Akhir-akhir
ini kita menyaksikan berbagai persidangan yang menyita energi pikiran kita.
Kasus-kasus remeh temeh seperti pencurian listrik cas HP, pencurian semangka,
pencurian semangko, kasus e-mail Prita, pencurian sandal disidangkan dan menimbulkan
persoalan serius dalam tataran filsafat hukum. Nurani tergugah. Persoalan
antara penerapan hukum dalam kajian positivisme hukum berhadapan dengan
keadilan disisi lain.
Dalam
kajian Filsafat Hukum yang terus menerus menggugat “ketidakadilan” dan terus menerus mempersoalkan “keadilan”, issu hukum menjadi salah satu
topik yang menarik untuk didiskusikan. Banyak lahir pemikiran besar yang terus
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan ilmu hukum.
Kita
kemudian mengenal Immanual Kant, Hans Kelsen, Hart, Thomas Aquinas, John Locke,
Hugo Grotius sekedar menyebutkan nama yang mempengaruhi pemikiran besar dalam
perkembangan filsafat hukum.
Dalam ranah filsafat hukum, secara
sederhana dirumuskan, Menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara (Plato).
Keadilan sebagai nilai yang paling sempurna/lengkap. Hukum harus membela
kepentingan atau kebaikan bersama/Common good) (Aristoteles). hukum
sebagai sistem harus adil (H. L. A. Hart).
Dalam perkembangan dalam abad
pertengahan yang sangat theosentris yang dicanangkan oleh Agustinus dan Thomas
Aquinas, hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum. Dalam lingkungan hukum
islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (hanya beberapa
tokoh pemikiran Islam sekedar contoh), Hukum dalam Fiqh bersifat
theosentris yang didasarkan kepada wahyu Illahi. Inilah yang disebut hukum
islam.
Pemikiran Aquinas diteruskan
pengikutnya seperti ahli hukum Belanda seperti Hugo Grotius
Sedangkan pada abad 17 – 19 yang
ditandai perkembangan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu
dahsyat (sebagian menamakan sebagai abad pencerahan), pemikiran ini kemudian
digagas dari Inggeris David Hume dan John Locke. Pada masa inilah kemudian
lahir mahzab “positivisme hukum”. Mazhab ini kemudian menemukan bentuknya
ketika Thomas Hobbes dan Immanual Kant yang meletakkan eksitensi negara pada
hukum positif diatas keadilan kontraktual.
Menurut Hobbes, keadilan sama dengan
hukum positif, maka hukum positif menjadi satu-satunya norma untuk menilai apa
yang benar dan salah, atau adil dan tidak adil. Pemikiran ini kemudian tampak
dalam Immanual Kant. Menurutnya, hak atas kebebasan individu pada titik sentral
konsepnya tentang keadilan. Keadilan akan terjamin apabila warga mengatur
perilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai universal
Pada
akhir
abad ke-19, perkembangan filsafat hukum ditandai dengan aliran baru yang
dikenal dengna nama mazhab Historis. Menurut Hegel, hukum merupakan realitas
politik harus dilihat sebagai tatanan etis yang secara normatif mengarahkan
perilaku manusia. Sedangkan Savigny, hukum sebagai refleksi etika sosial
masyarakat. Hukum yang baik, harus merupakan refleksi dari nilai etika
masyarakat
Mazhab ini kemudian menjadi inspirasi
bagi aliran hukum mazhab sosiologis. Hukum tidak dapat dipahami secara tepat
tanpa pemahaman sistematis mengenai tujuan yang melahirkan hukum, yang dapat
ditemukan dalam kehidupan sosial
Selanjutnya lahir pemikiran hukum
mazhab realisme hukum. Menurut Roscoe Pound yang dikenal sebagai social
engineering, hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan kitab hukum. Hukum
harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan
yang lebih baik. Hukum harus menjadi alat sosial (social engineering)
Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin
yang menegaskan, jika memahami hukum,
maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim.
Hukum baru menjadi hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim
untuk menyelesaikan kasus hukum.
Berangkat dari pernyataan Ronald
Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru
menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian
teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh
Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der
Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat
mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut
Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori
(lepas dari pengalaman) dan a
posteriori (berdasarkan pengalaman).
Dengan
menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian
dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan.
Pertanyaan
akan muncul. Apakah hakim sebelum menjatuhkan putusan (didalam pertimbangan vonis)
akan bersikap independent atau akan bersikap dependent. Dalam kajian filsafat
hukum, tentu saja kita akan mudah menjawabnya, hakim harus netral, imparsial
dan menggunakan pendekatan ilmu hukum normatif untuk menyelesaikan sengketa
yang terjadi.
Namun
fakta-fakta membuktikan sebaliknya. Dalam berbagai kasus yang sering kita lihat
di berbagai media (termasuk pemberitaan
lokal yang menyidangkan pelaku korupsi dimana hakim yang membacakan putusan
dengna menitikkan air mata), pengetahuan hakim berangkat dari a priori dan a posteriori. Tuntutan publik agar pelaku dihukum berat, ada
ketakutan membebaskan pelaku korupsi, semangat anti korupsi yang terus menerus
dikampanyekan merupakan salah satu dependent yang mempengaruhi hakim sebelum
menjatuhkan putusan.
Belum
lagi pendidikan, pengalaman, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pandangan
politik, jenis kelamin, struktur sosial yang juga mempengaruhi hakim didalam
putusannya.
Berangkat
dari sintesis a priori dan a posteriori
dalam lingkup independent dan dependent hakim sebelum memutuskan perkara,
pertimbangan hakim mempunyai bahan kajian yang menarik untuk selalu
didiskusikan. Dari ranah inilah kemudian kita dapat melihat bagaimana hukum
dapat “mewarnai” berbagai
perkembangan hukum yang tentu saja memberikan pengetahuan didalam menyelesaikan
berbagai persoalan sehari-hari.
Baca : Filsafat Hukum dan Keadilan