07 September 2012

opini musri nauli : LANGIT TIDAK AKAN RUNTUH (Evaluasi Pengadilan adhock Tipikor)




LANGIT TIDAK AKAN RUNTUH
(Evaluasi Pengadilan adhock Tipikor)

Judul diatas diinspirasi dari adagium latin yang sangat terkenal. Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Kalimat ini paling sering diucapkan dan menjadi ikon berbagai lambang organisasi advokat

Adagium fiat iustitia ruat coelum (43 SM) menobatkan keadilan sebagai sebuah nilai dan kebajikan moral yang mutlak ditegakkan (di pengadilan). Meski penguasa harus dilengserkan dari takhtanya, keadilan sebagai kekuatan moral tetap dijunjung. Moralitas dalam pengadilan dikhianati saat seorang hakim mengkhianati etika profesinya Sebagai ujaran latin untuk melambangkan perjuangan untuk menegakkan hukum, ujaran ini “seakan-akan” menjadi mantra yang mampu menggelorakan sikap “ketidakadilan” dan berhadapan dengan berbagai hambatan dalam upaya penegakkan hukum. Mantra ini “seakan-akan” mampu menghipnotis dan memperjuangkan keadilan. Ujaran ini lebih “membumi” dibandingkan dengan nilai “keadilan”

Adagium itulah yang kemudian menginspirasi penulis disaat “teriakan”, kritikan, ataupun umpatan terhadap keberadaan Pengadilan Tipikor. “teriakan, kritikan ataupun umpatan didasarkan telah menangkap Hakim adhock  di Semarang.

Peristiwa ditangkapnya Hakim adhock Semarang oleh KPK memberikan peristiwa penting. Ditangkapnya kedua hakim adhock Semarang “usai” upacara 17 Agustus memang peristiwa paling memalukan.

Pertama. Pada hari ditangkapnya transaksi “penyuapan” dilakukan usai Upacara Kemerdekaan. Makna hari Kemerdekaan dinodai oleh generasi bangsa justru pada 67 tahun yang lalu, para pemimpin Republik sedang mencanangkan ikrar merdeka dari berbagai kolonial penjajahan. Baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Hari sakral ini tidak menjadikan renungan kepada para pelaku.

Kedua. Dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Bulan diharapkan segala tingkah laku dan perbuatan yang dilarang dapat dikendalikan sehingga menjadi manusia fitrah. Para pelaku tidak dapat memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan menjaga diri dari segala tingkah laku nahi mungkar.

Ketiga. Para pelaku adalah hakim yang mulia yang diharapkan dapat membantu Indonesia “keluar” dari krisis yang berkepanjangan disebabkan oleh korupsi. Pembentukan Pengadilan Tipikor dapat membuat para pelaku jera dan memberikan pendidikan kepada masyarakat secara luas terhadap “bahaya” korupsi. Dan tugas yang mulia ini kemudian “disalahgunakan” oleh kedua pelaku tersebut.

Tertangkapnya kedua pelaku memperpanjang daftar “tertangkapnya” hakim setelah sebelumnya Hakim Herman Alossitandi (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), Hakim Ibrahim (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara), Hakim Muhtadi Asnun (Ketua Pengadilan Negeri Tangerang dan Hakim Syafrudin Umar (Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)

KRITIK TERHADAP PENGADILAN TIPIKOR.

Keberadaan Pengadilan Tipikor merupakan political will dari negara, setelah berbagai kalangan anggota parlemen dan Pemerintah “gerah” dengan berbagai putusan bebas Pengadilan Negeri yang sering “membebaskan” para pelaku korupsi. Terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi dalam proses hukum acara sebelum disidangkannya kasus korupsi, “kegerahann” itu juga didasarkan upaya semangat pemberantasan korupsi yang sudah menjadi agenda nasional Pemerintahan.

Berangkat dari rasa keprihatinan itulah, kemudian dibentuknya pengadilan Tipikor. (Walaupun MK telah memerintahkan kepada parlemen untuk memperbaiki UU KPK, namun parlemen lebih menyetujui dibentuknya pengadilan tipikor di ibukota Propinsi). Seleksi hakim Tipikorpun dibuka. Baik dari kalangan karir maupun hakim non karir. Dari hasil seleksi kemudian hakim bertugas memeriksa dan mengadili perkara korupsi.

Dalam perkembangannya terbukti effektif. Hampir praktis tidak ada kasus korupsi yang “lolos”. Putusan pengadilan yang membebaskan para pelaku kemudian menjadi sorotan. Pengadilan Semarang merupakan salah satu pengadilan yang paling sering “membebaskan” para pelaku korupsi. KPK kemudian mencium dan kemudian menangkap para pelaku yang terbukti “disuap”.

Dunia hukumpun geger. Apabila sebelumnya para penegak hukum ditangkap (jaksa, hakim ataupun pengacara), namun momentum ditangkapnya hakim tipikor membuat “geger” melebihi angin topan tornado. Peristiwa ditangkapnya hakim tipikor “usai” upacara kemerdekaan disaat bulan Ramadhan membuat peristiwa ini kemudian “mengernyitkan” dahi. Begitu “berurat akarnya” korupsi masuk kedalam relung-relung kehidupan termasuk kedalam ranah pengadilan tipikor itu sendiri.

Sehingga tidak salah, apabila Ketua MK sendiri menghendaki Pengadilan Tipikor dibubarkan saja.

Namun, terlepas ditangkapnya Hakim Tipikor, perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Upaya itu terus menerus dilawan. Kita tidak boleh menyerah. Kita harus merapatkan barisan untuk memperkuat perlawanan itu.

Meminjam adagium yang telah disampaikan pada awal tulisan. Dunia tidak akan runtuh. Masih ada mutiara-mutiara Indonesia yang terus akan mengawal agenda pemberantasan korupsi.