Dunia hukum mengalami “geger”. Putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan dari Joko Priyanto dkk dan Walhi menuai problema hukum.
Putusan Mahkamah Agung ditingkat Peninjauan Kembali Nomor 99 PK/TUN/2016 (Putusan Mahkamah Agung) kemudian “dipelintir” oleh pihak yang kalah (baca Gubernur Jawa Tengah) dengan
menerbitkan Izin lingkungan baru kepada PT. Semen Indonesia.
Secara sekilas Putusan Mahkamah
Agung menyatakan Pertama, mengadili dan
mengabulkan seluruh gugatan para penggugat. Kedua, menyatakan batal izin
lingkungan PT Semen Indonesia. Ketiga, mewajibkan kepada Gubernur Jawa Tengah
untuk mencabut izin lingkungan PT. Semen Indonesia di Kabupaten Rembang,
Provinsi Jawa Tengah.
Dalam bahasa umum, Gubernur
Jawa Tengah kemudian harus melakukan “mencabut”
izin lingkungan kepada PT. Semen
Indonesia di Rembang.
Secara harfiah, izin didalam
kamus Bahasa Indonesia adalah “pernyataan
mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya), persetujuan membolehkan.
Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan
pada konteks simantik. Izin (vergunningen)
dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”,
“konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen”
adalah “dispensasi dari suatu larangan”.
Dalam literature disebutkan
sebagai “perbuatan hukum administrasi
Negara bersegi satu”. Bahkan Bagir Manan menyebutkan “suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk membolehkan melakukan suatu tindakan atau perbuatan
tertentu yang selama ini dilarang.
Sehingga simantik “vergunningen” dari pendekatan Bagir
Manan maka perbuatan “sebelumnya”
tidak boleh (dilarang) menjadi “pembolehan”.
Dalam konteks UU No. 32 Tahun
2009[1],
Izin lingkungan kemudian diberikan makna untuk “mencegah bahaya bagi lingkungan”. Dalam pasal 1 angka (35) UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) kemudian
dipertegas didalam pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin
Lingkungan disebutkan “izin lingkungan
adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan. Sehingga setiap usaha/kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib
memiliki amdal (Pasal 22, Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2
ayat (1), pasal 3 ayat (1) PP No. 27
Tahun 2012).
Dengan dokumen amdal maka kemudian ditetapkan keputusan
kelayakan lingkungan hidup (Pasal 24 UU
Lingkungan Hidup). Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha/kegiatan (pasal 40 UU Lingkungan Hidup).
Izin lingkungan dapat dibatalkan oleh
Menteri/Gubenur/Bupati/Walikota (pasal 37
ayat 2 UU Lingkungan Hidup). Bahkan PTUN dapat membatalkan izin lingkungan
hidup (Pasal 38 UU Lingkungan Hidup).
Sehingga dengan dibatalkan izin lingkungan, maka izin usaha/kegiatan dibatalkan
(Pasal 40 ayat (2) UU Lingkungan Hidup).
Izin lingkungan juga digunakan selain “mencegah bahaya bagi lingkungan” maka
harus sesuai dengan Ketentuan Lingkungan Hidup Strategis (KLHS sebagaimana diatur didalam pasal 15 UU LIngkungan Hidup) selain
juga memperhatikan “daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup).
Dengan memperhatikan “rambu-rambu”
yang sudah disusun oleh UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012 maupun
putusan Mahkamah Agung, maka pihak tergugat dalam hal ini adalah Gubernur Jawa
Tengah “diperintahkan” untuk
membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 Tentang Izin
Lingkungan kegiatan Penambangan PT. Semen Gresik Tbk di Kabupaten Rembang (SK
Gubernur)
Perintah Pengadilan untuk “membatalkan” SK Gubernur Jawa Tengah tidak dapat kemudian “diartikan” sebagai Gubernur Jawa Tengah membatalkan SK Gubernur, “namun”
kemudian “menerbitkan” SK Nomor
660.1/30 Tahun 2016 tertanggal 9 Desember 2016 (SK Gubernur Jawa Tengah yang baru).
Alasan sepele seperti
berubahnya nama “PT. Semen Gresik
(Persero) Tbk” menjadi “PT. Semen
Indonesia. Atau berkurangnya luas
tambang berdasarkan
SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 seluas 520 hektar, berkurang
menjadi 293 hektar atau pernyataan
menerbitkan SK Gubernur yang baru bukan “izin
baru” melainkan perubahan dari izin
lama” sehingga menerbitkan SK Gubernur yang
baru sama sekali mengabaikan “rambu-rambu”
UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.
Menilik dari putusan Mahkamah Agung yang menyatakan batal
izin lingkungan PT Semen Indonesia, sehingga menurut hukum, izin lingkungan yang dikeluarkan Gubernur
Jawa Tengah menjadi tidak sah.
Sehingga pemikiran Gubernur Jawa Tengah membatalkan SK Gubernur, “namun”
kemudian “menerbitkan” SK Nomor
660.1/30 Tahun 2016 tertanggal 9 Desember 2016 (SK Gubernur Jawa Tengah yang baru) adalah “sesat” dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung sendiri.
Sehingga dengan mencabut izin lingkungan PT.
Semen Indonesia di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, maka Gubernur Jawa Tengah tidak
dibenarkan lagi menerbitkan izin lingkungan terhadap PT. Semen Indonesia.
Apalagi dengan alasan sepele
yang disampaikan seperti berubahnya
nama “PT. Semen Gresik (Persero) Tbk”
menjadi “PT. Semen Indonesia. Atau berkurangnya luas tambang “rambu-rambu”
UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.
Padahal “rambu-rambu”
didalam UU Lingkungan Hidup telah memberikan garis tegas (guideline) terhadap “setiap orang yang melakukan usaha/kegiatan
(Pasal 1 angka 35 UU Lingkungan dan Pasal 1 angka (1) PP No. 27 Tahun 2012)
dengan “memperhatikan daya dukung dan daya tampung (Pasal 8 UU Lingkungan Hidup) dan KLHS (Pasal 15 UU Lingkungan Hidu). Sehingga dengan dibatalkannya oleh Pengadilan (Pasal
38 UU Lingkungan Hidup) maka dapat mencegah
bahaya lingkungan hidup.
Dengan demikian pemberian izin lingkungan tanpa prosedur
yang sah seperti tanpa amdal (pasal 22,
Pasal 36 ayat (1) UU Lingkungan Hidup dan pasal 2 ayat (1), pasal 3 ayat
(1) PP No. 27 Tahun 2012) maka dapat dikategorikan
melakukan kejahatan (Pasal 111 UU
Lingkungan Hidup).
Putusan Mahkamah Agung
kemudian bertindak “mencegah kerusakan
lingkungan hidup”. Izin lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh
Gubernur Jawa Tengah tidak dapat dikualifikasikan sebagai izin dalam ranah rezim perizinan.
Sehingga terhadap areal yang
menjadi persoalan hukum tidak dibenarkan untuk “diperbolehkan” atau “dispensasi”
untuk dikeruk menjadi tambang.
Dalam rezim “izin”, makna izin haruslah diletakkan
pada konteks simantik. Izin (vergunningen)
dimaknai sebagai “dispensasi”, “lisensi”,
“konsesi”. Menggunakan kata “vergunningen”
adalah “dispensasi dari suatu larangan”.
Menggunakan simantik (vergunningen),
maka izin lingkungan yang sebelumnya diberikan kepada PT. Semen Indonesia menjadi
tidak sah. Sehingga
Putusan Mahkamah Agung ini juga berlaku terhadap izin lingkungan Gubernur yang
baru (mutatis Mutandis)
Selain itu juga, Gubernur Jawa Tengah membatalkan
SK Gubernur, “namun” kemudian “menerbitkan”
SK Gubernur Jawa Tengah yang baru merupakan upaya “penyeludupan hukum (Wetsontduiking)”
Sebuah upaya “Penyeludupan
hukum” (Wetsontduiking) yang
justru menghindarkan hukum nasional diterapkan dalam persoalan Rembang.
Atau dengan kata lain “penyeludupan
hukum (Wetsontduiking)” bertentangan dengan izin lingkungan sebagaimana diatur
didalam “rambu-rambu” UU Lingkungan Hidup dan PP No. 27 Tahun 2012.
[1] UU No. 32 Tahun 2009 dimaknai sebagai UU Pokok/UU
Payung (umbrella act, umbrella provision,
raamwet, modewet). Lihat Lihat pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU
No. 32 Tahun 2009. Menilik pasal 44 dan penjelasan umum angka 5 UU Lingkungan
Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber
daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.