Sebagai
masyarakat Melayu, Masyarakat Melayu Jambi terbuka terhadap kedatangan penduduk
dari luar dusun. Pengaruh Minangkabau dapat dilihat di Marga Sungai Tenang, Marga
Pangkalan Jambu, Marga Air hitam, Marga Pelawan, Marga Batin Pengambang, Marga
Bukit Bulan, Marga Datuk nan Tigo, Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga
Jujuhan, Marga Sumay, Marga Serampas. Seloko seperti “Jika
mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja
ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau[1] membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara
masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Atau berasal
dari Jawa Mataram[2]. Cerita ini begitu kuat di Marga Sungai Tenang,
Marga Batin Pengambang dan Di Marga Maro Sebo Ulu. Cerita tentang dari Mataram
juga dikenal di Marga Serampas.
Kisah
Turki dapat ditemukan di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera. Seperti di
Senyerang (Marga Tungkal Ilir) )[3],
Marga Kumpeh[4],
Marga Jebus dan masyarakat di pantai timur Sumatera[5].
Bahkan cerita tentang Sulthan Thaha Saifuddin tidak dapat dilepaskan dari kisah
“vassal” Turki[6].
Jejak Kerajaan Jambi kemudian
dikenal kisah Dara Petak dan Dara Jingga[7].
Sejarah kedatangan dan pesiar Raja Jambi dikenal di beberapa perjalanan. Di
Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir, Marga VII Koto dan Marga IX Koto,
Marga Sumay dan Marga Renah Pembarap.
Seloko
terhadap kedatangan penduduk dari luar dusun ditandai dengan Seloko seperti “Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung
dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan
adalah perumpaan keterbukaan
masyarakat dengan pendatang[8].
Sebagai
bentuk keterbukaan dengan masyarakat pendatang maka dikenal “tanah pemberian”.
Di
Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung.
Tanah gunting”. Yang ditandai untuk masyarakat Desa Tanjung Alam dengan istilah
“tanah Koto 10, belalang pungguk 9”.
Atau “Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.
Dusun
Tanjung Mudo merupakan tanah pemberian dari Koto 10 namun penduduknya berasal
dari Pungguk 6 yaitu berasal dari Dusun Baru dan Dusun Kototeguh. Mereka
kemudian “beladang jauh” di wilayah
Koto 10. Di masyarakat dikenal dengan istilah “Tanah Koto 10, belalang Pungguk 6”. Ada juga menyebutkan “Belalang Pungguk 6. Padang Koto 10.
Sedangkan
Tanjung Alam merupakan tanah dari Koto
10 namun penduduknya berasal dari Pungguk 9. Dikenal dengna istilah “tanah Koto 10, belalang pungguk 9”. Atau
“Belalang Pungguk 9. Padang Koto 10.
Sedangkan
Koto Rawang penduduknya berasal dari Lubuk Pungguk yang termasuk kedalam
Pungguk 9. Sedangkan wilayah diberikan oleh Pungguk 6. Dikenal dengan
istilah “Tanah Pungguk 6, Belalang Lubuk Pungguk. Lubuk Pungguk termasuk kedalam Pungguk 9.
Istilah “tanah Irung, Tanah gunting”. Atau dengan istilah “mengirung
dan mengunting tanah Koto Sepuluh”. Masyarakat Pungguk
Sembilan Tanahnya merupakan pemberian Koto Sepuluh yang kemudian disebut dengan
“Belalang
Pungguk Sembilan Padang Koto Sepuluh”.
Tanah Irung Tanah Gunting berdasarkan
tembo : “muaro sungai titian teras di sungai sirih
(sungai tembesi sekarang), peradun limau keling (mudik tanjung alam), terus
ketanah genting, pauh belepang, dusun talang lengis, laju ke muaro sungai
matang di sungai sirih mudik ke sungai sirih” [9]”.
Terhadap
masyarakat diluar Marga Sungai Tenang dikenal ujung batin. Penduduknya berasal
dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian
diberikan dari Marga Sungai Tenang. Biasa dikenal dengan istilah “tanah ujung Batin”. Ditandai dengan
Seloko “Belalang Batin Pengambang. Tanah Koto 10.
Begitu
juga dengan Desa Renah Alai. Renah Alai merupakan masyarakat yang berasal dari
dusun yang termasuk kedalam Marga Serampei. Kemudian pindah ke Inum Pendum yang
termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Dusun Inum Pendum kemudian menggunakan
nama Renah Alai. Renah Alai kemudian masuk kedalam Marga Serampas.
Sedangkan
Sungai Lisai merupakan ujung dari wilayah Pungguk 9 yang terletak di Dusun
Muara Madras. Sungai Lisai kemudian masuk kedalam wilayah Sungai Lisai Kecamatan
Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Lokasi desa yang berada di tengah-tengah Taman
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Jarak Desa Sungai Lisai ke Desa Seblat Ulu yang
merupakan desa terdekat, hanya 9,5 kilometer.
Tanah
Pembarap
Dalam
himbauan dari Raja Jambi, melihat pemukiman di sekitar bawah Gunung Masurai
yang masih sepi, maka Penduduk dari Serampas kemudian turun untuk menghuni
kawasan di bawah Marga Serampas. Biasa dikenal dengan istilah Tanah Pembarap.
Dusun-dusun
yang termasuk kedalam Tanah Pembarap seperti Tanjung Asal, Dusun Durian Mukut,
Peraduan Temeras, Air Lago, Badak Terkurung, Rantau Pangi, Pulau Raman,
Sekancing, Dusun Baru Padang lalang, Rantau Limau Kapas, Muara Inum,
Dusun
Rantau Limau Kapas, Dusun Sekancing termasuk kedalam Marga Tiang Pumpung dan menjadi
kecamatan Tiang Pumpung. Desa Muara
Pangi, Rantau Jering kemudian masuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai.
Sedangkan
Air Lago, Badak Terkurung, Peraduan Temeras, Pulau raman masuk ke Marga Tiang
Pumpung kemudian masuk ke kecamatan Muara Siau.
Di
Marga Pelepat dikenal Pemberian tanah yang disebut didalam seloko “Sejalar Peringgi. Sekokok Ayam”. Seloko
ini melambangkan wilayah yang hendak diberikan[10].
Begitu juga wilayah Ujung Tanjung yang diberi gelar Rio Bagindo merupakan
wilayah “Sebiduk luncur. Sekokok ayam.
Marga
IX Koto dikenal “koto yang ramai”. Daerah ini kemudian dikenal sebagai daerah
Transmigrasi di Rimbo Bujang[11].
Marga
Jebus di Desa Rukam dikenal “jejawi
berbaris dan tali gawe’.
Hanya
Marga Air Hitam dikenal sebagai Tanah Bejenang.
Istilah Jenang adalah penamaan dari “orang
yang dipercaya” dari Tumenggung[12].
Tanah nan berjenang adalah wilayah sembilan yang berada di bawah pemerintahan jenang. Lembaga
jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan
daerah daerah di pedalaman akan keberadaan otoritas sentral. Daerah tersebut
meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari.
Penduduk Tanah nan berjenang ini bermukim migran dari Minangkabau yang disebut
sebagai orang Batin dan orang Penghulu, dan yang berasal dari Palembang, yaitu
orang Rawas[13].
Penamaan Tanah bejenang kemudian dipadankan
seperti “tuo kampung, tanah bejenang, rajo bepenghulu, negeri bebatin.
Di daerah hilir dikenal
“pancung alas”. Pemberian tanah dari
Pemangku adat.
[1] Kozok, Uli, &
Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the Sumatran King of
All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal. 135-158
[2] Versi Jawa Mataram ditemukan di Pulau Tengah,
Renaah Pelaan. Bahkan hingga Marga di Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan
Marga Sanggrehan.
[5] A. Mukty Nasruddin, “Jambi Dalam Sejarah
Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, 1989, h. 64-65
[6] E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C.
Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerientah Hindia Belanda 1889 –
1936, INIS VII, Jakarta, 1992.
[7]
Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja
Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian
Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[7],
Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada
masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas
dari kerajaan Majapahit.
[8] Hamzah Raden, Pertemuan di Desa
Teluk Singkawan, 16 Maret 2013.
[9] Riset Walhi Jambi, 2013
[11] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016