Pemerintah Kotamadya Jambi telah
mengumumkan kabut asap telah mencapai 242 pm. Angka yang masuk kriteria “tidak
sehat” dalam indeks standar pencemaran udara (ISPU). Walikota sudah
mengeluarkan “himbauan” kepada masyarakat kota Jambiagar mengurangi aktivitas
diluar rumah dan “sekolah diliburkan”.
Penerbangan terganggu. Sudah 5
hari penerbangan tidak dilanjutkan. Berbagai status di sosmed “selain
mengeluarkan rasa kesal”, juga menampakkan berbagai persoalan yang muncul.
Entah berapa kali pertemuan tidak
bisa dilanjutkan baik karena pembicara dari jakarta tidak datang, tidak bertemu
dengan rekan kerja hingga jadwal yang sudah mengganggu perjalanan.
Gubernur Jambi dan Dinas
Kehutanan sudah mengantisipasi berbagai potensi titik api. Dalam berbagai
tayangan berita, tim manggala Agni sudah menurunkan tim ke Muara Sabak dan
Muara Jambi. Titik api diperkirakan memang banyak terjadi disana.
Catatan Walhi Jambi tahun 2014
menunjukkan, dalam periode Januari – September 2014 titik api berasal dari
kawasan hutan, perkebunan sawit dan tambang.
Data-data ini dihimpun dari
berbagai sumber, di overlay dengan peta dan kemudian di sesuaikan dengan
perizinan.
Di kawasan hutan, titik api dapat
dilihat justru di areal konsensi perusahaan. Baik HTI di sebagian besar dekat
lanskap Bukit Tiga Puluh maupun dekat sebaran Taman Nasional Berbak. Titik api
di sekitar taman nasional merupakan indikasi, penghancuran hutan (deforestrasi)
masih terjadi di saat Jambi sudah berkomitmen untuk tunduk kepada Inpres
Moratorium.
Sedangkan di sektor perkebunan,
titik api masih dapat dilihat dengan sebaran merata di Tanjabtim, Muara Jambi,
Sarolangun, Merangin dan Tebo. Di Tebo, masih didominasi sekitar lanskap Taman
Nasional Bukit 30.
Data-data ini tidak begitu jauh
dengan kejadian asap pekat tahun 2013. Hampir praktis, data-data 2013
menunjukkan dengan pola yang sama dengan terjadinya asap pekat tahun 2014. Atau
dengan kata lain, titik api yang terjadi di tahun 2014 merupakan titik api yang
terjadi tahun 2013. Sehingga bisa dipastikan, tidak ada komitmen yang kuat dari
pemegang mandat negara untuk mengurusi asap.
Padahal Indonesia sudah
meratifikasi Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution) sebagai negara terakhir yang didesakkan berbagai negara Asean
dalam persoalan kabut asap (haze).
Pertanggungjawaban negara
Dalam Konstitusi, pasal 28H ayat
(1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat (the rights to healthful and deccen environemen)
merupakan hak asasi.
Deklarasi ini menegaskan keterkaitan
erat antara hak terhadap lingkungan yang baik dan sehat dan hak pembangunan,
seperti hak untuk hidup dalam kondisi yang layak dan hak hidup dalam suatu
lingkungan yang memiliki kualitas yang memungkinkan manusia hidup sejahtera dan
bermartabat.
Hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat ini menjadi penopang bagi hak-hak dasar manusia lainnya.
HAL ini kemudian diturunkan didalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pemerintah mendapatkan mandat
dari negara untuk melaksanakan kewajiban memenuhi HAL. Namun Pemerintah lalai
memenuhi kewajiban untuk memastikan HAL.
Kebakaran yang di areal kebakaran
lahan (titik api) terjadi di wilayah izin perusahaan baik perkebunan maupun
Hutan Tanaman Industri (HTI). Pemerintah terkesan tidak berkutik berhadapan
dengan perusahaan.
Pemerintah dapat memberikan sanksi kepada perusahaan yang
tidak mampu menjaga arealnya.
Namun Pemerintah terkesan
bertindak responsif dengan menyiapkan berbagai alat pemadam api, menyiapkan
masker, membuat edaran dan melarang aktivitas warga keluar rumah”. Bahkan
persoalan asap menguap ketika disiram air ketika musim hujan tiba. Sehingga
pelaku pembakaran sama sekali sulit disentuh.
Akhir tahun 2013, Walhi kemudian
meminta pertanggungjawaban negara dalam perbuatan melawan hukum oleh negara
(onrechtmaatigoverheidaad) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan tahun 2014,
Perusahaan akan diminta pertanggungjawaban dimuka hukum.
Kabut asap bukan bencana
Dengan melihat terjadinya
berbagai tempat titik api (hotspot), pola yang berulang, modus operandi
yang sama, maka bisa dipastikan, terjadinya kabut asap (haze) bukanlah
bencana.
Dalam berbagai literatur ilmu
hukum lingkungan, pembuktian terhadap bencana (act of god) dapat dilihat
dengan melihat kriteria seperti (a)Extraordinary, (b) Unprecedented, (c)
Unforeseeable, (d) Free from human intervention.
Maka dengna melihat kriteria
diatas, Bencana alam (act of god) merupakan misteri Tuhan dimana tidak
ada sama sekali campur tangan manusia. Bencana alam merupakan ranah
“preogratif” Tuhan. Bencana alam sebuah “kekuasaan” Tuhan dimana ilmu
pengetahuan tidak mampu menerangkan “kapan terjadinya'. Diluar daripada
kriteria diatas, merupakan “perbuatan manusia” yang harus
dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Lantas apakah kabut asap
merupakan bencana alam (act of god) ? Apakah penghancuran hutan (deforestrasi)
akan menimbulkan masalah di kemudian hari (bisa diprediksi) bisa dikatakan
sebagai bencana alam ? Apakah menghancurkan hulu sungai kemudian akan “menghabiskan'
cadangan air sebagai bentuk “perbuatan manusia” lantas kemudian
disebutkan sebagai bencana alam ?
Apakah menghancurkan gambut
kemudian seringnya terjadinya titik api sebagai bencana alam ?
Ilmu pengetahuan sudah
menjawabnya. Baik ilmu pengetahuan (sciencetific) maupun pengetahuan masyarakat
sudah mengajarkan bagaimana mengelola hutan, menjaga hulu sungai, melarang
ekspoitasi gambut merupakan salah satu bentuk “perlindungan” alam dari
kehancuran. Salah satu bentuk proses adaptasi dan kelangsungan ekosistem yang
tidak terpisahkan dari rantai proses yang panjang. Kesemuanya saling tergantung
dan tidak dapat dipisahkan. Memisahkan antara satu dengna yang lain dapat
terganggunya ekosistem dan akan berdampak kepada lingkungan itu sendiri.
Dan itulah hukum alam yang sudah
digariskan apabila terganggunya ekosistem dari proses yang panjang. Akibatnya,
maka “perbuatan manusia” yang mengganggu proses alam harus diproses dimuka
hukum. Dan seluruh rangkaian cerita yang telah disampaikan tidak dapat dikategorikan
sebagai “bencana alam”.