15 Oktober 2021

41 TAHUN WALHI - Star Begins at 40

Sedikit sekali organisasi masyarakat sipil (NGO/LSM) yang masih tetap berkiprah. Bertahan dari gempuran zaman. 


Memasuki usia ke 41, Walhi telah mengalami proses panjang sebagai Organisasi Lingkungan Hidup yang terbesar di Indonesia. 

Secara Organisasi, Walhi terus melakukan kegiatan keorganisasian. Baik pertemuan rutin tahunan (yang dikenal Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup/KNLH) maupun pemilihan secara demokratis melalui Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH). 


Penataan keorganisasian sudah rampung di Walhi. Setiap periode waktu, lahir pemimpin-pemimpin yang kemudian membesarkan Walhi. Setiap waktu pemimpin silih berganti. Memimpin Walhi dalam tantangan setiap zaman. Baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. 


Kaderisasi dibentuk dalam setiap tingkatan. Kurikulum sudah disusun. Berjenjang. Pendidikan Kepemimpinan Walhi (PKW) disusun bertingkat. Seperti PKW I, PKW II dan PKW III. Sehingga setiap Pemimpin di Walhi selain telah mengalami proses pemilihan dari Pendidikan yang terstruktur hingga proses pematangan di Organisasi. 


Sehingga tidak salah kemudian kader-kader yang dibentuk adalah asset Organisasi yang kemudian menjadi bagian penting dari Walhi. 


Sebagaimana sering disampaikan orang-orang bijak, memasuki kurun waktu 40 tahun (yang kemudian dikenal star begins at 40) adalah usia yang matang untuk memikirkan pondasi Penting. Baik didalam melihat keorganisasian maupun melihat isu-isu aktual. 


Sudah saatnya, refleksi sekaligus pematangan memandang organisasi diletakkan dalam bingkai yang lebih utuh. 


Apabila kita memaknai kata-kata “WALHI”, maka kata “WALHI” adalah singkatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Kata-kata Wahana adalah kata-kata yang paling sering digunakan kelompok pecinta alam. 


Memang. Pecinta alam adalah bagian terbesar sekaligus tonggak organisasi Walhi. Warna kental pecinta alam yang bertugas menjaga alam menjadi semangat yang Hidup di Organisasi Walhi. 


Apabila dilihat dari latarbelakang Direktur (baik daerah maupun nasional), sebagian besar memang berasal dari pecinta alam. Organisasi yang menjadi wahana penyaluran adrenalin mahasiswa dan kaum muda. 


Sehingga tidak salah nama-nama organisasi pecinta alam justru adalah “founding father” Walhi (yang kemudian dikenal kelompok Sepuluh). Kelompok Sepuluh yang kemudian dikenal sebagai Cikal bakal Walhi. 


Di awal-awal pendirian, kegiatan Walhi masih terkesan apolitis. Program ditujukan membangun kesadaran publik (public awareness). Program bertujuan untuk menggugah kesadaran pelestarian lingkungan hidup. Masa awal ini kemudian dikenal sebagai peran Serta masyarakat untuk Lingkungan Hidup Sehat.


Memasuki paruh kedua, konsentrasi tidak sekedar hanya membangunkan kesadaran publik. Tapi mulai beranjak memasuki wilayah kebijakan publik. 


Tantangan kerusakan alam diakibatkan berbagai kebijakan yang meminggirkan lingkungan hidup membuat Walhi kemudian terlibat aktif didalam advokasi Lingkungan Hidup. 


Setelah memasuki wilayah advokasi dan Kebijakan publik, Walhi bersentuhan dengan struktural dan politik. Wilayah yang kemudian menjadi bagian didalam menelurkan kebijakan yang merugikan lingkungan hidup. Walhi kemudian terlibat dalam proses demokratisasi. Dan melakukan Pendidikan kesadaran publik yang diutamakan kepada pemilih. Hak memilih yang menentukan masa depan politik dan Lingkungan Hidup. 


Setelah mengalami pergumulan keorganisasian yang panjang, memasuki 40 tahun (star begin at 40) atau lebih tepatnya 41 tahun, refleksi keorganisasian Walhi harus menemukan momentum. Saat yang tepat untuk memasuki menjelang setengah abad. 


Sebelum tafakur lebih dalam, alangkah baiknya makna kata “WALHI” harus juga dilihat lebih utuh. 


Membicarakan Walhi tidak dapat terlepas dari kata “Lingkungan Hidup” dan Indonesia. Kata-kata Lingkungan Hidup harus diletakkan dalam konteks “Indonesia”. 


Atau dengan kata lain, membicarakan Lingkungan Hidup di Indonesia harus diletakkan dalam konteks “orang Indonesia”. 


Sehingga membicarakan “Lingkungan Hidup” di Indonesia dari cara Pandang orang Indonesia itu sendiri. 


Bukankah setiap peradaban melahirkan pengetahuan. Bukankah setiap peradaban yang berbeda pasti menghasilkan pengetahuan yang berbeda. 


Maka membicarakan hutan di Indonesia juga harus dilihat dari “orang Indonesia” itu sendiri. Termasuk juga membicarakan hutan yang berada disekitar masyarakat dengan menggunakan paradigma, pengetahuan masyarakat itu sendiri. 


Lihatlah. Bagaimana masyarakat Indonesia yang menempatkan sebagai tempat yang dihormati “Teluk sakti. Rantau betuah. Gunung Bedewo”, “hutan keramat”, hutan puyang, rimbo sakti, yang diletakkan tempat yang memang tidak boleh diganggu. Biasa dikenal sebagai areal konservasi/kawasan lindung. 


Padahal ditengah masyarakat, cara Pandang, paradigma, pengetahuan yang dihasilkan, diwariskan dari leluhur adalah bagian dari peradaban itu sendiri. 


Bukankah ketika membicarakan hutan ditengah masyarakat, ada dimensi “ruang” yang harus tepat ditangkap oleh Walhi. Sebagai Organisasi yang masih konsisten menjadi bagian dari Gerakan Lingkungan Hidup di Indonesia. 


Lihatlah. Bagaimana pengetahuan yang dihasilkan oleh rakyat itu sendiri adalah pengetahuan empirik yang menjadi jawaban dari persoalan lingkungan hidup itu sendiri. 


Atau cara membaca angin, bintang (puncak rebung”, “Sepenggala”, “jatuh tengkuluk”, Singsing ari,  berkijab) , musim tanam (musim beumo”. Waktu “turun padi’), hutan (“Teluk sakti. Rantau betuah. Gunung Bedewo”, “hutan keramat”, hutan puyang, rimbo sakti), air (aek Hidup. Aek mati), matahari adalah pengetahuan empirik yang menjadi pengetahuan sehari-hari. 


Bahkan masyarakat Nusantara juga mempunyai pengetahuan empirik tentang bencana. Entah itu Gunung meletus, banjir bahkan gempa Bumi. 


Cara adaptasi dengan alam dan Lingkungan Hidup tidak dapat dilepaskan dari Seloko yang terkenal di Minangkabau “Alam takambang Jadi Guru”. 


Alam adalah guru bagi masyarakat itu sendiri. 


Cara Pandang, pengetahuan, paradigma tentang Lingkungan Hidup adalah pengetahuan “orang Indonesia” yang juga sering disebutkan sebagai “pengetahuan Nusantara’. 


Idiom yang mulai Hidup di Walhi. 



Cara Pandang, pengetahuan dan peradaban masyarakat nusantara sebagai pengetahuan yang empirik sekaligus membedakan dengan Cara Pandang, pengetahuan dan peradaban diluar nusantara. 


Cara pandang filsafat Barat dan Filsafat Timur juga menghasilkan cara berbeda terhadap alam. Masyarakat Barat yang mengagungkan “ilmu pengetahuan” kemudian melakukan “rekayasa alam”. Istilah seperti “Titik muka air tanah” atau “manajemen air” adalah ilmu pengetahuan yang “merekayasa alam’ untuk mengelola gambut. 


Sedangkan masyarakat Timur justru “menempatkan” alam sebagai sumber pengetahuan utama. Sehingga cara pandang kemudian menempatkan sebagai “adaptasi” terhadap alam. Maka manusia nusantara di peradaban gambut tidak membenarkan “mengelola” gambut yang tidak dikonversi menjadi lahan perkebunan. Sehingga “rekayasa” gambut tidak dibenarkan. 


Selain itu, pertarungan Filsafat Barat dan “Filsafat Timur’ yang didalam memandang alam (pertarungan antara “rekayasa alam” dengan “adaptasi alam), juga dikembangkan “menghancurkan” narasi pengetahuan masyarakat Nusantara. 


Dengan cara membaca pengetahuan masyarakat Nusantara maka Walhi kemudian menempatkan “Lingkungan Hidup” di “indonesia” dengan cara Pandang masyarakat Indonesia. 


Kegagapan menangkap perubahan Lingkungan hidup sudah harus dijawab oleh Cara Pandang, pengetahuan dan peradaban masyarakat nusantara. 


Dan Walhi harus terus memproduksi pengetahuan sebagai narasi tanding terhadap tema-tema Lingkungan Hidup di Indonesia. 



Happy Birthday, Walhi.