Bak
“aur dengan tebing” kata temanku
sembari posting di FB bersama dengan istrinya. Akupun tersenyum melihat
postingnya.
Di tengah masyarakat Melayu Jambi
dikenal “Bak
aur dengan tebing, tebing sayang ke aur, aur sayang dek tebing, tebing runtuh
aur tebawo. Tidak terpisahkan antara tebing
dengan aur.
Ya. Istilah
aur merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Dengan adanya “aur”
maka aur kemudian menjadi penahan
tebing agar tidak runtuh. Sedangkan apabila runtuhpun tebing, maka aur
mengikuti tebing dan hanyut ke air.
Menurut
kamus Besar Bahasa Indonesia, “aur”
kemudian diartikan “duri bambu yang berduri, kuning bambu kuning, licin bambu yang tidak berduri”.
Istilah bambu juga sering dilekatkan
kepada sifat kepemimpinan. Dikenal “bilah
bambu”. Seorang pemimpin tidak dibenarkan untuk “satu diinjek, satu diangkat”. Menampakkan sifat tidak adil.
Terhadap saudara maupun kelompoknya dilindungi. Namun terhadap masyarakat
kemudian diinjak-injak dengna hukum yang keras.
Tema bambu kemudian hangat di
Jakarta. Dengan semangat heroic, rakyat Jakarta menyambut Asian Games dengan
mengibarkan bendera dengan bambu. Semangat heroic kemudian digelorakan oleh
Gubernur Jakarta sebagai bentuk “partisipasi
public”. Bahkan dengan mengeluarkan surat Edaran kepada Walikota agar
dukungan dan bentuk partisipasi public tidak boleh dihalangi.
Heroik bambu runcing tidak dapat
dilepaskan dari suasana kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan berbekal bambu runcing
rakyat Indonesia berhasil mengusir penjajah. Semangat heroic inilah yang
kemudian digelorakan oleh Gubernur Jakarta.
Semangat heroic menyambut Asian
Games di Jakarta tidaklah salah. Namun dengan anggaran APBD mencapai 77
trilyun, menyambut tamu dari negara-negara Asia dengan bambu adalah sebuah
kenaifan. Bukankah gelora semangat heroic rakyat diletakkan pada tempatnya.
Pertama. Sebagai tuan rumah Asian
Games, ini adalah pesta yang disambut dengan riang gembira. Menyambut riang
gembira tentu saja menggerakkan rakyat Jakarta dengan cara menyiapkan
relawan-relawan untuk menyukseskan.
Entah menyiapkan berbagai
tempat-tempat yang mudah ditemukan oleh pelancong, menyiapkan relawan membantu
memudahkan perjalanan para pelancong. Atau menyiapkan rakyat Jakarta untuk
mengisi berbagai tempat-tempat kejuaraan sehingga semarak Jakarta dapat dirasakan.
Kedua. Asian Games bukanlah ‘suasana
perang’ yang disambut bambu runcing. Dengan anggaran sebesar itu (anggaran
terbesar di Indonesia), penyambutan para pendatang di Jakarta haruslah gegap
gempita.
Lihatlah bagaimana panitia TPS di
berbagai daerah yang menyambut tamu Pemilu atau Pilkada dengan menyiapkan tenda
atau berpakaian daerah.
Atau lihatlah suasana 17-an agustus.
Suasana semarak benar-benar dirasakan oleh rakyat. Sehingga meletakkan bambu dan
kemudian mengaitkan dengan “perang” adalah perumpamaan yang sungguh tidak masuk
akal.
Ketiga. Simbol bambu adalah symbol kejayaan
Indonesia mengusir penjajah. Lalu dengan menggunakan bambu apakah dapat
membangkitkan semangat nasionalisme para atlet yang akan bertanding ? Rasanya
terlalu naif. Kata anak muda zaman now “Jaka
sembung bawa golok”.
Yang dibutuhkan atlet justru
supporter yang mengisi berbagai venue sehingga semangat atlet terpompa.
Sembari meneruskan membaca, aku cuma
bergumam. “Sudah, ah. Mungkin kurang
piknik”.