Usai
sudah pesta perayaan pelantikan Jokowi-JK sebagai Presiden/Wakil Presiden.
Rangkaian acara yang mengaduk-aduk emosi berbagai kalangan. Kedatangan Prabowo di acara pelantikan di MPR-RI,
sambutan lautan manusia dari bundaran HI hingga di depan istana, antaran rakyat
kepada Jokowi hingga gerbang istana Merdeka, upacara militer hingga tetesan air
mata “first Lady” Ani Yudhoyono, hingga pesta music di Monas dan ditutupi
rangkaian ikrar rakyat Indonesia. Semua larut dengan aktor utama. Jokowi.
Cara
kemasan dan rangkaian acara pelantikan Presiden/Wakil Presiden menyiratkan
pembahasan penting. Bahasa Komunikasi yang digunakan oleh Jokowi dalam
menghadapi berbagai “pertarungan’ di
parlemen dan komunikasi yang dibangun oleh Jokowi membuat “pelantikan” Jokowi menjadi ajang “kemenangan” komunikasi Jokowi.
Dalam
pengamatan sederhana, saya melihat adanya kesan kesenjangan dari kelas menengah
dengan masyarakat lapis kelas bawah menangkap pesan dari Jokowi. Kelas menengah
“mencibir” pidato yang disampaikan
Jokowi dengan “menuduh” tidak
berbobot”, tidak menggerakkan, tidak berkelas. Bahkan ada cibiran yang
menganggap pidato Jokowi “kering”,
datar tanpa makna.
Sementara
masyarakat lapisan kelas bawah justru melihat kehadiran Jokowi dalam setiap kerumunan
merupakan “kehadiran” pemimpin yang dirindukan. Pemimpin yang ditunggu-tunggu.
Pemimpin diharapkan sebagai “bagian dari
suara hati.
Alam
bawah sadar yang kemudian menyandingkan Jokowi sebagai “Soekarno” masa kini. “satrio
piningit”. Ratu adil dan berbagai
symbol sebagai wujud “pemimpin yang
dirindukan.
Kesenjangan
menangkap pesan antara kelas menengah dan masyarakat lapis kelas bawah
berangkat dari “makna pesan” dari
Jokowi. Untuk membedahnya, pisau analisis yang digunakan dalam Semiotika Roland
Barthes (Barthes) menarik dijadikan rujukan.
Di
tangan Barthes, semiotika structural beranjak ke tradisi post-struktural. Dari
struktur teks menuju analisis orientasi pembaca.
Dengan
jernih, Barthes meyakini hubungan antara petanda dan penanda tidak terbentuk
secara alamiah tapi bersifat arbitrer. Ada hubungan antara petanda (signifier) dan penanda (signified). Dengan demikian maka apapun
jenis tanda yang digunakan, tetap harus menyandarkan pada hubungan structural.
Proses
memaknai dengan tanda signification merupakan proses yang memadukan petanda (signifier) dan penanda (signified).
Barthes kemudian dikenal sebagai tokoh semiotika konotasi.
Dengan
menggunakan istilah petanda (signifier) dan penanda (signified), maka Jokowi sebagai
petandai penanda (signifier) mempunyai hubungan dengan structural dengan
masyarakat lapis kelas bawah sebagai petanda (signified). Jokowi kemudian
menyampaikan pesan (sign) dan kemudian diterima oleh masyarakat.
Jokowi
kemudian menggunakan cara berkomunikasi yang akrab, bahasa sederhana, membangun
emosi dengan masyarakat dan kemudian menyerahkan tanda kepada masyarakat.
Setelah
hubungan yang telah dibangun dengan masyarakat, maka tanda dari Jokowi mudah
ditangkap oleh masyarakat. Rangkaian acara seperti “arak-arakan”, naik andong, membuka dasi dan jas selama arak-arakkan,
menggunakan masyarakat sebagai relawan kemudian ditangkap sebagai bentuk “kerakyatan’. Sebagai pemimpin rakyat.
Rakyat kemudian mengelu-elukan sepanjang perjalanan hingga masuk ke istana.
Jokowi
kemudian berhasil memainkan peran petanda penanda.
Sementara
Ferdinand de Saussure (Saussure) menyebutkan bahasa sebagai tanda (sign)
merupakan fakta social yang dari bahasa. Ucapan (parole) yang dikenal dari pendengar merupakan manifestasi
penggunaan bahasa individual dan tindakan individual. Bukan sekedar
bunyi-bunyian yang ditutur.
Meminjam
teori yang disampaikan Saussure, bahasa yang digunakan Jokowi tidak sekedar
kata-kata dan ungkapan bahasa semata. Namun ucapan (parole) yang telah dipahami oleh pendengarnya.
Jokowi
“membuktikan” dengan penggunakan
bahasa yang mudah dimengerti. Jokowi kemudian melakukan tindakan individual
untuk mengungkapkan tandanya.
Cara
berkampanye Jokowi “blusukan”,
memulai pidato dengan menyebut berbagai profesi seperti “tukang bakso, nelayan, buruh, petani, tukang kayu” merupakan tanda
yang hendak dibangun Jokowi agar tanda (sign)nya sampai di masyarakat.
Dengan
demikian, Jokowi bertujuan membangun ikatan yang mempersatukan pesan dari
Jokowi dan masyarakat. Kalimat seperti “kerja.
Kerja. Kerja” bukti rangkaian dari pesan Jokowi agar bisa tandanya bisa
dibaca.
Saussure
mempertegas, Jokowi sedang “memainkan”
kesamaan (similaritas) semua sistem yang sudah dibangun dengan memberikan
penjelasan tanda (sign).
Dengan
menggunakan pisau bedah Barthes dan Saussure, bahasa dan tanda Jokowi kemudian
ditangkap oleh masyarakat sebagai titik mulai bergerak sekaligus membuktikan
barisan yang hendak disusun oleh Jokowi. Jokowi kemudian menjadi pemenang.