakat. Begitu juga dengan dijatuhinya hukuman yang berat kepada para pelaku. 

 Namun yang essensial bukan saja mengungkapkan kasus tapi menyelesaikan faktor-faktor utama terjadinya perampokan. 

Selain sistem hukum yang bekerja, juga memberikan jaminan masa depan dan kepastian pekerjaan. Dan itu tidak saja tugas kepolisian, tapi tanggung jawab negara untuk melaksanakannya.