Akhir-akhir ini, pernyataan pejabat penting yang dengan entengnya menyebutkan "Emang mbahmu bisa bikin tanah?". Pernyataan ini muncul saat ia menjelaskan negara memiliki hak untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan.
Cara pandang ini sekaligus menempatkan “semua tanah adalah milik negara”. Konsep yang masih hinggap di Kepala para pengambil keputusan di negara ini.
Konsep bahwa "semua tanah adalah milik negara" merupakan sebuah kesesatan berpikir (logical fallacy) yang masih sering ditemui di Indonesia. Pemikiran ini sering kali berasal dari warisan kolonial Belanda, terutama doktrin Domeinverklaring.
Domeinverklaring (Pernyataan Domein) adalah sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Intinya doktrin ini menyatakan semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh pihak lain (baik individu maupun badan hukum) dianggap sebagai "tanah domein" atau milik negara.
Konsep ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemerintah kolonial untuk menguasai, mengelola dan mengalokasikan tanah untuk kepentingan mereka. Seringkali dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah menguasai tanah tersebut secara turun-temurun.
Namun cara pandang sesat (logical fallacy) sebenarnya sudah ditentukan didalam regulasi.
Pada tahun 1960 Indonesia mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UUPA ini memiliki tujuan yang sangat jelas. Mencabut semua hukum agraria kolonial yang tidak adil. Termasuk Domeinverklaring. Dan menciptakan dasar hukum agraria nasional yang adil, demokratis, dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Pasal 2 UUPA secara tegas menyatakan Negara memiliki hak untuk menguasai bumi, air, dan ruang angkasa. Namun, hak menguasai ini bukan berarti "hak memiliki". Hak menguasai negara memiliki fungsi sosial, yaitu untuk mengatur dan mengelola pemanfaatan tanah demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh negara.
Selain itu UUPA mengakui dan melindungi hak-hak tradisional masyarakat adat atas tanah, yang dalam istilah hukum agraria disebut hak ulayat.
Dengan demikian UUPA secara fundamental menolak konsep kepemilikan negara atas tanah dan menggantinya dengan konsep Hak Menguasai Negara.
Atau dengan kata lain konsep sesat berfikir (logical fallacy) Domeinverklaring sudah dicabut UUPA
Meskipun Domeinverklaring telah dicabut, mentalitas dan praktik yang diilhami oleh doktrin ini masih sering muncul. Beberapa implikasinya seperti Penguasaan Lahan oleh Pihak Tertentu: Pemerintah atau perusahaan terkadang masih mengklaim tanah sebagai "tanah negara" untuk kemudian dialokasikan kepada pihak-pihak tertentu, seringkali dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat atau petani yang telah menggarap tanah tersebut.
Selain itu didalam Konflik Agraria. Konsep "tanah milik negara" sering menjadi pemicu utama konflik agraria di berbagai daerah. Masyarakat lokal harus berhadapan dengan pemerintah atau perusahaan yang mengklaim memiliki hak atas tanah.
Belum lagi Ketidakjelasan Status Tanah. Kehadiran Domeinverklaring yang masih hidup dalam mentalitas pejabat atau birokrasi membuat status tanah menjadi tidak jelas. Sehingga menyulitkan proses sertifikasi tanah yang adil bagi masyarakat.
Dengan demikian maka pemahaman yang keliru yang menyatakan tanah adalah milik negara adalah warisan kolonial yang telah dicabut oleh UUPA. UUPA secara tegas menyatakan negara hanya memiliki Hak Menguasai yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan hak untuk memiliki tanah seperti yang dianut oleh Domeinverklaring.
Oleh karena itu penting untuk selalu merujuk pada UUPA sebagai dasar hukum agraria yang sah di Indonesia.
Advokat. Tinggal di Jambi