Dalam pembicaraan sehari-hari membicarakan sejarah Desa (Tembo), Sejarah keberadaan masyarakat termasuk membicarakan asal usul Desa, istilah “puyang” tidak dapat dihindarkan.
Puyang kemudian merujuk satu nama untuk menyebutkan “asal-usul” sejarah nenek moyang.
Walaupun kemudian sering juga menyebutkan “nenek” menyebutkan satu nama. Tapi penyebutan nenek tidak mesti kepada makna panggilan kepada perempuan. Tapi lebih mengutamakan “tutur” urutan terhadap sejarah.
Nah. Kemudian mengurut naik keatas kemudian dikenal “puyang”. Puyang kemudian dapat dilekatkan lebih jauh daripada “moyang” sebagai padanan kata “nenek dari ayah/ibu.
Nah. Untuk menyebutkan nama “puyang”, sebagian Kecil ada yang menolak nama lengkap. Paling-paling dipanggil atau gelar.
Ada yang mesti memanggil “Ahli waris” yang hanya boleh menyebutkan namanya.
Ada yang mesti menunggu hari dan waktu yang tepat. Ada mesti melalui ritual adat. Memohon ampun agar tidak dikutuk.
Namun ada yang dengan fasih menyebutkan “puyang kami” atau “nenek kami” sebagai awal pembuka sejarah.
Pada umumnya, larangan “memanggil” nama orang yang dihormati begitu kental ditengah masyarakat Melayu Jambi.
Bukankah berbagai panggilan di Jambi seperti ““pak wo (bapak Tuo)”, Paklung” (Bapak Sulung), Pak Ngah (bapak Tengah), Uncu (uncu sebagai panggilan bungsu), “bisu’ (bibi bungsu), Pakci (bapak Kecil), Makcik (Mamak Kecil atau tante dari Ibu), Bikcik (bibik Kecik) menunjukkan bagaimana penghormatan terhadap orang lain. Dan menghindarkan panggilan nama.
Sebagaimana seloko Jambi “Yang tuo beimbau gelar bergelar. Yang mudo beimbau nama”.
Advokat. Tinggal di Jambi