MASA DEPAN SUMBERDAYA ALAM JAMBI[1]
Musri Nauli[2]
Memasuki paruh waktu tahun 2017, saya belum
menemukan format, desain ataupun arah kebijakan Jambi didalam melihat
permasalahan termasuk upaya penyelesaian di sector sumberdaya alam Jambi.
Padahal angka-angka kerusakan sumberdaya alam sudah
tahap mengkhawatirkan[3].
Tahun 2015 saja, kebakaran telah meliburkan sekolah selama 2 bulan lebih, ISPU
mencapai 1200 pm, menyebabkan ISP 20.471 orang[4], menewaskan 3 orang, menimbulkan Rp 221 Trilyun
kerugian akibat kebakaran hutan[5]
Angka ini kemudian melengkapi Laju kerusakan
hutan mencapai 871.776 hektare (ha)
selama tiga tahun terakhir. Angka ini melebihi angka deforestrasi nasional yang mencapai
613 ribu hektar. Melengkapi kawasan hutan lindung untuk tambang seluas 63 ribu
hektar[6]
Di sector tambang, daya rusak tambang dari areal
yang diberikan kepada perusahaan yang tidak melewati procedural “clean and Clear” sebanyak 190 IUP. Belum
lagi reklamasi yang belum diselesaikan meninggalkan lubang yang berbahaya.
Belum lagi aktivitas pertambangan yang
mengakibatkan Sungai Batanghari tercemar Merkuri[7].
Semua aktivitas pertambangan kemudian menjadikan
“rakyat hanya menikmati debu”. Lingkungan hidup tidak lagi bisa diperbaiki.
Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang menganga tanpa
reklamasi tambang.
Akibatnya, daya
dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat
menyebabkan terjadi banjir dan erosi.
Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami kebanjiran kemudian
mengalami kebanjiran setiap musim hujan tiba. Selain itu timbulnya konflik
satwa dengan manusia[8].
Problema ini
kemudian melengkapi problema kerusakan hutan sebelumnya seperti pembukaan hutan
untuk sawit, tambang dan konflik di sector kehutanan.
Untuk melihat
problema kerusakan sumberdaya alam, maka penulis menggunakan berbagai kebijakan
untuk melihat bagaimana Negara mampu menyelesaikanya.
Dokumen yang
dianalisis yaitu Peraturan Daerah Prov Jambi No. 10 Tahun 2013 Tentang RTRW Propinsi ,
RPJMP Jambi, Visi- misi Gubernur/Wakil Gubernur jambi 2016-2021, tim
pemberantasan PETI, Adanya tim gambut daerah, Perda No. 2 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan kebakaran di Jambi. Dokumen kemudian dianalisis
untuk menjawab kebutuhan terhadap problema kerusakan sumberdaya alam.
Pentingnya membaca dokumen diperlukan untuk melihat
arah, desain, format dan upaya penyelesaian kerusakan sumberdaya alam. Dari
analisis kemudian dilakukan upaya penggalian format penyelesaian (elaborasi).
Untuk membaca angka-angka kerusakan lingkungan
hidup maka haruslah diletakkan didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Provinsi Jambi (RPJMP Jambi). Dari hasil analisis terhadap dokumen didalam
melihat problema lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka didapatkan hasil
sebagai berikut ;
1.
Dokumen RPJMP
sama sekali tidak melihat semakin berkurangnya lahan pertanian yang dikonversi
untuk industry (baik sawit maupun tambang).
2.
Tidak terdapat
upaya yang kongkrit untuk melakukan reboisasi hutan yang gundul.
3.
Melihat
problema hutan di 4 taman nasional (Taman Nasional Kerinci Sebelat, Taman
Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit Dua Belas, Taman Nasional
Berbak).
4.
Tidak ada
satupun desaian atau upaya untuk mengembalikan kerusakan lingkungna hidup
5.
Tidak ada
satupun upaya ataupun perhatian di sector gambut.
Sedangkan didalam Visi – Misi Gubernur/Wakil
Gubernur Jambi 2016-2021 (Visi-misi) yang disampaikan ke KPU Propinsi Jambi
justru semakin mengkhawatirkan.
1.
Adanya dokumen
yang menyebutkan tutupan masih 70% dawi wilayah Jambi.
2.
Merebut Pulau
Berhala[9]
3.
Pemenuhan
pelayanan dasar
4.
Pemenuhan
listrik 181,07 MW
Membaca dokumen RPJMP Jambi dan Visi – Misi, maka
dapatlah dikatakan “cukup menyedihkan”.
Dengan dokumen RPJPM dan Visi-Misi maka dapat
dikatakan bahwa Pemerintah Propinsi Jambi belum meletakkan persoalan kehutanan
berangkat dari “daya rusak” yang sudah mengkhawatirkan.
Daerah-daerah hulu sungai yang menjadi penyangga
dan merupakan daerah yang harus dikembalikan fungsinya tidak dilakukan upaya
rehabilitasi.
Daerah-daerah seperti kawasan penyangga Taman
Nasional Kerinci Sebelat dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang menjadi “water cachctment area” telah rusak namun
belum dilakukan upaya rehabilitasi.
Sehingga banjir yang terjadi di Tabir, Batang Asai,
Taman Agung (Bungo) Kuningan, Sungai Bengkal, Lubuk Bungur, Punti Kalo,Tambun
Arang, Teluk Singkawang (Tebo)[10]
– “sekedar gambaran” - adalah daerah
yang tidak mengenal banjir.
Belum lagi banjir yang memutuskan jalan Jambi –
Sarolangun akibat sungai meluap di Batang Tembesi diakibatkan kerusakan di hulu
Batang Tembesi akibat penambangan emas.
Sekedar gambaran dari banjir awal tahun 2017
memberikan angka-angka yang cukup mengkhawatirkan. Daya rusak yang ditanggung
oleh Bumi Jambi akibat pembukaan hutan konversi untuk HTI, sawit, tambang tidak
menjadi perhatian dari dokumen RPJMP Jambi.
Yang mengkhawatirkan adalah “paparan” dari Visi –
Misi Gubernur/Wakil Gubernur Jambi. Dengan penyebutan “tutupan hutan 70 %
wilayah Jambi”, angka ini sungguh menyesatkan.
Dengan kalkulasi luas wilayah Jambi 4,8 juta hektar
dikalkulasikan 70% wilayah Jambi, maka menurut dokumen Visi-Misi Gubernur/Wakil
Gubernur Jambi, maka tutupan hutan Jambi “masih” 3,6 juta hektar. Angka ini
sungguh “menggelikan” apabila tidak dikatakan “mengerikan” ataupun “memalukan”.
Padahal berbagai data sudah menunjukkkan Laju kerusakan
hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi
pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774
ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis
341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha).
Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4
juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah
Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan
pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.
Belum lagi kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak
diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada
dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.
Dengan penghitungan sederhana, maka “sebenarnya” tutupan hutan di Jambi tinggal
800 ribu hektar. Itupun termasuk didalam kawasan Taman Nasional.
Dengan demikian maka paradigma “tutupan hutan 70% wilayah Jambi” merupakan
“ilusi” sebelum reformasi. Ataupun “mimpi” yang belum terbangun disaat kondisi
sekarang.
Problema lain adalah pandangan tentang gambut. Kerusakan gambut menjadi
“penyuplai” kebakaran tahun 2015. Dengan areal terbakar mencapai 135 ribu
hektar[11] dimana 40% berada di gambut, maka gambutlah
haruslah dikembalikan fungsinya dengan cara “perendaman gambut (restorasi gambut).
Didalam dokumen RPJPM maupun Visi – Misi Gubernur Jambi sama sekali tidak terlihat. Walaupun adanya upaya “politik” Pemerintah
Jambi dengan “hak inisiatif” dari DPRD Provinsi Jambi dengna mengundangkan
Peraturan Daerah No 2 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Kebakaran dan dibentuknya Tim Gambut Jambi
Namun upaya pembasahan gambut (restorasi gambut) belum dilaksanakan
“berkejaran” dengan waktu “ancaman musim kering” lebih parah dibandingkan
dengna tahun 2015.
Di sektor pertanian, negara “abai” terhadap kenyataan konversi lahan
pertanian untuk sawit dan tambang.
Pada tahun 1986 tanah di wilayah Jambi meliputi
areal persawahan sekitar 99.068 ha (2,2%), areal perkebunan negara dan swasta
sekitar 591.044 ha (13,2%), areal tegalan/kebun/ladang/huma sekitar 423.117 ha
(9,4%,) areal tanah yang ditumbuhi kayu-kayuan sekitar 609.609 ha (13,6%),
areal kehutanan sekitar 1.614.000 ha (36,0%) dan areal pemukiman dan budi daya
lainnya sekitar 1.143.162 ha (25,6%)
dari seluruh luas wilayah
Namun kemudian areal persawahan tahun 2012 tinggal
112.174,02. Sedangkan lahan sawah
irigasi terus menurun dari 33.839 ha (2008) tinggal 8.446 (2012). Begitu juga
penurunan Luas Lahan Tegal/Kebun dari 393.112 (2011) tinggal 374.557 (2012).
Angka yang tidak berbeda jauh yang disampaikan oleh Pemerintah Propinsi Jambi.
Berbagai aktivitas manusia seperti kebakaran, alih
fungsi kawasan, penggunaan dan penggunaan bibit unggul dalam satu kawasan
menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.
Akibat kebakaran maka tanah menjadi rusak dan
terbuka sehingga ketika terjadi hujan maka lapisan tanah teratas akan terbawa
ke sungai dan mengendap disana (sedimentasi). Sungai menjadi dangkal sehingga
ketika musim hujan yang panjang akan menyebabkan banjir.
Sekedar angka-angka yang telah dipaparkan kemudian membuka mata kita
terhadap pandangan negara (baik didalam
kebijakan maupun upaya pemulihan terhadap kerusakan lingkungna hidup).
Berangkat dari
paparan angka-angka problema lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang telah
“diramu” dari berbagai sumber disandingkan dengan RPJMP dan Visi – Misi Jambi,
maka persoalan lingkungan hidup di Jambi belum mampu dibaca Provinsi Jambi.
Pemerintah Propinsi Jambi belum mampu menjawab apalagi mempunyai desain untuk
upaya penyelesaian.
Selain itu
meletakkan paradigma “investor” sebagai barometer ekonomi dan pertumbuhan
sebagai indicator pembangunan masih melambangkan konsepsi ekonomi “pertumbuhan”
(growth). Sebuah konsep usang dan diakui sendiri oleh World Bank sebagai konsep
yang justru meminggirkan masyarakat.
Belum lagi
konsepsi pembangunan yang dinilai dari indicator terhadap pembangunan fisik
seperti “meningkatkan kualitas bandara Bungo” dan RSU Bungo sebagai Pusat
Regional Rumah Sakit Regional dan dukungan pendanaan setiap desa Rp 200 juta.
Dengan demikian
maka rakyat kemudian “dibiarkan” untuk melakukan tugasnya “mengembalikan fungsi
hutan (reboisasi), menyelesaikan konflik, melakukan upaya pembasahan gambut
(restorasi gambut).
“Lepas
tangannya” Negara selain mengakibatkan tugas rakyat semakin berat dengan “ancaman
konflik “semula konflik vertical menjadi konflik horizontal” dan dilarang
membuka dengan cara membakar “merun’.
Baca : Catatan kritis P.83
[1] Disampaikan pada Rapat Kerja
Daerah Walhi Jambi, 4 April 2017
[2] Direktur Walhi Jambi 2012-2016
[3] Tahun 2015, Walhi Jambi
mengadakan penilaian terhadap Indikator Lingkungan Hidup. Formula yang
digunakan menggunakan prinsip sebagaimana diatur didalam UU No. 32 Tahun 2009
yaitu “daya dukung” dan “daya tampung”. Dengan menggunakan “Hak hidup yang baik
dan sehat”, “daya dukung dan daya tampung”, analisis ilmiah dan pengetahuan
local masyarakat, Walhi Jambi kemudian memaparkan angka-angka terhadap
kerusakan lingkungan hidup Jambi tahun 2015. Angka ini semakin parah yang
ditandai dengan kebakaran tahun 2015 dan banjir yang melanda awal tahun 2017
[4] Data berbagai sumber. Diolah
Walhi, 2016
[5] Rp 221 Trilyun kerugian akibat
kebakaran hutan, Kompas, 17 Desember 2015. Angka ini terlalu kecil apabila
dibandingkan Bahkan menurut penghitungan Basuki
Wasis, peneliti IPB yang melakukan penghitungan kerugian kebakaran tahun 2014,
dengan areal terbakar 286 hektar untuk tahun 2014 menimbulkan kerugian 44 trilyun. Sehingga
dengan kalkulasi 286 hektar saja kemudian dikonversi ke areal terbakar 2 juta
hektar maka merugikan 5,2 bilyun atau 2 kali APBN Indonesia.
[6] Koordinasi dan Supervisi KPK
tahun 2014
[7] Menurut pakar ekotoksikologi
Institut Pertanian Bogor, Etty Riani menyebutkan Semua polutan itu berbahaya,
tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai dalam pemurnian emas. Cukup
0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah menyebabkan kematian.
Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh
bersifat akumulatif. Masuknya Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) dapat
menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin
cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. ”Kematian biasanya tidak cepat
datang. Pelan, tetapi pasti.
[8] Konflik Gajah
di sekitar Lanscape Bukit Tiga Puluh di sekitar Taman nasional Bukit Tigapuluh
daerah Tebo sering mengalami konflik dengan manusia. Menurut berbagai sumber,
Ada sekitar 150 konflik setahun. Sedangkan seringnya peristiwa harimau masuk
kampung dan mengakibatkan korban manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun.
Munculnya konflik satwa disebabkan areal kawasan habitat satwa sudah semakin
menyempitnya dengan pembukaan hutan oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun
sawit skala besar dan pertambangan.
[9] Mengenai “Pulau Berhala” tidak
dibahas dalam makalah ini.
[10] Data dari berbagai Sumber diolah
di YKR
[11] Walhi sendiri mencatat, hasil
analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI
5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api, Walhi 2016
[12] Dari 16 titik sampling di
sepanjang DAS Sungai Batanghari, lima titik tercemar sedang. Sedangkan sisanya
tercemar limbah berat, Kompas, 2 November 2015
[13] Data menunjukkan
konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. Menurut Tim Inventarisir dan
Penyelesaian Konflik 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27
konflik diprioritaskan untuk diselesaikan