28 Oktober 2014

opini musri nauli : WAJAH INTELEKTUAL INDONESIA


Dunia politik heboh dengan ditunjuknya Susi Puji Astuti (Susi) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sebagian publik memberikan apresiasi dengan mengakui “kegigihan” membangun usaha dari nol. Perusahaan PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan hampir 50 pesawat propeler jenis Cessna Grand Caravan dan Avanti. Dari dua perusahaan itu, Susi bisa menghidupi ribuan karyawan. Susi juga dikenal sebagai Wanita pertama dengan pesawat Cessna berhasil menembus Meulabouh pasca Tsunami di Aceh.


Namun sebagian lain apriori dengan gaya “nyentrik” dan “cueknya'. Usai disebutkan namanya oleh Jokowi dalam sesi perkenalan Menteri, dia cuek mengambil rokok meminta awak media untuk sejenak “menghentikan” wawancaranya dan memberikan kesempatan untuk “merokok”. Dirinya juga memiliki tato. Dua hal itu masih dianggap tak lazim di Indonesia, apalagi bila dilakoni perempuan.
Sikap apriori dilihat dengan gaya urakan. Susi melawan mainseat perempuan Indonesia yang digambarkan “bersikap sopan”, “kemayu, menjaga citra, pakai sanggul, klimis dan ayu. Susi melawan mainseat.

Sikap ini kemudian mencibir dan kemudian menghujat. Tentu saja juga dilihat latar belakang kehidupan perkawinan dan pendidikan yang cuma tamat SMP (kelas 3 SMA drop out).

Dunia heboh. Sebagian mengagumi kiprahnya. Sebagian lagi menghujat.

Namun yang menarik perhatian saya, bukan hujatan ataupun pujian terhadap Susi. Tapi sindiran kelas menengah di Indonesia yang menghujat pendidikan Susi yang cuma tamat SMP. Kelas menengah Indonesia “menggunakan ukuran” kelas elite. Titel berjubel, pakaian yang sopan, gaya yang parlente.

Saya tersentak. Bagaimana mungkin sikap kelas menengah di Indonesia yang “menghujat” habis-habisan “seakan-akan” Susi tidak pantas menduduki Menteri. Menggunakan ukuran nilai dari menara gading.


Pendidikan membebaskan


Hampir setiap tahun, Indonesia menghasilkan ratusan ribu sarjana. Namun harus diakui pendidikan di Indonesia kemudian “hanya” berhasil mencetak tukang. Hanya menjadikan kaum terdidik sebagai teknorat semata.

Hampir praktis, sedikit sekali yang mau menoleh kepada Paulo Freire, pendidik multikultural yang mengabdikan dirinya kepada pendidikan yang memihak kepada penindas.

Pesannya jelas. Pendidikan selalu merupakan tindakan politis. Padahal pendidikan harus menegaskan pertanyaan seperti “apa ? Mengapa ? Bagaimana ? Untuk tujuan apa ? Bagi siapa ?. Pertanyaan itu sering disampaikan dalam diskusi-diskusinya.

Di dunia hukum juga mengalami persoalan yang sama. Para calon sarjana hukum “cuma dididik” sebagai “tukang” membaca rumusan pasal-pasal. Dipersiapkan sebagai teknorat seperti menjadi hakim, jaksa, polisi atau penasehat hukum.
Apabila dipersiapkan masuk kedalam struktur negara, para calon sarjana hukum kemudian dididik menjadi legal drafter. Kering makna.

Gugatan ini sudah sering disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengajak keluar dari “pakem” kaku kurikulum kampus. Slogan “Hukum untuk manusia” merupakan refleksi terhadap “kakunya sarjana hukum memandang hukum.

Sehingga tidak salah kemudian sarjana hukum gagap menghadapi putaran zaman dan masih “bernostalgia” dengan jimat hukum sebagai panglima. Mereka ketinggalan dengan perkembangan dunia yang terus berputar dan bergeraknya masyarakat Indonesia yang semakin dinamis.

Kemudian sarjana hukum gagap menciptakan pekerjaan dan cukup merasa zona aman dengan menjadi teknokrat.

Tidak salah kemudian sarjana hukum yang mempunyai nilai yang baik lebih merasa “aman” mengisi hari-harinya dengan memasuki pekerjaan yang tersedia.

Mereka tidak mau “mengambil resiko” untuk memasuki dunia diluar zona aman.

Sehingga tidak salah kemudian menjadi aneh“ mahasiswa yang mengambil pilihan hidup keluar di zona aman. Turun ke kampung-kampung, membentangkan poster, berdialog dari kampung-kampung, membangun kesadaran rakyat, belajar dari kampung.

Padahal mereka yang “keluar dari out of the box”, sudah diingatkan Antonio Gramsi dalam bukunya “negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.

Yang dimaksud dengan intelektual tradional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.

Slogan Susi “ini hidup saya. Saya sendiri yang mengisinya' membuktikan Susi adalah intelektual organic. Susi menginsipasi perempuan Indonesia. Susi menginspirasi rakyat Indonesia menatap ke depan.

Selamat datang intelektual organik. Selamat jalan intelektual tradisional.