04 September 2013

opini musri nauli : CATATAN HUKUM PUTUSAN DJOKO SUSILO



CATATAN HUKUM PUTUSAN DJOKO SUSILO

Usai sudah pemeriksaan kasus perkara Djoko Susilo (DS). Putusan terhadap DS sudah dibacakan. Secara singkat telah diputuskan selama 10 tahun dan denda Rp 500 juta rupiah.

Sebagian kalangan “menganggap” putusan tersebut kurang adil. Kurang berat. Selain amar putusannya “hanya 10 tahun” dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK seberat 18 tahun, penggantian “nilai korupsi” dan juga pencabutan hak-hak politik baik hak untuk memilih maupun hak dipilih tidak dikabulkan oleh Hakim.

Mendengarkan putusan secara “live” yang dimuat oleh TV swasta menarik untuk didiskusikan. Terlepas dari putusan akhir, pertimbangan hakim sebelum memutuskan perkara (legal reasing) akan menjadikan tema hukum selalu menjadi bahan perdebatan.

Sebelum kita “memahami” pertimbangan hakim (legal reasing), ada baiknya kita sedikit mengenal kasus simulator SIM sehingga kita dapat membaca putusan dengan baik.

DS adalah Inspektur Jenderal Kepolisian (pangkat bergengsi), sebagai Kakorlantas yang menjadi penanggung jawab proyek. DS dinyatakan melakukan korupsi pada proyek pengadaan simulator uji kemudi kendaraan roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 senilai Rp 196 miliar di Korlantas. Dari pengadaan itu, dia didakwa memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi sehingga merugikan negara mencapai Rp 144 miliar.

Didalam berbagai ketentuan biasa dikenal sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Sebagai KPA, posisi ini cukup penting selain bertanggungjawab terhadap fisik, administrasi dan keuangan proyek, DS “dibebani” amanah untuk menjaga agar uang negara “tepat sasaran”, “berguna”, dan tidak diselewangkan.

Secara harfiah, maka DS “mewakili” negara untuk melakukan perbuatan hukum baik mengesahkan usulan proyek, mencairkan anggaran hingga menjaga barang yang diterima sesuai dengan “uang” yang keluar.

Begitu penting “amanah” yang dibebankan oleh ketentuan yang berlaku, maka DS harus “menjaga” agar proyek dapat dipergunakan oleh instansi kepolisian.

Namun dalam praktek, DS kemudian korupsi merugikan negara mencapai Rp 144 miliar, “menerima” uang puluhan milyar, “mendesain pemenang”, membuat proyek tidak berguna.

Yang paling heboh adalah “perlawanan” Mabes Polri terhadap KPK yang membuat KPK dan Polri berhadap-hadapan sehingga “menyita energi” yang luar biasa bangsa Indonesia harus mendukung KPK.

Dengan melihat begitu pentingnya kasus DS, maka tidak heran kemudian “pemberitaan media massa cukup antusias”. Selain memegang posisi penting dengna pangkat yang prestisius, uang yang dikorupsi cukup besar, menerima dana puluhan milyar, asset yang tersebar di berbagai kota, sehingga penegakkan hukum oleh KPK harus diberi porsi yang kuat.

Belum lagi terhadap kasus DS kemudian diterapkan TPPU yang masih menjadi perdebatan ahli hukum.

Pokoknya bisa dipastikan, baik terhadap penyimpangan, maupun dana yang diterima merupakan “mega proyek” yang harus diberi perhatian khusus.

Dengan melihat rangkaian kasus DS, maka KPK selain menerapkan tindak pidana korupsi juga menerapkan tindak pidana pemberantasan pencucian uang (TPPU)

Sehingga tidak heran, kasus DS merupakan salah satu kasus menonjol tahun 2013 selain kasus tertangkapnya petinggi partai Islam.

Berangkat dari rangkaian demi rangkaian yang setiap hari dipertontonkan di media massa, maka pertimbangan hakim (legal reasing) merupakan “pembelajaran” dari hakim. Putusan hakim harus ditelusuri apakah hakim dapat “menangkap” kegelisahan publik.

Pertama. Didalam unsur “setiap orang”. Secara singkat didalam unsur “setiap orang”, pertimbangan hakim hanya mendasarkan kepada “Setiap orang adalah adanya subyek hukum yang dalam hal ini orang sebagai pelaku tindak pidana, dan atas tindak pidana yang dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun rohaninya mampu untuk bertanggung jawab.

bahwa diawal persidangan telah diperiksa identitas terdakwa dan terdakwa telah membenarkan, bahwa apa yang tertera dalam Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah benar dirinya dan menurut pengamatan Majelis, selama persidangan berlangsung, terdakwa sehat jasmani dan rohaninya.

Padahal Unsur “Setiap orang” tidak dapat ditujukan kepada diri terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan, akan tetapi yang dimaksud Unsur “Setiap orang” dalam undang-undang adalah orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi semua unsure dari tindak pidana. Jadi untuk membuktikan unsure “Setiap orang” harus dibuktikan dulu unsure lainnya.

Unsur “Setiap orang” masih tergantung pada unsure lainnya. Apabila unsure itu telah terpenuhi maka Unsur “Setiap orang” menunjuk kepada terdakwa, tetapi sebaliknya apabila unsure- unsur yang lain tidak terpenuhi maka Unsur “Setiap orang” tidak terpenuhi pula.

Teori ini sesuai dengan teori kesalahan menurut van ECK “Men kan het daderschap uit de delictsomschrving aflezen“. Artinya “orang dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku dengan membaca suatu rumusan delik



Kedua. Penerapan TPPU. Tema penerapan TPPU oleh penyidik KPK memang menarik untuk didiskusikan. UU No. 30 tahun 2002 sama sekali tidak memberikan wewenang, peluang apalagi membicarakan tindak pidana pencucian uang (money laundring). Sama sekali, Tidak ada rumusan yang memberikan “ruang”, wewenang dari rumusan UU no. 30 Tahun 2002 dalam tindak pidana pencucian uang (money laundring).

Selain itu juga apabila kita mau “sejenak” menggali berbagai ketentuan yang berkaitan dengan korupsi, rumusan tindak pidana juga tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Pengadilan ad hock korupsi. Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 menegaskan “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi”. Dengan demikian maka ditegaskan ”penyidik dan Pengadilan adhock Tipikor tidak diberikan wewenang oleh UU untuk memeriksa dan mengadili perkara yang berkaitan dengan tindak pidana money laundring”.

Berbagai pertentangan norma (konflik norma) inilah yang kemudian menjadi diskusi hangat dalam kajian ahli hukum.

Sehingga tidak heran apabila penerapan TPPU oleh KPK akan ditunggu oleh publik setelah sebelumnya Pengadilan Ad hock Tipikor Jakarta juga pernah menjatuhkan putusan terhadap “Wa Ode Nurhayati, terdakwa kasus suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 2011” 

Ketiga. Uang Penggantian. Pertimbangan hakim yang tidak mengabulkan “uang pengganti” dengan alasan uang hasil korupsi kemudian “dicuci” dengna pembelian berbagai aset yang kemudian hasil TPPU “disita” oleh negara, membuktikan selain hakim “cukup cermat” dan dapat melambangkan “rasa keadilan” kepada DS, pertimbangan hakim juga sudah tepat. Terlepas dari berbagai kontroversi, pertimbangan ini sudah kuat argumentasinya.

Keempat. Hak Politik. Pertimbangan hakim yang tidak mengabulkan hak politik baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih masih menjadi diskusi yang menarik.

Selain karena DS sudah “dinyatakan” korupsi dan TPPU dengan menerima uang puluhan milyar dan kemudian “dicuci” dengan pembelian berbagai asset, melihat posisi DS yang begitu “mumpuni” baik karena jabatan maupun pangkat yang prestisius, maka tuntutan “pencabutan” hak politik relevan untuk dikabulkan.

Kelima. Konstruksi hukum. Konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim didalam pertimbangannya cukup menarik. Selain hakim menolak alasan TPPU tidak bisa diterapkan terhadap DS, penerapan TPPU baik sebelum tahun 2101 akan menjadi yurisprudensi. Dengan yurisprudensi maka asas “retroaktif” yang hanya diterapkan dalam tindak-tindak pidana tertentu seperti terorisme, HAM akan “memasuki” babak baru. Asas retrotaktif dapat diterapkan TPPU.

Keenam. Putusan Yang adil. Namun berbeda dengan pertimbangan hakim (legal reasing) yang menarik untuk dicermati. Terhadap putusan terhadap DS “masih terlalu rendah”. Melihat rangkaian kejahatan yang dilakukan oleh DS, baik dengna “nilai korupsi” dan uang yang dikorupsi cukup besar, menerima dana puluhan milyar, kemudian “dicuci” dengan pembelian berbagai asset, melihat posisi DS yang begitu “mumpuni” baik karena jabatan maupun pangkat yang prestisius, maka “justru” tuntutan JPU KPK 18 tahun masih “terlalu rendah”. “Seharusnya”, JPU KPK dapat menerapkan hukuman maksimal. Baik hukuman mati, hukuman seumur hidup atau hukuman 20 tahun penjara. Sehingga Hakim dapat memutuskan dengan hukuman maksimal.

Nilai korupsi DS yang mencapai Rp 144 miliar dapat diibaratkan dengan bandar narkoba Freddy Budiman yang mengatur peredaran ekstasi sebanyak 1.412.476 butir. Sehingga sudah “sepantasnya” hukuman maksimal dapat diterapkan terhadap DS.