Syahdan. Terdengar kehebohan di kerumuman pasar. Suara gemuruh terhadap kabar angin yang berembus hingga terdengar di pelosok negeri Astinapura.
Kabar angin yang beredar sungguh mencengangkan. Adipati yang berkuasa didalam negeri Astinapura mengeluarkan umbul-umbul merah. Tanda “perang” kepada penguasa.
“Tuanku, para petualang dari negeri Astinapura. Mengapa adipati mengeluarkan umbul-umbul merah. Apakah akan mengerahkan pasukan untuk berperang di medan laga ?”, terdengar suara di kerumuman pasar.
“Benar, kisanak. Sungguh tidak pantas para adipati mengeluarkan umbul-umbul merah. Simbol hendak berperang menuju medan laga”, kata sang telik sandi. Wajahnya letih. Setelah berkeliling ke berbagai padepokan. Mengumpulkan para pendekar yang hendak menaklukkan dedemit yang menyerang negeri Astinapura.
“Apakah Raja Astinapura menunjukkan murkanya ?”, tanya sang penghuni warung. Sembari menghidangkan kopi.
“Silahkan diminum, sang telik sandi ?”, Katanya sembari ke belakang. Meneruskan pekerjaannya.
“Iya. Murka sang Raja Astinapura begitu nyata. Mukanya merah. Mendidih menahan amarah. Sang Adipati sudah nyata-nyata menunjukkan perlawanannya”, kata sang telik sandi.
“Semoga sang Adipati menyadari kesalahannya”, sambung sang telik sandi. Wajahnyo kosong. Titah sang Raja belum berhasil ditunaikan.
“Hamba hendak mengaso dulu. Sudah letih badan ini”, Katanya sembari selonjoran. Merebahkan badan. Mukanya terpejam. Mencuri tidur setelah perjalanan jauh keliling negeri Astinapura.