14 Agustus 2025

opini musri nauli : Jambu kleko

 


Seloko adat Jambi merupakan sebuah warisan lisan yang menyimpan kearifan lokal mendalam.

Seringkali makna sebuah seloko tidak bisa dipahami secara harfiah. Melainkan harus ditafsirkan secara simbolis. 


Salah satu contoh yang paling menarik adalah penyebutan "jambu kleko" dalam konteks seloko adat. Jauh dari sekadar deskripsi buah, "jambu kleko" adalah sebuah metafora yang kompleks, mengakar pada sistem hukum adat dan struktur sosial masyarakat Jambi, khususnya dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah.


Penyebutan "jambu kleko" tidak berdiri sendiri, melainkan muncul dalam satu frasa yang lebih panjang yang ditemukan dalam dokumen-dokumen tentang struktur sosial dan hukum adat. Seloko yang menyebutkan "hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas” secara sekilas seperti untaian kata-kata acak


Namun sebenarnya adalah sebuah narasi hukum. Ini merupakan bagian dari "klaim adat" yang digunakan oleh masyarakat untuk mendefinisikan dan mempertahankan wilayah mereka. 

Seloko ini erat kaitannya dengan konsep "hak wenang pilih," yaitu hak individu atau kelompok untuk mengelola sebidang tanah sesuai dengan kesepakatan adat.


Untuk memahami Makna Simbolis dari Jambu Kleko maka harus dibedah dengan analisis mendalam. 


Jambu. Dalam konteks ini, "jambu" tidak mengacu pada buah melainkan pada pohon atau tanaman. Pohon adalah simbol dari kehidupan, keberlanjutan, dan hak untuk menggarap. Dengan "menanam" (cacak tanam), seseorang atau sekelompok orang secara simbolis mengukuhkan klaim mereka atas sebidang tanah.


Istilah "kleko" dalam konteks ini sangat krusial. Meskipun maknanya tidak secara eksplisit didefinisikan, ia sering dikaitkan dengan penanda atau patok. 


"Kleko" adalah sejenis penanda alamiah atau buatan yang digunakan untuk membatasi wilayah yang telah diklaim. Kombinasi "jambu" dan "kleko" menciptakan gambaran yang jelas. Sebuah pohon yang ditandai atau ditanam sebagai patok untuk menegaskan batas kepemilikan. Cara adat untuk membubuhkan "tanda tangan" pada sebidang tanah tanpa menggunakan dokumen tertulis.


Sehingga seloko Jambu Kleko dan "Cacak Tanam” yang  Penyebutan "jambu kleko" selalu berdampingan dengan frasa "cacak tanam." Dengan demikian maka kepemilikan tanah dalam masyarakat adat Jambi tidak hanya didasarkan pada klaim verbal, tetapi juga pada tindakan nyata, yaitu menggarap dan menanam.


Selain itu adanya Cacak tanam adalah tindakan awal dan mendasar yang secara sah memulai klaim atas suatu lahan. Sehingga Jambu kleko adalah penanda fisik dari tindakan "cacak tanam" tersebut.


Dengan demikian seloko ini menggambarkan proses yang sistematis. Anda menanam (cacak tanam), lalu Anda menandai klaim Anda dengan simbol alam yang kuat (jambu kleko) dan dari situlah hak atas tanah Anda diakui secara adat.


Dengan demikian maka adalah Jati Diri Adat yang Terkandung dalam Seloko. Seloko "jambu kleko" adalah contoh luar biasa dari bagaimana masyarakat adat Jambi mengintegrasikan bahasa, alam, dan hukum menjadi satu kesatuan. 


Sekaligus menunjukkan hukum adat mereka bukanlah sekadar peraturan, tetapi sebuah pandangan hidup yang diungkapkan melalui perumpamaan yang indah dan kaya makna.


Sehingga  seloko "jambu kleko" lebih dari sekadar nama buah. Sebuah simbol kuat yang mencerminkan sistem kepemilikan tanah yang bijaksana, di mana hak ulayat diakui melalui tindakan, ditandai dengan alam, dan diwariskan melalui tradisi lisan yang puitis. 


Seloko ini adalah bukti nyata kearifan leluhur dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.  Sekaligus memastikan keadilan sosial dalam pembagian sumber daya.


Advokat. Tinggal di Jambi