Ungkapan
klasik yang digunakan untuk meyakinkan hakim harus obyektif, netral, tidak
memihak (imparsial) adalah “the rule of
law, not met”, “law is reason, not passion”, “judge are mere mouthpiece of the
law”. John Marshal menegaskan “court
are mere instruments of law, and can will nothing”.
Montesqueiu
didalam bukunya “L’Esprit des Lois
telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut
yang mengucapkan kata-kata dari undang-undang.
Maka
fungsi hakim adalah corong UU (la bouche
de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like loudspeaker of the
law/subsumptie automaat), hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya
(Das sollen) namun hanya menerapkan
hukum yang berlaku (ius constitutum).
Hukum adalah yang tertulis (law as it is
written in the book), yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa
mempersoalkan keadilan.
Semuanya
berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias Politica” dalam ajaran “separation
of power” yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative
power. Dengan demikian, maka yang
berwenang menciptakan hukum adalah “legislative
power”
Ronald Dworkin memberikan
istilah “deputy legislator”.
Namun
Ronald Dworkin kurang sependapat. Berangkat
dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim
untuk menyelesaikan kasus hukum” dan
pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil
didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita
akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya.
Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a
priori (lepas dari pengalaman) dan a
posteriori (berdasarkan pengalaman).
Dengan
menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian
dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin
yang menegaskan, jika memahami hukum,
maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim.
Hukum baru menjadi hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim
untuk menyelesaikan kasus hukum.
Berangkat dari pernyataan Ronald
Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru
menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan
pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil
didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita
akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya.
Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a
priori (lepas dari pengalaman) dan a
posteriori (berdasarkan pengalaman).
Maka dikenal dengan
istilah judge made laws.
Maka
Pertanyaan akan muncul. Apakah hakim sebelum menjatuhkan putusan (didalam
pertimbangan vonis) akan bersikap independent atau akan dipengaruhi (dependent).
Dalam kajian filsafat hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, hakim
harus netral, imparsial dan menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi.
Namun
pertanyaan itu akan berkaitan dengan obyektifitas. Apakah hakim akan obyektif ?
Ketika
seorang hakim menginterpretasi teks yuridis untuk menafsirkan kaidah hukum yang
akan diterapkan, maka hakim harus monotafsir yang bersumber teks formal, ketat
dan rigid sehingga tidak menyimpang dari teks aslinya (Widodo Dwi Putro, 2011, 142).
Namun
hakim juga menginterpretasi teks hukum bukanlah kumpulan baku yang rigid. Hakim juga menginterpretasi
teks hukum dalam konteks terhadap norma yang akan diterapkan dalam kasus.
Selain itu juga akan dilihat pengetahuan yang dimiliki oleh hakim didalam
memperoleh sintesis terhadap teks hukum dari diperoleh dari sintesis unsur-unsur
a priorir dan unsur-unsur a posteriori.
Tuntutan
publik agar pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi,
semangat anti korupsi yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu
dependent yang mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Belum
lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan
politik, jenis kelamin, emosi dan struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim
didalam putusannya.
Faktor-faktor
baik eksternal (Tuntutan publik agar
pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti
korupsi yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang
mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan) maupun faktor internal (Belum lagi pendidikan, pengalaman,
pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin, emosi dan
struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam putusannya) merupakan
dependent (yang mempengaruhi) hakim
didalam mengambil putusan (independent).
Hakim
membaca berkas perkara, membaca surat
dakwaan jaksa penuntut umum sebelum memasuki persidangan pada tingkat pertama (judex factie). Bahkan hakim
mempertimbangkan “hal-hal yang meringankan
dan hal-hal yang memberatkan” sebelum memutuskan perkara.
Begitu
juga MA sebagai lembaga yang melakukan penilaian terhadap penerapan hukum (judex jurist) membaca putusan Pengadilan
dibawahnya (putusan pertama dan putusan
banding) dan memori kasasi baru kemudian memutuskan perkara.
Padahal
Kenneth J. Vandevelde mengingatkan, hakim harus mengidentifikasi sumber hukum
sebelum memeriksa faktanya. Gr. Van der Burght dan J. D. C Winkelman juga
mengingatkan hal yang sama.
Maka
independent hakim juga dipengaruhi kepada nilai yang mempengaruhi (dependent) baik eksternal maupun internal. Obyektifitas
juga bukan ruang hampa. Obyektifitas merupakan cakrawala pemikiran yang terus
berkembang. Arief Sudharta memperkuat argumentasi yang mendalilkan
subyektifitas dapat mengacu kepada interpretasi yang merujuk kepada cita hukum
(keadilan, kepastian hukum,
preditabilitas dan kemanfaatan). Belum lagi nilai-nilai kemanusiaan dan
sistem hukum yang masih berlaku.
Dari
segala yang mempengaruhi hakim sebelum memutuskan perkara (dependent) maka kita
akan dapat mengidentifikasi alasan hakim (legal reasing) untuk menemukan hukum.