07 September 2012

opini musri nauli : Obyektitifas Hakim


Ungkapan klasik yang digunakan untuk meyakinkan hakim harus obyektif, netral, tidak memihak (imparsial) adalah “the rule of law, not met”, “law is reason, not passion”, “judge are mere mouthpiece of the law”. John Marshal menegaskan “court are mere instruments of law, and can will nothing”.

Montesqueiu didalam bukunya “L’Esprit des Lois telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan kata-kata dari undang-undang.

Maka fungsi hakim adalah corong UU (la bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like loudspeaker of the law/subsumptie automaat), hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das sollen) namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius constitutum). Hukum adalah yang tertulis (law as it is written in the book), yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan.
Semuanya berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias Politica” dalam ajaran “separation of power” yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative power. Dengan demikian, maka yang berwenang menciptakan hukum adalah “legislative power

Ronald Dworkin memberikan istilah “deputy legislator”.

Namun Ronald Dworkin kurang sependapat.  Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman).

Dengan menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan.

Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim. Hukum baru menjadi   hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.

Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman).
Maka dikenal dengan istilah judge made laws.

Maka Pertanyaan akan muncul. Apakah hakim sebelum menjatuhkan putusan (didalam pertimbangan vonis) akan bersikap independent atau akan dipengaruhi (dependent). Dalam kajian filsafat hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, hakim harus netral, imparsial dan menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Namun pertanyaan itu akan berkaitan dengan obyektifitas. Apakah hakim akan obyektif ?
Ketika seorang hakim menginterpretasi teks yuridis untuk menafsirkan kaidah hukum yang akan diterapkan, maka hakim harus monotafsir yang bersumber teks formal, ketat dan rigid sehingga tidak menyimpang dari teks aslinya (Widodo Dwi Putro, 2011, 142). 

Namun hakim juga menginterpretasi teks hukum bukanlah kumpulan baku yang rigid. Hakim juga menginterpretasi teks hukum dalam konteks terhadap norma yang akan diterapkan dalam kasus. Selain itu juga akan dilihat pengetahuan yang dimiliki oleh hakim didalam memperoleh sintesis terhadap teks hukum dari diperoleh dari sintesis unsur-unsur a priorir dan unsur-unsur a posteriori.

Tuntutan publik agar pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti korupsi yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan.

Belum lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin, emosi dan struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam putusannya.

Faktor-faktor baik eksternal (Tuntutan publik agar pelaku dihukum berat, ada ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti korupsi yang terus menerus dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang mempengaruhi hakim sebelum menjatuhkan putusan) maupun faktor internal (Belum lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan politik, jenis kelamin, emosi dan struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam putusannya) merupakan dependent (yang mempengaruhi) hakim didalam mengambil putusan (independent).

Hakim membaca berkas perkara, membaca surat dakwaan jaksa penuntut umum sebelum memasuki persidangan pada tingkat pertama (judex factie). Bahkan hakim mempertimbangkan “hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan” sebelum memutuskan perkara.

Begitu juga MA sebagai lembaga yang melakukan penilaian terhadap penerapan hukum (judex jurist) membaca putusan Pengadilan dibawahnya (putusan pertama dan putusan banding) dan memori kasasi baru kemudian memutuskan perkara.

Padahal Kenneth J. Vandevelde mengingatkan, hakim harus mengidentifikasi sumber hukum sebelum memeriksa faktanya. Gr. Van der Burght dan J. D. C Winkelman juga mengingatkan hal yang sama.

Maka independent hakim juga dipengaruhi kepada nilai yang mempengaruhi (dependent)  baik eksternal maupun internal. Obyektifitas juga bukan ruang hampa. Obyektifitas merupakan cakrawala pemikiran yang terus berkembang. Arief Sudharta memperkuat argumentasi yang mendalilkan subyektifitas dapat mengacu kepada interpretasi yang merujuk kepada cita hukum (keadilan, kepastian hukum, preditabilitas dan kemanfaatan). Belum lagi nilai-nilai kemanusiaan dan sistem hukum yang masih berlaku.

Dari segala yang mempengaruhi hakim sebelum memutuskan perkara (dependent) maka kita akan dapat mengidentifikasi alasan hakim (legal reasing) untuk menemukan hukum.