04 Mei 2021

opini musri nauli : Mengenal Kitab (3)

Dalam bukunya “De Palembangsche Marga” tahun 1927, J. W. Van Royen mengungkapkan penduduk uluan Sumatera Selatan berpusat di tiga pegunungan yaitu Danau Ranau, Dataran Tinggi Pasemah dan Daerah Rejang. Daerah ini dikenal Gunung Seminung, Gunung Dempo dan Gunung Kaba.

Didalam Buku Sejarah Daerah Sumatera Selatan diterangkan, Di Rejang Lebong, Gunung Kaba diyakini sebagai sebagai tempat bersemayam nenek Moyang yang kemudian melahirkan Suku Rejang, Suku Beliti dan Suku Saling


Sedangkan Gunung Dempo kemudian melahirkan suku Gumay, Suku Besemah, Suku Kikim, Suku Semendo, Suku Enim, Suku Lematan, Suku Kisam, Suku Ogan, Suku Rebang Semendo (Lampung) dan Suku Serawai di Bengkulu Selatan.


Gunung Seminung dan Danau Ranau kemudian melahirkan Suku Komering Ulu/ilir, Suku Ranau, Suku Abung, SUku Peminggir, Suku Pubian, SUku Jelmo Doya, SUku Krui yang sebagian besar kemudian mendiami di Sungai Tulang  Bawang (Lampung)


Menurut Jacobus  didalam bukunya “Inlandsch Gemeentewezen In Zuid-Sumatra En Javanentransmigratie, “Met he word Marga zou dus oorspronkelijk zoomen een territorial, al seen genealogische eenheid zijn aangeduid.


Dengan mengikuti alur pikiran Jacobus maka Marga kemudian didefinisikan sebagai suku atau keluarga yang semula silsilah kemudian menjadi teritori (wilayah).


Istilah Marga dapat ditemukan didalam buku Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah. Marga berasal dari kata Sansekerta. “Varga”. Suatu wilayah dan juga rumpun atau keluarga. Struktur social ini digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Terminologi Marga dapat disatukan dengan “datu” atau Kedatuan. 


Didalam Laporan Militaire Memorie tahun 1896, diterangkan Belanda kemudian melakukan penyeragaman sistem hukum adat dengan menetapkan Marga tahun 1852.  Termasuk menerapkan “oendang-oendang SImboer Tjahaja.


Oendang-oendang SImboer Tjahaja telah dilakukan pada Kerajaan Palembang dibawah  Pangeran Ratu Sending Pura (1623-1630) dan diteruskan oleh Sultan Abdurrahman Cindai Balang (1651-1696).


Oendang-oendang Simboer Tjahaja kemudian mengenal sistem pemerintahan berbentuk Marga. Dengan demikian, sistem pemerintahan berbentuk Marga sudah dikenal di Kerajaan Palembang sebelum kedatangan Belanda.


Sejarah kemudian mencatat. Memang terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi dengan Kerajaan Palembang. Tahun 1596 dan perang bersama Kerajaan Johor menghadapi Jambi tahun 1667. Namun tahun 1673, justru Palembang mendukung Jambi menghadapi Kerajaan Johor.


Perselisihan tidak hanya berdasarkan historis dan prestise karena Jambi pernah menjadi Bandar (river port’s cavital) sebelum Palembang memegang peranan penting dalam percaturan politik dan ekonomi terutama menguasai sumber lada.


Kerajaan Palembang kemudian jatuh dan menjadi Residen Palembang 15 Oktober 1825


Baca : Mengenal Kitab (2)