Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, “Oendang-oendang Djambi” dikenal ditengah masyarakat Melayu Jambi sebagai Undang-undang Induk 8 Anak 12.
Ada juga yang menyebutkan “Pucuk 8. Anak 12”.
“Induk 8. Anak 12” atau “Pucuk 8. Anak 12” dapat diartikan sebagai “induk 8” atau “Pucuk * sebagai norma. Biasa dikenal hukum materil.
Sedangkan “anak 12” dapat diartikan proses hukum acara. Biasa juga disebutkan sebagai hukum formil. Hukum yang masih dipraktekkan hingga sekarang.
Didalam dokumen “Maleische Tekst”, ditemukan “Oendang-oendang Djambi” yang disebutkan oleh A.L.van Hasselt didalam karyanya yang terkenal “Folklore of Central Sumatera, menggunakan Aksara arab dengan dialek Melayu Jambi (Arab Melayu/Arab gundul) dan dipublikasikan oleh L.W.C van Berg (selanjutnya disebut “Undang-undang Jambi”) berisikan 24 Pasal.
Pasal 1 menerangkan tentang “laporan” terhadap pelanggaran adat maka harus membawa bukti dan saksi. Mekanisme ini dikenal didalam praktek hukum nasional. Biasa disebutkan sebagai hukum acara pembuktian.
Pasal 2 menerangkan tentang pemanggilan pihak tertuduh agar segera menghadap pemangku adat apabila adanya laporan. Sedangkan apabila ternyata dipanggil patut ternyata tidak datang maka dapat memanggil “orang tua” yang dihormati.
Orang yang dihormati dalam struktur adat biasa dikenal sebagai “orang tuo kampung” atau ninik mamak.
Selanjutnya proses acara selanjutnya dilakukan terhadap “orang tuo kampung” atau ninik mamak (Pasal 3).
Pihak tertuduh dapat menyangkal dari dakwaannya. Sedangkan apabila dia kemudian ingkar terhadap tuduhannya, maka proses selanjutnya diserahkan kepada proses adat. Dimana pihak yang ingkar harus mengeluarkan biaya yang diperlukan selama proses berlangsung (Pasal 4).
Begitu proses berlangsung maka pihak yang ingkar terhadap tuduhannya harus mampu membuktikan proses sebenarnya (Pasal 5, Pasal 6).
Sedangkan pasal 7 mengatur tentang “tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Atau para pihak harus mengikuti putusan adat.
Selama proses berlangsung, para pihak tidak dibenarkan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dihadapan pemangku adat. Terhadap pelanggaran maka dapat dijatuhi sanksi adat.
Mekanisme ini biasa dikenal “countempt of court”. Atau penghinaan terhadap Pengadilan.
Sedangkan apabila putusan adat telah dijatuhkan namun kemudian putusan sama sekali tidak diikuti oleh para pihak maka ada sanksi adat tersendiri.
Berbagai seloko sering menyebutkan seperti “buangan dalam negeri”, Pusako mencil. Umo betalang jauh”.
Seloko seperti “buangan dalam negeri” atau “Pusako mencil. Umo betalang jauh” sering dipadankan dengan “ingkar pulang ke batin. Kereh pulang kerajo”.
Ada juga menyebutkan didalam seloko seperti “bejalan melintang tapak, panjang tanduk naik menggileh. Mentang-mentang tanduk panjang nak menjadi orang cilako dalam negeri
Semuanya menunjukkan ketidaktaatan” mematuhi sanksi adat.
Dan kemudian Diungkapkan didalam seloko seperti “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan Kumbang”.
Atau sering juga disebutkan dengan “be ayam kuau, bekambing kijang, bekalambu rosam, bekasua gambi’. Sehingga tidak salah kemudian disebutkan sebagai “buangan dalam negeri”.
Pasal 11 mengatur larangan orang mendatangi pembesar adat dengan membawa alat senjata serta mengeluarkan kata-kata keji.
Didalam seloko sering juga disebutkan “Memekik. Mengentam tanah. Menggulung lengan baju. Menyingsing kaki keluar. Ada juga menyebutkan “Memekik. Menghentam Tanah. Menggulung lengan baju. Menyingsing kaki celana ke atas”.
Makna dari seloko sering diartikan, “menyingsingkan lengan” artinya menggulung lengan baju” bersiap untuk menggunakan kuda-kuda. Gerakan silat. Kesemuanya diartikan sebagai “menantang untuk berkelahi”.
Namun sanksinya lebih berat apabila kemudian mendatangi pembesar negeri. Demikian yang diatur didalam pasal 11 “Oendang-oendang Jambi”.
Baca : Mengenal Kitab (5)