Ketika penyerbuan Belanda ke istana Kerajaan Jambi dan Sultan Thaha Saifuddin kemudian menyingkir hingga Tanah Garo, maka praktis kekuasaan Jambi dimasukkan kedalam residentie Palembang.
Wilayah Palembang yang semula Sembilan afdeeling menjadi sepuluh afdeeling. Namun penetapan Marga belum sempat dilakukan, selain Belanda belum effektif melakukan kekuasaannya, perlawanan dari Sultan Thaha Saifuddin membuat Belanda belum “merasa nyaman” untuk melakukan “control” di wilayah Jambi.
Bahkan Belanda masih “trauma” dengan penyerbuan rakyat Jambi di Muara Kumpeh yang menewaskan Kepala Dagang VOC, Sybrandt Swart. “Penyerbuan” ini kemudian membuat Raja Jambi, Sultan Sri Ingalago kemudin ditangkap dan dibuang ke Batavia dan ke Pulau Bangka.
Selain itu juga, Belanda “ketakutan” koresprodensi dari Sultan Thaha Saifuddin kepada Negara Turki agar Kerajaan Jambi merupakan “vassal” dari Kerajaan Turki
Didalam buku Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, diterangkan, Snouk Hurgronje mengetahui bagaimana upaya Sultan Thaha menyurati Sultan Turki, melalui Singapore, untuk memperoleh cap yang menyatakan bahwa Jambi merupakan bahagian dari wilayah vassal state Turki, agar Belanda tidak berbuat sewenang-wenang. Sultan Thaha mempercayakan kepada salah seorang putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk membawa surat ke Turki. Akan tetapi sesampainya di Singapure, surat tersebut diserahkan kepada seorang pembesar dari keturunan Arab untuk dibawa ke Istambul Turki dengan memberi imbalan sebesar 30.000 dollar Spanyol.
Sehingga ketika Belanda “memobilisasi” kekuatan yang didatangkan dari Palembang dan Padang dan membuat Benteng di Muara Tembesi tahun 1901 menyebabkan Sultan Thaha Saifuddin “terdesak” hingga ke Tebo, Tanah Sepenggal dan Tanah Garo.
Sultan Thaha Saifuddin kemudian dinyatakan meninggal tahun 1904. Dan wilayah Jambi kemudian dijadikan resident Jambi tahun 1907.
Melihat rentang waktu penetapan Marga 1852 di Palembang, maka wilayah Jambi “dimasukkan” dimasukkan kedalam “afdeeling” Palembang. Namun control wilayah Belanda di Jambi praktis mulai effektif tahun 1907.
Dengan demikian, maka penetapan Marga tahun 1922. Status Marga tersebut diperkuat dengan staatsblad Nomor 464 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam tahun 1922. Maka Sejak tahun status Marga merupakan daerah otonomi tingkat rendah (inlandsche Gemeente) dan statusnya diatur didalam Inlandsche Gemeente Ordeonantie Buitengewesten atau (IGOB) dengan staatblad Nomor 490 tahun 1936 (LihatStefanie Steinebach, Der Regenwald ist unser Haus - Die Orang RImba auf Sumatra zwischen Autonomie und fremdbestimnung, Universitatsverlag Gottingen)
Dengan demikian, maka UU Simbur Cahaya “tidak pernah” diperlakukan di wilayah residen Jambi.
Dan dalam praktek di tengah masyarakat, berbagai nilai-nilai dan pranata-pranata norma didalam UU SImbur Cahaya sama sekali tidak dikenal dan diterapkan di masyarakat.
Istilah “ringgit” dalam sanksi denda sama sekali tidak dikenal. Dalam praktek yang masih diterapkan, denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan. Dimulai dari sanksi “ayam sekok. Beras segantang. Selemak-semanis”, “kambing sekok. Beras 10 gantang. Selemak semanis” hingga “kerbau sekok. Beras seratus gantang. Selemak semanis”.
Sedangkan sanksi adat didalam UU Simbur Cahaya mengenal pelayanan “ringgit” dan “tengang satu kambing”.
Masyarakat masih menggunakan aturan adat sebagaimana norma yang telah diperlakukan sebelum kedatangan Belanda. Aturan yang masih diterapkan hingga kini.
Baca : Mengenal Kitab (3)