KAMI BELAJAR DARI RAKYAT
!!!
Catatan Kritis
Pertemuan Workshop Lembaga Hutan Desa
Bangko, 23 – 24 April
2014
Entah berapa kali mesti
saya jelaskan, saya harus belajar dari rakyat bagaimana memandang
alam. Bagaimana memandang hutan. Bagaimana mengelola alam. Bagaimana
rakyat patuh terhadap hukum adat mereka sendiri.
Ya. Rasa kesal itu terus
saya rasakan.
Di Bangko dalam pertemuan
antara pengelola hutan Hutan Desa dengan pemangku kepentingan
(stakeholders), sebuah lembaga penelitian dan konservasi
“seakan-akan” mengajarkan bagaimana rakyat harus menjaga
hutan. Mengajarkan rakyat untuk menentukan batas desa. Mengajarkan
rakyat bagaimana menghitung potensi hutan desa.
Rasa marah kemudian
memuncak, dengan tidak berdosa, mereka mengajarkan secara teknis
cara-cara itu.
Sayapun kemudian
menantang ke lembaga penelitian agar sebelum berbicara, harus turun
ke lapangan. Memastikan proses yang telah dilakukan sebelum
mengeluarkan teori-teori, teknis yang sudah diketahui masyarakat.
Alam Sekato Rajo Negeri
Sekato Bathin
Seloko ini mudah
ditemukan di masyarakat. Di Bangko juga dikenal makna ini dengan
“Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo,
Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang. Sedangkan
di Tebo dikenal dengan seloko “Kampung
betuo, alam berajo, negeri bebathin”.
Makna harfiahnya adalah
segala sesuatu mengenai hutan haruslah dipandang dan dikelola dengan
“persetujuan” dari musyawarah adat. Dengan persetujuan
Kepala Adat kemudian menyetujui dan memberitahukan
Pemangku adat untuk diatur dan dikelola. Para
pemangku adat membuat hubungan yang harmonis antara warga masyarakat
dengan adat, masyarakat dengan alam sekitarnya.
Rimbo Sunyi/rimbo ganuh
Rimbo sunyi (daerah
dataran tinggi Bangko dan sarolangun) atau rimbo ganuh (daerah
dataran sedang di Tebo) merupakan daerah-daerah yang tidak boleh
dibuka. Daerah-daerah ini kemudian disimbolkan dengan “suasana
magis” dengan perumpamaan tempat “para dewo”
bertapo. Di Margo Batin Pengambang biasa dikenal sebagai “kepala
sauk”.
Untuk memperkuatnya,
mereka berujar “Siamang beruang putih. Tempat ungko berebut
tangis”.
Daerah-daerah itu memang
tidak boleh dibuka. Apabila kita sedikit ada waktu, daerah-daerah
yang disebutkan merupakan daerah-daerah dengan kemiringan diatas 30',
hulu sungai maupun tempat-tempat makam keramat.
Di Tebo dalam Margo
Sumay, masyarakat mengenal adanya tempat yang
dilarang untuk dibuka. Di Desa Pemayungan dikenal dengan istilah
hutan keramat seperti tanah sepenggal,
Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Di Desa Semambu adalah
Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di
Desa Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang
pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa
Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai,
Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul
Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang
Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.
Di
Luak XVI (Disebutkan Luak XVI karena
Luak XVI terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo
Peratin Tuo, Margo Tiang Pembarap, Margo Renah Pembarap dan Margo
Senggrahan. Sebuah daerah tinggi di Kabupaten Merangin, mereka
mempunyai identitas berasal dari keturunan seperti DEPATI SUKO MERAJO
untuk Desa Gedang, KEPUTUSAN DEPATI SUKO MENGGALO untuk Desa Tanjung
Benuang, PIAGAM DEPATI DUO MENGGALO untuk Desa Tanjung Alam, PIAGAM
RIO PENGANGGUNG JAGO BAYO untuk Desa Tanjung Mudo),
masyarakat mengenal dengan istilah “rimbo
ganuh” dan diikrarkan dengan “pantang
larang”. Dan dengan seloko “durian
dak boleh ditutu”.
Di
Margo Sumay, rimbo bulian, hanya kayu bulian dibenarkan untuk diambil
kayu membangun rumah. Sedangkan rimbo bulian tidak boleh dibuka.
Masyarakat
bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan
maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh
ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon
sialang.
Para
ahli merumuskan dengan menyebutkan “tanah
yang dilindungi oleh roh-roh suci.
Tambo
Tambo
adalah batas Margo yang ditandai dengan tanda-tanda alam. Untuk
menentukan batas desa dengan Desa lainnya, masyarakat juga mengenal
istilah Tambo.
Tambo
berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam
tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan
turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo
dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. (Lihat
Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta,
1954.)
Mengenai
istilah “Tambo”,
penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah
berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah
klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat.
Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti
nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda
berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih
terlihat sampai sekarang. (Bandingkan
definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya
“PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979,
mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini
diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera.)
Misalnya
antara Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto dilihat dari seloko
“berinduk ke Tujuh Koto. Bebapak ke Bathin Dua Belas. Tambo
Margo Sumay dengan sekitarnya. Margo Sumay dengan Petajin Ulu adalah
Cendio Kanan. Margo Sumay dengan Margo Tujuh Koto adalah Rimbo
Bulian. Margo Sumay dengan Batas Riau adalah Kerbau bekuak terus ke
Dataran bukit Daun Salo di Bukit Seling. Margo Sumay dengan Lubuk
Kambing (di Tungkal Ulu) yaitu Sungai Tebat Talang ke dekai.
Margo Sumay dengan Bungo
adalah Sungai Ala ilir.
Jenjang Adat
Untuk menyelesaikan
perselisihan adat, masyarakat mengenal tatacara penyelesaian yang
dikenal dengan istilah “jenjang adat”, Bertangkap naik,
Berjenjang turun. Di Margo Batin Pengambang dikenal “Bertangkap
naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai.
Barulah diselesaikan di tingkat Desa. Tegur Sapo. Tegur Ajar dan
Guling Batang Tiga Tali Sepilin. Didalam menyelesaikan
perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga
adat. Bebapak Kijang. Berinduk Kuaw. Apabila putusan telah
dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak perlu diurus
didalam pemerintahan desa.
Sedangkan di Margo Sungai
Tenang biasa dikenal “Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku
Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Saksi melapor kepada Menti. Menti Melapor ke Kepala Dusun. Kepala
Dusun memerintahkan Menti menghubungi/memberitahu Kepala Suku.
Apabila Pelaku tidak mau melaksanakan putusan denda adat, Kepala
Dusun melapor kepada Kepala Desa.
Bila hukum yang mengikat
itu adalah hukum adat, maka kesatuan masyarakat ini disebut
masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenschappen).
Hubungan
Masyarakat dengna hukum adat diibaratkan seperti darah dan tanah
(blut und boden).(David Henley dan Jamie
Davidson, Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam
buku “Adat Dalam Politik Indonesia)
Kekuatan hukum adat dan
mampu bertahan dapat dilihat dari ujaran seperti “Adat Lamo
Pusako usang. Adat Bertumpa-tumpak sarak. Syara' selingkukung Alam.
Adat. Bersendi syara'. Syara' bersendi Kitabullah. Bak tali pepintal
tigo bak emas dengan suaso. “Sekali air
surut, sekali pulau beralih. Sekali air pasang, sekali tanjung
putus”. Atau Tanjung Putus,
Pulau beralih. Pusako dianjak-anjakkan. Atau “Dak lekang
karena panas, dak lapuk karena hujan”
Hukum adat tidak
semata-mata hanya menciptakan ketertiban. Tapi juga ketenangan dan
ketertiban (rust en orde).
Dengan demikian, maka
rakyat mempunyai cara pandang memandang hutan. Rakyat mempunyai cara
untuk menentukan daerah-daerah yang harus dijaga (areal
konservasi). Rakyat mempunyai tata cara didalam menentukan
wilayah adat (tambo). Rakyat mempunyai tata cara mekanisme
untuk menyelesaikan persoalannya sendiri.
Maka
pengelolaan arif dan berkelanjutan yang telah dilakukan masyarakat
didalam menjaga dan melindungi hutan berangkat dari nilai-nilai
kearifan lokal (indigenous knowledge).
Dengan cara itulah maka
mereka terbukti mampu menjaga hutannya. Mampu mengelola hutan. Dan
mampu menyelesaikan persoalan mereka sendiri.
Bukti ?? !!! Ya. Hutan
yang dikelola rakyat terbukti lebih baik daripada hutan yang
diberikan dengan cara proteksi seperti Taman nasional atau hutan
lindung. Atau hutan yang diserahkan melalui lisensi kepada
perusahaan. Dan dari rakyat kami belajar.