24 Oktober 2014

JOKOWI DAN PETANDA


Usai sudah pesta perayaan pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden/Wakil Presiden. Rangkaian acara yang mengaduk-aduk emosi berbagai kalangan. Kedatangan Prabowo di acara pelantikan di MPR-RI, sambutan lautan manusia dari bundaran HI hingga di depan istana, antaran rakyat kepada Jokowi hingga gerbang istana Merdeka, upacara militer hingga tetesan air mata “first Lady” Ani Yudhoyono, hingga pesta music di Monas dan ditutupi rangkaian ikrar rakyat Indonesia. Semua larut dengan aktor utama.  Jokowi.


Cara kemasan dan rangkaian acara pelantikan Presiden/Wakil Presiden menyiratkan pembahasan penting. Bahasa Komunikasi yang digunakan oleh Jokowi dalam menghadapi berbagai “pertarungan’ di parlemen dan komunikasi yang dibangun oleh Jokowi membuat “pelantikan” Jokowi menjadi ajang “kemenangan” komunikasi Jokowi.

Dalam pengamatan sederhana, saya melihat adanya kesan kesenjangan dari kelas menengah dengan masyarakat lapis kelas bawah menangkap pesan dari Jokowi. Kelas menengah “mencibir” pidato yang disampaikan Jokowi dengan “menuduh” tidak berbobot”, tidak menggerakkan, tidak berkelas. Bahkan ada cibiran yang menganggap pidato Jokowi “kering”, datar tanpa makna.

Sementara masyarakat lapisan kelas bawah justru melihat kehadiran Jokowi dalam setiap kerumunan merupakan “kehadiran” pemimpin yang dirindukan. Pemimpin yang ditunggu-tunggu. Pemimpin diharapkan sebagai “bagian dari suara hati. 

Alam bawah sadar yang kemudian menyandingkan Jokowi sebagai “Soekarno” masa kini. “satrio piningit”. Ratu adil dan berbagai symbol sebagai wujud “pemimpin yang dirindukan.

Kesenjangan menangkap pesan antara kelas menengah dan masyarakat lapis kelas bawah berangkat dari “makna pesan” dari Jokowi. Untuk membedahnya, pisau analisis yang digunakan dalam Semiotika Roland Barthes (Barthes) menarik dijadikan rujukan.

Di tangan Barthes, semiotika structural beranjak ke tradisi post-struktural. Dari struktur teks menuju analisis orientasi pembaca.

Dengan jernih, Barthes meyakini hubungan antara petanda dan penanda tidak terbentuk secara alamiah tapi bersifat arbitrer. Ada hubungan antara petanda (signifier) dan penanda (signified). Dengan demikian maka apapun jenis tanda yang digunakan, tetap harus menyandarkan pada hubungan structural.

Proses memaknai dengan tanda signification merupakan proses yang memadukan petanda (signifier) dan penanda (signified). Barthes kemudian dikenal sebagai tokoh semiotika konotasi.

Dengan menggunakan istilah  petanda (signifier) dan penanda (signified), maka Jokowi sebagai petandai penanda (signifier) mempunyai hubungan dengan structural dengan masyarakat lapis kelas bawah sebagai petanda (signified). Jokowi kemudian menyampaikan pesan (sign) dan kemudian diterima oleh masyarakat.

Jokowi kemudian menggunakan cara berkomunikasi yang akrab, bahasa sederhana, membangun emosi dengan masyarakat dan kemudian menyerahkan tanda kepada masyarakat.

Setelah hubungan yang telah dibangun dengan masyarakat, maka tanda dari Jokowi mudah ditangkap oleh masyarakat. Rangkaian acara seperti “arak-arakan”, naik andong, membuka dasi dan jas selama arak-arakkan, menggunakan masyarakat sebagai relawan kemudian ditangkap sebagai bentuk “kerakyatan’. Sebagai pemimpin rakyat. Rakyat kemudian mengelu-elukan sepanjang perjalanan hingga masuk ke istana.

Jokowi kemudian berhasil memainkan peran petanda penanda. 

Sementara Ferdinand de Saussure (Saussure) menyebutkan bahasa sebagai tanda (sign) merupakan fakta social yang dari bahasa. Ucapan (parole) yang dikenal dari pendengar merupakan manifestasi penggunaan bahasa individual dan tindakan individual. Bukan sekedar bunyi-bunyian yang ditutur.

Meminjam teori yang disampaikan Saussure, bahasa yang digunakan Jokowi tidak sekedar kata-kata dan ungkapan bahasa semata. Namun ucapan (parole) yang telah dipahami oleh pendengarnya.

Jokowi “membuktikan” dengan penggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Jokowi kemudian melakukan tindakan individual untuk mengungkapkan tandanya.

Cara berkampanye Jokowi “blusukan”, memulai pidato dengan menyebut berbagai profesi seperti “tukang bakso, nelayan, buruh, petani, tukang kayu” merupakan tanda yang hendak dibangun Jokowi agar tanda (sign)nya sampai di masyarakat.

Dengan demikian, Jokowi bertujuan membangun ikatan yang mempersatukan pesan dari Jokowi dan masyarakat. Kalimat seperti “kerja. Kerja. Kerja” bukti rangkaian dari pesan Jokowi agar bisa tandanya bisa dibaca.

Saussure mempertegas, Jokowi sedang “memainkan” kesamaan (similaritas) semua sistem yang sudah dibangun dengan memberikan penjelasan tanda (sign).

Dengan menggunakan pisau bedah Barthes dan Saussure, bahasa dan tanda Jokowi kemudian ditangkap oleh masyarakat sebagai titik mulai bergerak sekaligus membuktikan barisan yang hendak disusun oleh Jokowi. Jokowi kemudian menjadi pemenang.