Beberapa
waktu yang lalu, kita menyaksikan sekitar 300 warga yang berasal dari tujuh
desa menyerang serta membakar kamp milik PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS) di
Desa Jati Baru, Kecamatan Mandiangin, Sarolangun. Mereka membawa parang, tombak
dan bensin.
Mereka
berasal dari tujuh desa antara lain Desa Butang Baru, Sungai Butang, Jati Baru,
Guruh Baru, Meranti Baru, Petiduran dan desa Bungku Kecamatan Bajubang
Kabupaten Batanghari. (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347363-amuk-massa--300-warga-bakar-kamp-perusahaan
Akibatnya,
4 blok camp atau 24 pintu bangunan, 1 unit kantor
menjadi hancur. Belum lagi 3 unit alat berat, 2 unit truck, 2 unit double
cabin, 2 tangki stok BBM solar.
Peristiwa
itu mengingatkan kita sebelumnya dalam berbagai konflik di Propinsi Jambi, baik
pembakaran PT. DAS tahun 1998, PT Tebora tahun 1999, PT KDA tahun 1999, PT Jamika
Raya tahun 2000, PTPN VI Tahun 2002. PT. DIPP tahun 2006, pembakaran alat berat
di Lubuk Madrasah tahun 2007. Bahkan tahun 2011 di PT. Asiatik Persada. Belum
lagi pengrusakan Kantor Gubenur tahun 1999, Kantor Polda Jambi tahun 2001,
Kantor DPRD Propinsi Jambi tahun 2007, Kantor BKSDA Tahun 2006.
Dilihat
dari tempat kejadian perkara (TKP), maka hampir merata di berbagai tempat di
Propinsi Jambi.
Terlepas
dari pemberitaan di berbagai media massa, konflik antara perusahaan (baik
pembangunan kelapa sawit/HTI) sering menimbulkan persoalan laten yang “jarang”
cepat diselesaikan dan cenderung “mengenyampingkan” persoalan hak antara
pemilik tanah/petani dengan perusahaan konsesi. Pemerintah dan perusahaan
seringkali mengabaikan terhadap keberadaan masyarakat yang telah menetap dan
tinggal di sekitar perusahaan.
Pemerintah
kemudian “sering” salah didalam merespon. Berbagai kerusuhan massal yang
kemudian berakhir dengan aksi-aksi kekerasan dan pembakaran perusahaan
merupakan akumulasi dari persoalan yang telah berlarut-larut yang belum dapat
diselesaikan. Namun bukan menyelesaikan persoalan substansi yang hendak
dikerjakan, Pemerintah sering menggunakan pendekatan pragmatis. Pemerintah
kemudian “sering kali” menyeret masalah dengan pendekatan hukum formil. Masyarakat
kemudian “digiring” untuk menyelesaikan di Pengadilan formal.
Selain
itu juga, kepolisian menggunakan pendekatan keamanan (security approach) an
sich. Ditentukan siapa yang melakukan kerusuhan massal dan menyeret menjadi
persoalan kriminal.
Pendekatan
ini, sebenarnya tidak salah. Hukum harus ditegakkan agar wibawa dan
penghormatan hukum mutlak. Namun menggunakan pendekatan keamanan (security
approach) an sich selain tidak menyelesaikan masalah pokok justru akan
meninggalkan bom waktu yang setiap saat akan meledak.
Dari
catatan penulis, pihak keamanan kemudian menerapkan pasal-pasal KUHP seperti
pasal 170 KUHP, pasal 187 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 218 KUHP, Pasal 406 KUHP, Pasal 412 KUHP atau Pasal 164 KUHP. Bahkan UU 12 Tahun 1951
juga dikenakan kepada para pelaku.
Namun
didalam pembuktian terhadap pasal-pasal yang dikenakan kepada para pelaku
berbeda-beda. Pembuktian terhadap para pelaku di Pengadilan Negeri Muara Bungo,
Pengadilan Negeri Kuala Tungkal selain menyatakan para pelaku terbukti bersalah,
juga menyatakan terdakwa dibebaskan karena para pelaku tidak terlibat dalam
perkara. Di Pengadilan Negeri Muara Bungo justru para pelaku dibebaskan karena
terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara (alibi).
Di
Pengadilan Negeri Jambi, para pelaku justru dinyatakan bersalah karena dianggap
sebagai “komandan lapangan” yang harus bertanggungjawab terjadinya pengrusakan
kantor Mapolda Jambi.
Sedangkan
di Pengadilan Negeri Bangko, justru para pelaku “tetap” dihukum” walaupun tidak
berada di tempat kejadian perkara (alibi) dengan menerapkan pasal 53 KUHP
(teori percobaan).
Dengan
melihat berbagai pasal-pasal KUHP yang diterapkan kepada para pelaku, dan
berbagai pandangan hakim terhadap pembuktian kepada para pelaku selain
memperkaya gagasan kita melihat setiap peristiwa kerusuhan massal, maka
persidangan terhadap para pelaku dalam berbagai kerusuhan massal selalu menarik
untuk menjadi bahan kajian yang menarik bagi kalangan akademis. Bahan kajian
selain melihat bagaimana pandangan hakim didalam melihat fakta-fakta yang
terjadi, norma yang diterapkan, pemikiran hakim yang dipengaruhi berbagai
pemikiran baik positivisme, realisme, progresif, pembuktian, putusan pengadilan
dalam berbagai perkara yang berkaitan dengan kerusuhan massal akan selalu mewarnai
dan menjadikan hukum sebagai topik yang selalu hangat dibicarakan. Dari ranah
inilah, kemudian kita akan selalu mengikuti persidangan.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 8 September 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 8 September 2012