25 April 2014

opini musri nauli : Kami Belajar dari rakyat




KAMI BELAJAR DARI RAKYAT !!!
Catatan Kritis Pertemuan Workshop Lembaga Hutan Desa
Bangko, 23 – 24 April 2014

Entah berapa kali mesti saya jelaskan, saya harus belajar dari rakyat bagaimana memandang alam. Bagaimana memandang hutan. Bagaimana mengelola alam. Bagaimana rakyat patuh terhadap hukum adat mereka sendiri.

Ya. Rasa kesal itu terus saya rasakan.

Di Bangko dalam pertemuan antara pengelola hutan Hutan Desa dengan pemangku kepentingan (stakeholders), sebuah lembaga penelitian dan konservasi “seakan-akan” mengajarkan bagaimana rakyat harus menjaga hutan. Mengajarkan rakyat untuk menentukan batas desa. Mengajarkan rakyat bagaimana menghitung potensi hutan desa.

Rasa marah kemudian memuncak, dengan tidak berdosa, mereka mengajarkan secara teknis cara-cara itu.

Sayapun kemudian menantang ke lembaga penelitian agar sebelum berbicara, harus turun ke lapangan. Memastikan proses yang telah dilakukan sebelum mengeluarkan teori-teori, teknis yang sudah diketahui masyarakat.

Alam Sekato Rajo Negeri Sekato Bathin

Seloko ini mudah ditemukan di masyarakat. Di Bangko juga dikenal makna ini dengan “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Sedangkan di Tebo dikenal dengan seloko Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin”.

Makna harfiahnya adalah segala sesuatu mengenai hutan haruslah dipandang dan dikelola dengan “persetujuan” dari musyawarah adat. Dengan persetujuan Kepala Adat kemudian menyetujui dan memberitahukan Pemangku adat untuk diatur dan dikelola. Para pemangku adat membuat hubungan yang harmonis antara warga masyarakat dengan adat, masyarakat dengan alam sekitarnya.


Rimbo Sunyi/rimbo ganuh

Rimbo sunyi (daerah dataran tinggi Bangko dan sarolangun) atau rimbo ganuh (daerah dataran sedang di Tebo) merupakan daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Daerah-daerah ini kemudian disimbolkan dengan “suasana magis” dengan perumpamaan tempat “para dewo” bertapo. Di Margo Batin Pengambang biasa dikenal sebagai “kepala sauk”.

Untuk memperkuatnya, mereka berujar “Siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.

Daerah-daerah itu memang tidak boleh dibuka. Apabila kita sedikit ada waktu, daerah-daerah yang disebutkan merupakan daerah-daerah dengan kemiringan diatas 30', hulu sungai maupun tempat-tempat makam keramat.

Di Tebo dalam Margo Sumay, masyarakat mengenal adanya tempat yang dilarang untuk dibuka. Di Desa Pemayungan dikenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Di Desa Semambu adalah Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di Desa Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.

Di Luak XVI (Disebutkan Luak XVI karena Luak XVI terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pembarap, Margo Renah Pembarap dan Margo Senggrahan. Sebuah daerah tinggi di Kabupaten Merangin, mereka mempunyai identitas berasal dari keturunan seperti DEPATI SUKO MERAJO untuk Desa Gedang, KEPUTUSAN DEPATI SUKO MENGGALO untuk Desa Tanjung Benuang, PIAGAM DEPATI DUO MENGGALO untuk Desa Tanjung Alam, PIAGAM RIO PENGANGGUNG JAGO BAYO untuk Desa Tanjung Mudo), masyarakat mengenal dengan istilah “rimbo ganuh” dan diikrarkan dengan “pantang larang”. Dan dengan seloko “durian dak boleh ditutu”.

Di Margo Sumay, rimbo bulian, hanya kayu bulian dibenarkan untuk diambil kayu membangun rumah. Sedangkan rimbo bulian tidak boleh dibuka.

Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang.

Para ahli merumuskan dengan menyebutkan “tanah yang dilindungi oleh roh-roh suci.

Tambo

Tambo adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam. Untuk menentukan batas desa dengan Desa lainnya, masyarakat juga mengenal istilah Tambo.

Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. (Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954.)

Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. (Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera.)

Misalnya antara Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto dilihat dari seloko “berinduk ke Tujuh Koto. Bebapak ke Bathin Dua Belas. Tambo Margo Sumay dengan sekitarnya. Margo Sumay dengan Petajin Ulu adalah Cendio Kanan. Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto adalah Rimbo Bulian. Margo Sumay dengan Batas Riau adalah Kerbau bekuak terus ke Dataran bukit Daun Salo di Bukit Seling. Margo Sumay dengan Lubuk Kambing (di Tungkal Ulu) yaitu Sungai Tebat Talang ke dekai.
Margo Sumay dengan Bungo adalah Sungai Ala ilir.

Jenjang Adat

Untuk menyelesaikan perselisihan adat, masyarakat mengenal tatacara penyelesaian yang dikenal dengan istilah “jenjang adat”, Bertangkap naik, Berjenjang turun. Di Margo Batin Pengambang dikenal “Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang Tiga Tali Sepilin. Didalam menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus didalam pemerintahan desa.

Sedangkan di Margo Sungai Tenang biasa dikenal “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat. Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku. Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala Dusun melapor kepada Kepala Desa.

Bila hukum yang mengikat itu adalah hukum adat, maka kesatuan masyarakat ini disebut masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen).

Hubungan Masyarakat dengna hukum adat diibaratkan seperti darah dan tanah (blut und boden).(David Henley dan Jamie Davidson, Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia)

Kekuatan hukum adat dan mampu bertahan dapat dilihat dari ujaran seperti “Adat Lamo Pusako usang. Adat Bertumpa-tumpak sarak. Syara' selingkukung Alam. Adat. Bersendi syara'. Syara' bersendi Kitabullah. Bak tali pepintal tigo bak emas dengan suaso. “Sekali air surut, sekali pulau beralih. Sekali air pasang, sekali tanjung putus. Atau Tanjung Putus, Pulau beralih. Pusako dianjak-anjakkan. Atau “Dak lekang karena panas, dak lapuk karena hujan”

Hukum adat tidak semata-mata hanya menciptakan ketertiban. Tapi juga ketenangan dan ketertiban (rust en orde).

Dengan demikian, maka rakyat mempunyai cara pandang memandang hutan. Rakyat mempunyai cara untuk menentukan daerah-daerah yang harus dijaga (areal konservasi). Rakyat mempunyai tata cara didalam menentukan wilayah adat (tambo). Rakyat mempunyai tata cara mekanisme untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.

Maka pengelolaan arif dan berkelanjutan yang telah dilakukan masyarakat didalam menjaga dan melindungi hutan berangkat dari nilai-nilai kearifan lokal (indigenous knowledge).

Dengan cara itulah maka mereka terbukti mampu menjaga hutannya. Mampu mengelola hutan. Dan mampu menyelesaikan persoalan mereka sendiri.

Bukti ?? !!! Ya. Hutan yang dikelola rakyat terbukti lebih baik daripada hutan yang diberikan dengan cara proteksi seperti Taman nasional atau hutan lindung. Atau hutan yang diserahkan melalui lisensi kepada perusahaan. Dan dari rakyat kami belajar.