LANGIT TIDAK AKAN RUNTUH
(Evaluasi Pengadilan adhock Tipikor)
Judul
diatas diinspirasi dari adagium latin yang sangat
terkenal. Fiat justitia ruat caelum, artinya Hendaklah
keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan oleh Lucius
Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Kalimat ini paling sering diucapkan dan
menjadi ikon berbagai lambang organisasi advokat
Adagium fiat iustitia ruat coelum (43 SM) menobatkan keadilan sebagai
sebuah nilai dan kebajikan moral yang mutlak ditegakkan (di pengadilan). Meski
penguasa harus dilengserkan dari takhtanya, keadilan sebagai kekuatan moral
tetap dijunjung. Moralitas dalam pengadilan dikhianati saat seorang hakim
mengkhianati etika profesinya Sebagai ujaran latin untuk melambangkan
perjuangan untuk menegakkan hukum, ujaran ini “seakan-akan” menjadi mantra yang
mampu menggelorakan sikap “ketidakadilan” dan berhadapan dengan berbagai
hambatan dalam upaya penegakkan hukum. Mantra ini “seakan-akan” mampu
menghipnotis dan memperjuangkan keadilan. Ujaran ini lebih “membumi”
dibandingkan dengan nilai “keadilan”
Adagium itulah yang kemudian menginspirasi penulis disaat
“teriakan”, kritikan, ataupun umpatan terhadap keberadaan Pengadilan Tipikor.
“teriakan, kritikan ataupun umpatan didasarkan telah menangkap Hakim adhock di Semarang .
Peristiwa ditangkapnya Hakim adhock Semarang oleh KPK memberikan peristiwa
penting. Ditangkapnya kedua hakim adhock Semarang
“usai” upacara 17 Agustus memang peristiwa paling memalukan.
Pertama. Pada hari ditangkapnya transaksi “penyuapan” dilakukan
usai Upacara Kemerdekaan. Makna hari Kemerdekaan dinodai oleh generasi bangsa
justru pada 67 tahun yang lalu, para pemimpin Republik sedang mencanangkan
ikrar merdeka dari berbagai kolonial penjajahan. Baik penjajahan Belanda maupun
Jepang. Hari sakral ini tidak menjadikan renungan kepada para pelaku.
Kedua. Dilakukan pada saat bulan Ramadhan. Bulan diharapkan segala
tingkah laku dan perbuatan yang dilarang dapat dikendalikan sehingga menjadi
manusia fitrah. Para pelaku tidak dapat
memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan menjaga diri dari segala tingkah laku
nahi mungkar.
Ketiga. Para pelaku adalah hakim yang mulia yang diharapkan dapat
membantu Indonesia
“keluar” dari krisis yang berkepanjangan disebabkan oleh korupsi. Pembentukan Pengadilan
Tipikor dapat membuat para pelaku jera dan memberikan pendidikan kepada
masyarakat secara luas terhadap “bahaya” korupsi. Dan tugas yang mulia ini
kemudian “disalahgunakan” oleh kedua pelaku tersebut.
Tertangkapnya kedua pelaku memperpanjang daftar “tertangkapnya”
hakim setelah sebelumnya Hakim Herman Alossitandi (Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan), Hakim Ibrahim (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara), Hakim
Muhtadi Asnun (Ketua Pengadilan Negeri Tangerang dan Hakim Syafrudin Umar
(Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
KRITIK TERHADAP PENGADILAN TIPIKOR.
Keberadaan Pengadilan Tipikor merupakan political will dari
negara, setelah berbagai kalangan anggota parlemen dan Pemerintah “gerah”
dengan berbagai putusan bebas Pengadilan Negeri yang sering “membebaskan” para
pelaku korupsi. Terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi dalam proses
hukum acara sebelum disidangkannya kasus korupsi, “kegerahann” itu juga
didasarkan upaya semangat pemberantasan korupsi yang sudah menjadi agenda
nasional Pemerintahan.
Berangkat dari rasa keprihatinan itulah, kemudian dibentuknya
pengadilan Tipikor. (Walaupun MK telah memerintahkan kepada parlemen untuk
memperbaiki UU KPK, namun parlemen lebih menyetujui dibentuknya pengadilan
tipikor di ibukota Propinsi). Seleksi hakim Tipikorpun dibuka. Baik dari
kalangan karir maupun hakim non karir. Dari hasil seleksi kemudian hakim
bertugas memeriksa dan mengadili perkara korupsi.
Dalam perkembangannya terbukti effektif. Hampir praktis tidak ada
kasus korupsi yang “lolos”. Putusan pengadilan yang membebaskan para pelaku
kemudian menjadi sorotan. Pengadilan Semarang merupakan salah satu pengadilan
yang paling sering “membebaskan” para pelaku korupsi. KPK kemudian mencium dan
kemudian menangkap para pelaku yang terbukti “disuap”.
Dunia hukumpun geger. Apabila sebelumnya para penegak hukum
ditangkap (jaksa, hakim ataupun pengacara), namun momentum ditangkapnya hakim
tipikor membuat “geger” melebihi angin topan tornado. Peristiwa ditangkapnya
hakim tipikor “usai” upacara kemerdekaan disaat bulan Ramadhan membuat
peristiwa ini kemudian “mengernyitkan” dahi. Begitu “berurat akarnya” korupsi
masuk kedalam relung-relung kehidupan termasuk kedalam ranah pengadilan tipikor
itu sendiri.
Sehingga tidak salah, apabila Ketua MK sendiri menghendaki
Pengadilan Tipikor dibubarkan saja.
Namun, terlepas ditangkapnya Hakim Tipikor, perlawanan terhadap
upaya pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti. Upaya itu terus menerus
dilawan. Kita tidak boleh menyerah. Kita harus merapatkan barisan untuk
memperkuat perlawanan itu.
Meminjam adagium yang telah disampaikan pada awal tulisan. Dunia
tidak akan runtuh. Masih ada mutiara-mutiara Indonesia yang terus akan mengawal
agenda pemberantasan korupsi.