Pekikan "Vox populi, vox dei"—suara rakyat adalah suara Tuhan—bukanlah sekadar ungkapan kosong. Di Indonesia ungkapan ini menjadi landasan kuat dalam demokrasi. Menunjukkan aspirasi dan kehendak rakyat memiliki bobot moral dan politik yang tak terbantahkan.
Namun dalam praktiknya ungkapan ini sering kali diuji dan ditantang. Tiga kasus di berbagai daerah—Rembang, Rempang dan Pati—menjadi contoh nyata bagaimana kekuatan rakyat berhadapan dengan kebijakan pemerintah dan kepentingan korporasi.
Rembang - Pertarungan Keadilan Lingkungan
Di Rembang, Jawa Tengah, konflik muncul seputar pendirian pabrik semen. Masyarakat terutama para petani dan warga di sekitar lokasi, menolak pembangunan pabrik karena khawatir akan dampak lingkungan, seperti kekeringan, kerusakan karst dan polusi.
Mereka berpendapat bahwa pabrik akan merusak sumber mata pencaharian mereka yang bergantung pada pertanian.
Meskipun izin pendirian pabrik telah dikeluarkan, perlawanan rakyat tidak surut. Mereka melakukan berbagai aksi, mulai dari demonstrasi hingga upaya hukum. Perjuangan ini mendapat perhatian luas dan dukungan dari berbagai pihak. Kasus Rembang menunjukkan suara rakyat yang terorganisir dan gigih dapat menjadi kekuatan politik yang signifikan. Bahkan ketika berhadapan dengan modal besar dan pemerintah. Perlawanan ini bukan hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang hak atas hidup yang layak dan keberlanjutan.
Rempang: Menggugat Pembangunan Tanpa Konsultasi
Di Rempang, Kepulauan Riau, situasi serupa terjadi dengan rencana pembangunan kawasan ekonomi khusus. Rencana tersebut mengharuskan relokasi penduduk asli. Masyarakat Melayu dan Orang Darat yang telah tinggal turun-temurun di sana. Warga menolak relokasi karena merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka beranggapan kebijakan ini mengancam identitas, budaya, dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan dan petani.
Aksi penolakan yang diwarnai dengan kekerasan menjadi sorotan nasional. Kasus Rempang menjadi pelajaran penting tentang kegagalan komunikasi dan partisipasi publik.
Pemerintah sering kali menganggap pembangunan sebagai “keharusan”. Tetapi lupa pembangunan haruslah berlandaskan persetujuan dan partisipasi rakyat. Penolakan di Rempang adalah bukti rakyat akan bersuara keras ketika hak-hak dasar mereka diabaikan. dan pembangunan tidak boleh mengorbankan kesejahteraan dan keberadaan suatu komunitas.
Pati - Mengawal agenda dan hak rakyat.
Di Pati, Jawa Tengah, penolakan Pajak yang mencekik. Sikap pongah dan menantang sekaligus bersikukuh menerapkan pajak yang mencekik justru menimbulkan amarah rakyat.
Perlawanan di Pati menunjukkan bagaimana rakyat mengambil inisiatif untuk bersikap dan melawan. Gerakan ini merupakan manifestasi dari kesadaran kolektif akan harga diri termasuk cara memimpin Kepala Daerah.
Yang menarik dari perlawanan di Rembang, Rempang, dan Pati adalah fenomena kepemimpinan yang muncul dari akar rumput. Tokoh-tokoh yang berada di garis depan perjuangan ini bukanlah politisi terkenal, aktivis nasional, atau selebriti. Mereka adalah petani, nelayan, atau warga biasa yang merasa masa depan mereka terancam.
Di Rembang, sosok seperti Gunarti menjadi simbol perlawanan. Ia bukanlah figur publik yang dikenal luas sebelumnya, melainkan seorang ibu rumah tangga yang gigih memperjuangkan kelestarian Pegunungan Kendeng. Suaranya menjadi representasi dari ribuan petani lain yang merasakan ancaman serupa.
Di Rempang, para pemimpin adat dan tokoh masyarakat setempat yang selama ini tidak dikenal publik tiba-tiba menjadi juru bicara komunitas. Mereka berjuang bukan atas nama partai politik, melainkan atas nama tradisi, tanah leluhur dan identitas budaya.
Begitu juga di Pati. Perlawanan dipimpin warga lokal yang memiliki kesadaran sebagai warga negara. Mereka tidak menunggu instruksi dari atas, melainkan bergerak secara mandiri.
Fenomena ini menunjukkan kekuatan rakyat sesungguhnya adalah kekuatan kolektif. Pemimpin yang muncul dari tengah-tengah mereka memiliki legitimasi kuat karena mereka adalah bagian integral dari komunitas yang berjuang.
Mereka tidak berbicara atas dasar agenda politik, melainkan atas dasar pengalaman langsung dan keprihatinan yang tulus. Sekaligus bukti suara rakyat bisa sangat otentik dan murni, tanpa diintervensi oleh kepentingan elit atau tokoh yang sudah mapan.
Ketiga kasus ini—Rembang, Rempang dan Pati—menegaskan kembali makna dari "Vox populi, vox dei." Meskipun terkadang suara rakyat terasa kecil di hadapan kekuatan ekonomi dan politik, perlawanan yang terorganisir dan berlandaskan keadilan mampu menciptakan gelombang perubahan.
Kekuatan rakyat yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada jumlah, tetapi juga pada solidaritas, keteguhan hati, dan keyakinan hak-hak mereka harus dihormati.
Kasus-kasus ini mengajarkan pembangunan haruslah inklusif, partisipatif, dan berkelanjutan. Pembangunan yang mengabaikan suara rakyat hanya akan menciptakan konflik dan ketidakstabilan.
Meskipun tantangan yang dihadapi rakyat di Rembang, Rempang, dan Pati sangat besar, kita harus tetap optimis terhadap makna simbolis dari "Vox populi, vox dei".
Kisah-kisah perlawanan ini bukanlah cerita tentang kekalahan melainkan tentang perjuangan tanpa henti dan kebangkitan kesadaran. Mereka menunjukkan demokrasi tidak hanya hidup di bilik suara, tetapi juga di jalan-jalan, di ladang dan di pesisir.
Setiap perjuangan menorehkan jejak penting. Mereka membangun kesadaran kolektif, menginspirasi generasi muda, dan membuktikan kebenaran dan keadilan memiliki kekuatan moral yang tak bisa diabaikan.
Ketika rakyat bersatu, suara mereka menjadi lebih dari sekadar tuntutan. Menjadi pernyataan moral yang mengguncang fondasi kekuasaan.
Sekaligus pengingat dalam perjalanan bangsa, suara rakyat yang tulus adalah kompas moral yang sejati, membimbing kita menuju masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Advokat. Tinggal di Jambi