Akhirnya
sidang kasus yang melibatkan anggota DPR-RI dari Partai Demokrat Angelina
Sondakh (Anggie) dilaksanakan di Pengadilan Tipikor Jakarta . Anggie didakwa menerima gratifikasi
sebesar Rp 12,580 milyar dan $US 2.350.000 (istilah yang digunakn Apel Malang
dan Apel Washington ).
Persidangan ini menarik perhatian publik sehingga media elektronik menayangkan
secara “live”.
Kasus
“anggie” menarik perhatian publik disaat persidangan terhadap Nazaruddin
dilangsungkan. Dengan lugas tanpa tedeng aling-aling, Nazaruddin menyebutkan
beberapa tokoh penting Partai Demokrat termasuk Anggie. Maka praktis, para
petinggi Partai Demokrat berseliweran keluar masuk KPK. Bukan dalam rangka
membangun hubungan koordinasi dalam kewajiban ketatanegaraan. Namun lebih sibuk
“menjadi” saksi dan diliput media massa
termasuk Anas Urbaningrum dan Andi Mallaranggeng. Belum lagi nama-nama seperti
Mirwan Amir, Wayan Koster yang dikait-kaitkan.
Praktis
“energi” Partai Demokrat menghadapi badai dan hantaman ombak yang luar biasa.
Pasca ditangkapnya Mindu Rossa Manulang (bawahan Nazaruddin) kemudian kaburnya
Nazaruddin, sering dikait-kaitkan nama Anas Urbaningrum yang kemudian bersumpah
bersedia “Digantung” di Monas, pemeriksaan terhadap Andi Mallaranggeng,
pemeriksaan sebagai saksi terhadap Anggie, penetapan tersangka Anggie,
penahanan hingga persidangan terhadap Anggie “membuat” energi Partai Demokrat
tersita. Hampir praktis selama 2 tahun, badai dan hantaman ombak terus menerpa
Partai Demokrat. Terlepas dari akhir lakon yang akan digelar, Partai Demokrat
mengalami fase tersulit bahkan terancam berbagai issu yang dapat saja digugat
ke MK untuk mengikuti peserta Pemilu.
Sementara
“Anggie” sendiri menarik perhatian publik disaat pemeriksaan sebagai saksi
dalam perkara Mindo Rossa Manulang. Anggie yang menjadi saksi sering memberikan
keterangan dengan jawaban “tidak tahu, Yang Mulia”, “lupa, Yang Mulia”, “Tidak
ingat, Yang Mulia”. Jawaban yang diberikan oleh Anggie kemudian “konon”
dijadikan ringtone HP dan menjadi bahan joke yang paling lucu.
Posisi
Anggie sebagai saksi menimbulkan persoalan yang cukup serius dalam tataran
praktek peradilan hukum pidana.
Didalam KUHAP sudah ditentukan,
Yang dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di
muka persidangan. Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan
keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang. Apakah keterangan
yang diberikan dihadapan Penyidik maupun keterangan di hadapan Jaksa Penuntut
Umum. Keterangan tersebut dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Apabila
saksi yang telah memberikan keterangan tersebut mencabut keterangannya, maka
haruslah mempunyai alasan yang cukup untuk mencabut keterangan itu. Sedangkan
keterangan yang diberikan di muka persidangan itulah yang menjadi alat bukti
sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. Keterangan saksi adalah
keterangan yang diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri.
Keterangan itu adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. Baik pendapat maupun rekaan yang
diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi. Sedangkan
Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat bukti yang sah (Testimonium de audito.lihat
penjelasan pasal 185 KUHAP
Namun berdasarkan ketentuan pasal
168 ayat (1) huruf a KUHAP, “keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran bahwa
seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri sebagai
saksi. Hal ini disebabkan karena saksi mahkota (kroon getuide) adalah kesaksian seorang yang
sama-sama menjadi terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila
terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana
Oleh karena itu bahwa kehadiran
dan/atau penggunaan saksi mahkota ini dilarang oleh KUHAP dan Yurisprudensi MA.
(Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174
K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi
Mahkamah Agung MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi
Mahkamah Agung No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi
Mahkamah Agung No 1706 K/Pid/1994, Yurisprudensi
Mahkamah Agung No 381 K/Pid/1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 429
K/Pid/1995).
Dari
pendekatan itulah, maka penulis membenarkan apabila terhadap Anggie dapat
menolak menjadi saksi. Namun persoalan menjadi lain apabila Anggie tidak
mengundurukan diri menjadi saksi dan tetap bersedia menjadi saksi. Keterangan
Anggie yang kemudian dapat dibuktikan “memberikan keterangan palsu” dimuka
persidangan menimbulkan persoalan yang cukup serius. Anggie dapat diseret “memberikan keterangan palsu”. Dari titik
inilah, maka kesempatan tidak digunakan oleh Hakim untuk “membongkar”
pertanyaan publik bagaimana rangkaian kejahatan yang sedang ditutupi oleh
“pihak yang berkepentingan”.
Maka
persidangan terhadap Anggie menjadi “kesempatan besar” untuk membuktikan apakah
keterangan Anggie sebagai saksi (waktu itu dalam perkara Mindo Rossa Manullang)
adalah “memberikan keterangan palsu” atau keterangan itu hanya berlaku sendiri
sebagai terdakwa dalam perkara yang sedang berjalan.
Selain
itu juga “merupakan kesempatan besar” untuk membongkar “manipulasi” anggaran
yang akan mengancam nama Partai. Atau kejahatan yang dilakukan hanya berkaitan
dengan oknum partai (meminjam istilah petinggi Partai Demokrat).
Terlepas
dari “kepentingan” publik ingin mengetahui rangkaian perbuatan yang sedang
dilakukan, pengungkapan kasus ini harus diapresiasi kepada kinerja KPK yang
terus membaik. KPK harus memberikan porsi yang seimbang agar siapapun yang
terlibat harus dipertanggungjawabkan dimuka persidanga.
Dimuat di Posmetro, 7 September 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/9405-sidang-anggie.html