07 September 2012

opini musri nauli : KUHP dalam kerusuhan massal



Beberapa waktu yang lalu, kita menyaksikan sekitar 300 warga yang berasal dari tujuh desa menyerang serta membakar kamp milik PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS) di Desa Jati Baru, Kecamatan Mandiangin, Sarolangun. Mereka membawa parang, tombak dan bensin.

Mereka berasal dari tujuh desa antara lain Desa Butang Baru, Sungai Butang, Jati Baru, Guruh Baru, Meranti Baru, Petiduran dan desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari. (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/347363-amuk-massa--300-warga-bakar-kamp-perusahaan

Akibatnya, 4 blok camp atau 24 pintu bangunan, 1 unit kantor menjadi hancur. Belum lagi 3 unit alat berat, 2 unit truck, 2 unit double cabin, 2 tangki stok BBM solar.

Peristiwa itu mengingatkan kita sebelumnya dalam berbagai konflik di Propinsi Jambi, baik pembakaran PT. DAS tahun 1998, PT Tebora tahun 1999, PT KDA tahun 1999, PT Jamika Raya tahun 2000, PTPN VI Tahun 2002. PT. DIPP tahun 2006, pembakaran alat berat di Lubuk Madrasah tahun 2007. Bahkan tahun 2011 di PT. Asiatik Persada. Belum lagi pengrusakan Kantor Gubenur tahun 1999, Kantor Polda Jambi tahun 2001, Kantor DPRD Propinsi Jambi tahun 2007, Kantor BKSDA Tahun 2006.
Dilihat dari tempat kejadian perkara (TKP), maka hampir merata di berbagai tempat di Propinsi Jambi.

Terlepas dari pemberitaan di berbagai media massa, konflik antara perusahaan (baik pembangunan kelapa sawit/HTI) sering menimbulkan persoalan laten yang “jarang” cepat diselesaikan dan cenderung “mengenyampingkan” persoalan hak antara pemilik tanah/petani dengan perusahaan konsesi. Pemerintah dan perusahaan seringkali mengabaikan terhadap keberadaan masyarakat yang telah menetap dan tinggal di sekitar perusahaan.

Pemerintah kemudian “sering” salah didalam merespon. Berbagai kerusuhan massal yang kemudian berakhir dengan aksi-aksi kekerasan dan pembakaran perusahaan merupakan akumulasi dari persoalan yang telah berlarut-larut yang belum dapat diselesaikan. Namun bukan menyelesaikan persoalan substansi yang hendak dikerjakan, Pemerintah sering menggunakan pendekatan pragmatis. Pemerintah kemudian “sering kali” menyeret masalah dengan pendekatan hukum formil. Masyarakat kemudian “digiring” untuk menyelesaikan di Pengadilan formal.

Selain itu juga, kepolisian menggunakan pendekatan keamanan (security approach) an sich. Ditentukan siapa yang melakukan kerusuhan massal dan menyeret menjadi persoalan kriminal.

Pendekatan ini, sebenarnya tidak salah. Hukum harus ditegakkan agar wibawa dan penghormatan hukum mutlak. Namun menggunakan pendekatan keamanan (security approach) an sich selain tidak menyelesaikan masalah pokok justru akan meninggalkan bom waktu yang setiap saat akan meledak.

Dari catatan penulis, pihak keamanan kemudian menerapkan pasal-pasal KUHP seperti pasal 170 KUHP, pasal 187 KUHP, Pasal 212 KUHP, Pasal 218 KUHP, Pasal 406 KUHP, Pasal 412 KUHP  atau Pasal 164 KUHP. Bahkan  UU 12 Tahun 1951 juga dikenakan kepada para pelaku.

Namun didalam pembuktian terhadap pasal-pasal yang dikenakan kepada para pelaku berbeda-beda. Pembuktian terhadap para pelaku di Pengadilan Negeri Muara Bungo, Pengadilan Negeri Kuala Tungkal selain menyatakan para pelaku terbukti bersalah, juga menyatakan terdakwa dibebaskan karena para pelaku tidak terlibat dalam perkara. Di Pengadilan Negeri Muara Bungo justru para pelaku dibebaskan karena terdakwa tidak berada di tempat kejadian perkara (alibi).

Di Pengadilan Negeri Jambi, para pelaku justru dinyatakan bersalah karena dianggap sebagai “komandan lapangan” yang harus bertanggungjawab terjadinya pengrusakan kantor Mapolda Jambi.

Sedangkan di Pengadilan Negeri Bangko, justru para pelaku “tetap” dihukum” walaupun tidak berada di tempat kejadian perkara (alibi) dengan menerapkan pasal 53 KUHP (teori percobaan).

Dengan melihat berbagai pasal-pasal KUHP yang diterapkan kepada para pelaku, dan berbagai pandangan hakim terhadap pembuktian kepada para pelaku selain memperkaya gagasan kita melihat setiap peristiwa kerusuhan massal, maka persidangan terhadap para pelaku dalam berbagai kerusuhan massal selalu menarik untuk menjadi bahan kajian yang menarik bagi kalangan akademis. Bahan kajian selain melihat bagaimana pandangan hakim didalam melihat fakta-fakta yang terjadi, norma yang diterapkan, pemikiran hakim yang dipengaruhi berbagai pemikiran baik positivisme, realisme, progresif, pembuktian, putusan pengadilan dalam berbagai perkara yang berkaitan dengan kerusuhan massal akan selalu mewarnai dan menjadikan hukum sebagai topik yang selalu hangat dibicarakan. Dari ranah inilah, kemudian kita akan selalu mengikuti persidangan.

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 8 September 2012