20 Mei 2021

opini musri nauli : Telanaipura

Tidak dapat dipungkiri, kata “telanaipura” adalah salah satu kata yang paling populer di Jambi. Menunjukkan tempat perkantoran Pemerintah Provinsi Jambi. Terletak di Jalan. A. Yani. 

Terdapat Kantor Bank Indonesia Jambi, Kantor Kejaksaan Tinggi, Kantor Pengadilan Negeri Jambi, Kejaksaan Negeri Jambi dan kemudian diujungnya Kantor Gubernur Jambi. 


Kantor Gubernur Jambi biasa dikenal “Gubernuran’. 


Selain itu terdapat Kantor DPRD Provinsi Jambi, Kantor-kantor Instansi Pemerintah Provinsi Jambi, Kantor Statistik Provinsi Jambi dan Radio Republik Indonesia (RRI). 


Sebagai “pusat” dari aktivitas masyarakat di Hari Minggu. Sehingga kemudian ditetapkan untuk hari minggu menjadi “car free day’. 


Kata “telanaipura” terdiri kata “telanai” dan “Pura”.


Kata “pura’ sering terdapat didalam kamus besar bahasa Indonesia. Pura diartikan “kota”. Ada juga menyebutkan negeri


Selain “Telanaipura”, juga negara Singapura menggunakan kata “Pura”. Padahal didalam Catatan Negara Kertagama, wilayah ini dikenal sebagai “Tumasik”. Nama yang kemudian menjadi ikon telekomunikasi terbesar di negara Singapura menjadi “Temasek”. 


Begitu juga Indrapura menggunakan kata “Puran. Sehingga “puran kemudian diartikan sebagai “kota”. 


Kembali ke kata “telanaipura’. Kata “Telanai” lekat di ingatan masyarakat Jambi (memorial collective). 


Dalam berbagai cerita, kata “telanai” sering disebutkan sebagai “Talanai”. Ada juga menyebutkan “Tun Talanai” atau “Tan Talanai”. 


Didalam buku “ TAN TALANAI BESERTA DUA BUAH CERITA RAKYAT JAMBI” menceritakan kisah “Tan Talanai” datang ke Jambi, kisah ke Pagaruyung, Kisah Datuk Perpatih, kisah Putri Pagaruyung seperti Putri Selaras Pinang Masak, Putri Panjang Rambut  dan Putri Bungsu dan Cerita si Pahit Lidah. 


Mengutip cerita ditengah masyarakat yang kemudian dituliskan didalam buku “Tan Talanai”, adalah Raja dari sebelah jajahan Rabu Mentarah (India Muka). Datang ke Jambi. Kemudian membuat istana di Muara Jambi kecil (dikenal sebagai Marga Jambi Kecil) dan di ujung Jabung. 


Ujung Jabung adalah tempat pelabuhan. Dikenal “Kuala Tungkal”. Ramai lalulintas perdagangan. 


Kemasyuran perdagangan juga terdengar di Pagaruyung. Adityawarman sebagai Raja yang merupakan “orang semendo “ dari Datuk Ketemanggungan dan saudara Datuk Perpatih Nan Sebatang kemudian memerintahkan Datuk Mandaliko untuk mencari Tanah akan dijadikan negeri tempat tinggal. Datuk Mandaliko biasa dikenal Datuk Malin Mandiko Maharajo. Sebagai penghulu suku Mandaliko. 


Mereka kemudian mengadakan perjalanan dari Padang Panjang menuju “Tanah sikala” di hulu Batanghari. Menyusuri Bukit Sembilan Lurah mengilir Sungai Batanghari hingga di Muara Sekalo. 


Kisah ini masih ditemukan di Marga Sumay yang kemudian menyebutkan sebagai “Datuk Perpatih Penyiang Rantau”. Ada juga menyebutkan “Rajo Patih Penyiang rantau”


Dimulai turunnya Datuk Patih Penyiang Rantau dicari tukang yang berempat. Keempatnya kemudian dinamakan Jutai Jati Bilangan Pandai untuk membuat Belancang kulit betimpo lekar untuk turun ke batang rantau. Seluruh rantau itu ada depatinyo.


Datuk Patih Penyiang Rantau kemudian berjalan dengan 4 orang. Mengilir dari Tuturan Padang.


Sampai di Muara Sungai Kecil, Rajo Datuk Temenggung Penyiang Rantau kemudian menemukan sebuah tikar yang terbuat dari dari daun rumbai. Maka dinamakan Sungai tikar-tikar. Sehingga kemudian ada juga menyebutkan “Datuk Perpatih Penyulam tikar”. Atau “Datuk Temenggung Penyulam tikar”. 


Versi yang lain kemudian menyebutkan “Dahulu ada seorang sakti yang berasal dari Pagaruyung yang bernama  Datuk Intan Jayo, Raja kuasa. Dia datang dari ulu Sumay. Ketika dia datang, dusun yang pertama didatangi adalah di Dusun Muko-muko. Disebutkan “muko-muko” karena memang dusun ini yang dimuko (didepan). Dengan demikian, maka Dusun “muko-muko” ditetapkan sebagai Dusun Tuo dari Sumay. Dan sekarang disebutkan sebagai Dusun “tuo sumay”.


Setelah itu kemudian terus mengilir hingga ke Hulu Sungai Empirang (Hulu Sungai Tungkal), terus menghilir Sungai Empirang sampailah ia ke muara sungai tersebut, kemudian memudiki Sungai Pengabuan. Mereka kemudian bermukim. 


Setelah ramai penduduk maka kemudian Datuk Mandaliko kemudian membagi kampung. Pertama di Negeri Gelanggang Batu Papah lebing batu betikam, Bumbun Sarang Murai. Kedua. Di mudik Pengabuan yang kemudian dikenal Bendelu. Sekarang dikenal Lubuk Kambing. 

Ketiga. Di Sungai Runut. Terletak di balik Bukit kemudian disebut Dusun dibalik Bukit. Ada juga menyebutkan sebagai Tanjung Genting yang kemudian dikenal Lubuk Beranai (Lubuk Bernai). 


Sehingga Datuk Mandaliko Panai mengepalai tiga tempat. Sehingga nama dusun kemudian Lubuk Mandato yang kemudian dikenal Lubuk Kambing. Balik Bukit yang kemudian dikenal Rantau Benar dan Tanjung Genting yang kemudian dikenal Lubuk Bernai. 


Ketiganya kemudian dikenal “Turunan Suku Nan tigo”.