CATATAN
HUKUM PUTUSAN DJOKO SUSILO
Usai
sudah pemeriksaan kasus perkara Djoko Susilo (DS). Putusan terhadap
DS sudah dibacakan. Secara singkat telah diputuskan selama 10 tahun
dan denda Rp 500 juta rupiah.
Sebagian
kalangan “menganggap” putusan tersebut kurang adil. Kurang
berat. Selain amar putusannya “hanya 10 tahun”
dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK seberat 18
tahun, penggantian “nilai korupsi” dan juga pencabutan hak-hak
politik baik hak untuk memilih maupun hak dipilih tidak dikabulkan
oleh Hakim.
Mendengarkan
putusan secara “live” yang dimuat oleh TV swasta menarik
untuk didiskusikan. Terlepas dari putusan akhir, pertimbangan hakim
sebelum memutuskan perkara (legal reasing) akan menjadikan
tema hukum selalu menjadi bahan perdebatan.
Sebelum
kita “memahami” pertimbangan hakim (legal reasing),
ada baiknya kita sedikit mengenal kasus simulator SIM sehingga kita
dapat membaca putusan dengan baik.
DS
adalah Inspektur Jenderal Kepolisian (pangkat bergengsi), sebagai
Kakorlantas yang menjadi penanggung jawab proyek. DS dinyatakan
melakukan korupsi pada proyek pengadaan simulator uji kemudi
kendaraan roda dua dan roda empat tahun anggaran 2011 senilai Rp 196
miliar di Korlantas. Dari pengadaan itu, dia didakwa memperkaya diri
sendiri, orang lain serta korporasi sehingga merugikan negara
mencapai Rp 144 miliar.
Didalam
berbagai ketentuan biasa dikenal sebagai Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA). Sebagai KPA, posisi ini cukup penting selain bertanggungjawab
terhadap fisik, administrasi dan keuangan proyek, DS “dibebani”
amanah untuk menjaga agar uang negara “tepat sasaran”,
“berguna”, dan tidak diselewangkan.
Secara
harfiah, maka DS “mewakili” negara untuk melakukan
perbuatan hukum baik mengesahkan usulan proyek, mencairkan anggaran
hingga menjaga barang yang diterima sesuai dengan “uang”
yang keluar.
Begitu
penting “amanah” yang dibebankan oleh ketentuan yang
berlaku, maka DS harus “menjaga” agar proyek dapat
dipergunakan oleh instansi kepolisian.
Namun
dalam praktek, DS kemudian korupsi merugikan negara mencapai Rp 144
miliar, “menerima” uang puluhan milyar, “mendesain
pemenang”, membuat proyek tidak berguna.
Yang
paling heboh adalah “perlawanan” Mabes Polri terhadap KPK
yang membuat KPK dan Polri berhadap-hadapan sehingga “menyita
energi” yang luar biasa bangsa Indonesia harus mendukung KPK.
Dengan
melihat begitu pentingnya kasus DS, maka tidak heran kemudian
“pemberitaan media massa cukup antusias”. Selain memegang
posisi penting dengna pangkat yang prestisius, uang yang dikorupsi
cukup besar, menerima dana puluhan milyar, asset yang tersebar di
berbagai kota, sehingga penegakkan hukum oleh KPK harus diberi porsi
yang kuat.
Belum
lagi terhadap kasus DS kemudian diterapkan TPPU yang masih menjadi
perdebatan ahli hukum.
Pokoknya
bisa dipastikan, baik terhadap penyimpangan, maupun dana yang
diterima merupakan “mega proyek” yang harus diberi
perhatian khusus.
Dengan
melihat rangkaian kasus DS, maka KPK selain menerapkan tindak pidana
korupsi juga menerapkan tindak pidana pemberantasan pencucian uang
(TPPU)
Sehingga
tidak heran, kasus DS merupakan salah satu kasus menonjol tahun 2013
selain kasus tertangkapnya petinggi partai Islam.
Berangkat
dari rangkaian demi rangkaian yang setiap hari dipertontonkan di
media massa, maka pertimbangan hakim (legal reasing) merupakan
“pembelajaran” dari hakim. Putusan hakim harus ditelusuri
apakah hakim dapat “menangkap” kegelisahan publik.
Pertama.
Didalam unsur “setiap orang”. Secara singkat didalam unsur
“setiap orang”, pertimbangan hakim hanya mendasarkan
kepada “Setiap orang adalah adanya subyek hukum yang dalam hal
ini orang sebagai pelaku tindak pidana, dan atas tindak pidana yang
dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun rohaninya mampu
untuk bertanggung jawab.
bahwa
diawal persidangan telah diperiksa identitas terdakwa dan terdakwa
telah membenarkan, bahwa apa yang tertera dalam Jaksa Penuntut Umum
tersebut adalah benar dirinya dan menurut pengamatan Majelis, selama
persidangan berlangsung, terdakwa sehat jasmani dan rohaninya.
Padahal
Unsur “Setiap orang” tidak dapat ditujukan kepada diri
terdakwa karena menentukan unsure ini tidak cukup dengan
menghubungkan terdakwa sebagai perseorangan, akan tetapi yang
dimaksud Unsur “Setiap orang” dalam undang-undang adalah
orang yang perbuatannya secara sah dan meyakinkan terbukti memenuhi
semua unsure dari tindak pidana. Jadi untuk membuktikan unsure
“Setiap orang” harus dibuktikan dulu unsure lainnya.
Unsur
“Setiap orang” masih tergantung pada unsure lainnya.
Apabila unsure itu telah terpenuhi maka Unsur “Setiap orang”
menunjuk kepada terdakwa, tetapi sebaliknya apabila unsure- unsur
yang lain tidak terpenuhi maka Unsur “Setiap orang” tidak
terpenuhi pula.
Teori
ini sesuai dengan teori kesalahan menurut van ECK “Men kan het
daderschap uit de delictsomschrving aflezen“. Artinya “orang
dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang pelaku
dengan membaca suatu rumusan delik”
Kedua.
Penerapan TPPU. Tema penerapan TPPU oleh penyidik KPK memang menarik
untuk didiskusikan. UU No. 30 tahun 2002 sama sekali tidak memberikan
wewenang, peluang apalagi membicarakan tindak pidana pencucian uang
(money laundring). Sama sekali, Tidak ada rumusan yang memberikan
“ruang”, wewenang dari rumusan UU no. 30 Tahun 2002 dalam tindak
pidana pencucian uang (money laundring).
Selain
itu juga apabila kita mau “sejenak” menggali berbagai
ketentuan yang berkaitan dengan korupsi, rumusan tindak pidana juga
tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Pengadilan ad hock korupsi.
Pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009 menegaskan “Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi”.
Dengan demikian maka ditegaskan ”penyidik dan Pengadilan adhock
Tipikor tidak diberikan wewenang oleh UU untuk memeriksa dan
mengadili perkara yang berkaitan dengan tindak pidana money
laundring”.
Berbagai
pertentangan norma (konflik norma) inilah yang kemudian
menjadi diskusi hangat dalam kajian ahli hukum.
Sehingga
tidak heran apabila penerapan TPPU oleh KPK akan ditunggu oleh publik
setelah sebelumnya Pengadilan Ad hock Tipikor Jakarta juga pernah
menjatuhkan putusan terhadap “Wa Ode Nurhayati, terdakwa kasus suap
Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 2011”
Ketiga.
Uang Penggantian. Pertimbangan hakim yang tidak mengabulkan “uang
pengganti” dengan alasan uang hasil korupsi kemudian “dicuci”
dengna pembelian berbagai aset yang kemudian hasil TPPU “disita”
oleh negara, membuktikan selain hakim “cukup cermat” dan
dapat melambangkan “rasa keadilan” kepada DS, pertimbangan
hakim juga sudah tepat. Terlepas dari berbagai kontroversi,
pertimbangan ini sudah kuat argumentasinya.
Keempat.
Hak Politik. Pertimbangan hakim yang tidak mengabulkan hak politik
baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih masih menjadi diskusi
yang menarik.
Selain
karena DS sudah “dinyatakan” korupsi dan TPPU dengan
menerima uang puluhan milyar dan kemudian “dicuci” dengan
pembelian berbagai asset, melihat posisi DS yang begitu “mumpuni”
baik karena jabatan maupun pangkat yang prestisius, maka tuntutan
“pencabutan” hak politik relevan untuk dikabulkan.
Kelima.
Konstruksi hukum. Konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim didalam
pertimbangannya cukup menarik. Selain hakim menolak alasan TPPU tidak
bisa diterapkan terhadap DS, penerapan TPPU baik sebelum tahun 2101
akan menjadi yurisprudensi. Dengan yurisprudensi maka asas
“retroaktif” yang hanya diterapkan dalam tindak-tindak
pidana tertentu seperti terorisme, HAM akan “memasuki”
babak baru. Asas retrotaktif dapat diterapkan TPPU.
Keenam.
Putusan Yang adil. Namun berbeda dengan pertimbangan hakim (legal
reasing) yang menarik untuk dicermati. Terhadap putusan terhadap
DS “masih terlalu rendah”. Melihat rangkaian kejahatan
yang dilakukan oleh DS, baik dengna “nilai korupsi” dan uang yang
dikorupsi cukup besar, menerima dana puluhan milyar, kemudian
“dicuci” dengan pembelian berbagai asset, melihat posisi
DS yang begitu “mumpuni” baik karena jabatan maupun
pangkat yang prestisius, maka “justru” tuntutan JPU KPK 18
tahun masih “terlalu rendah”. “Seharusnya”, JPU
KPK dapat menerapkan hukuman maksimal. Baik hukuman mati, hukuman
seumur hidup atau hukuman 20 tahun penjara. Sehingga Hakim dapat
memutuskan dengan hukuman maksimal.
Nilai
korupsi DS yang mencapai Rp 144 miliar dapat diibaratkan dengan
bandar narkoba Freddy Budiman yang mengatur peredaran ekstasi
sebanyak 1.412.476 butir. Sehingga sudah “sepantasnya”
hukuman maksimal dapat diterapkan terhadap DS.