Beberapa hari terakhir, publik kemudian gempar ketika MK memutuskan nasib UU Cipta Kerja (Putusan MK).
Putusan MK kemudian menarik perhatian publik setelah 2 Tahun sebelumnya UU Cipta Kerja menimbulkan polemik. Berbagai kalangan menolak terhadap berlakunya UU Cipta Kerja.
Di kalangan Ahli hukum, UU Cipta Kerja memang menarik perhatian. Selain UU Cipta Kerja yang kemudian dikenal sebagai “UU sapu Jagat” yang menghapuskan berbagai UU, UU Cipta Kerja juga menabrak berbagai asas-asas yang dikenal didalam berbagai UU.
Untuk memahami “semangat Putusan MK” dapat dilihat didalam pertimbangan. Dari pertimbangan MK didalam memutuskan maka kita dapat bagaimana MK memandang UU Cipta Kerja.
Apabila kita telisik didalam permohonan ke MK, pemohon mendasarkan kepada pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law menyebabkan ketidakjelasan jenis undang-undang yang dibentuk, apakah sebagai undang-undang baru atau undang-undang perubahan ataukah undang-undang pencabutan.
Metode omnibus law tidak dikenal didalam UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Dengan demikian maka metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang tidak pasti dan tidak baku.
Catatan mengenai “omnibus law” telah lama menarik perhatian Ahli hukum. Secara umum, “omnibus” adalah penyederhanaan regulasi. Sehingga dengan satu UU maka diharapkan dapat menjawab seluruh persoalan.
Tema ini memang menjadi polemik. Sebagian kalangan menyetujui ditengah regulasi di Indonesia “bak Rimba Belantara”.
Namun disisi lain penolakkan didasarkan “omnibus law” menyederhanakan berbagai regulasi yang tunduk dengan berbagai asas yang ketat.
UU UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 memang tidak mengenal “omnibus law”. Sehingga putusan MK akan berdampak terhadap UU UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.
Kembali kepada alasan dari pemohon mengajukan ke MK. Menurut pemohon pembentukan UU 11/2020 bertentangan dengan ketentuan Pasal 22A UUD 1945 serta asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Terutam berkaitan dengan asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Dari permohonan yang diajukan MK kemudian mendasarkan kepada UU UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mendapatkan wewenang dari Pasal 22A UUD 1945.
Dengan demikian maka terhadap proses pengajuan UU Tetap harus tunduk UU UU 12/2011 maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. MK sendiri Tetap berpatokan yang ditandai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Didalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 dijelaskan “...menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
Sehingga dalam mengadili perkara pengujian formil UU selain mendasarkan pada UUD 1945, Mahkamah juga mendasarkan antara lain pada UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai UU yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Padahal UU yang disebutkan sebagai UU yang baru dengan nama UU Cipta Kerja tidak dibenarkan untuk menghapuskan berbagai UU yang telah ada. UU Cipta Kerja harus tetap melalui rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan lahirnya UU yang baru justru akan menimbulkan ketidakpastian atas asas-asas dan tujuan UU.
Atau dengan kata lain UU 11/2020 sebagai pembentukan UU baru maka format dan sistematika pembentukannya harus disesuaikan dengan format pembentukan UU baru. Apabila dimaksudkan sebagai perubahan UU Tetap tunduk yang telah ditentukan didalam peraturan perundang- undangan.
Dengan pertimbangan itulah, maka MK kemudian menyatakan UU 11/2020 tidak dirumuskan sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan.
Namun yang menarik perhatian adalah “metode omnibus law” yang merupakan teknik atau metode didalam penyederhanaan UU, menghilangkan berbagai tumpang tindih UU, ataupun mempercepat proses pembentukan UU tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian maka tata cara pembentukan UU 11/2020 menggunakan Omnibus law ternyata tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan. MK kemudian menyatakan sebagai cacat formil.
MK sendiri ternyata tidak langsung menerapkan putusan. MK memberikan kesempatan selama 2 tahun untuk dilakukan perbaikan. Mekanisme ini pernah dilakukan terhadap UU KPK.
Pengujian UU (Judicial review) yang diajukan oleh pemohon merupakan “terobosan hukum”. Dalam praktek selama ini di MK, sangat sedikit sekali pengajuan melalui mekanisme formal. Sebagian besar justru langsung ke materi dengan menguji norma-norma (mekanisme materiil).
Namun disisi lain, Putusan MK ternyata terbelah. Empat orang Hakim MK Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh ternyata berbeda. Mereka memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Dalam catatan Penulis, peristiwa ini pernah terjadi di UU Terorisme tentang hukuman mati. 4 orang hakim juga menolak hukuman mati.
Begitu rumitnya Putusan MK terhadap nasib UU Omnibus law, namun pelajaran penting yang dapat ditarik. UU omnibus law ternyata menghabiskan energi dan perhatian dari publik.
Dan Putusan MK justru memberikan gambaran kerumitan yang terjadi di persidangan MK yang ditandai dengan Empat orang Hakim MK yang memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Advokat. Tinggal di Jambi