15 Maret 2004

opini musri nauli : Adat dan Persoalan Kita


Akhir-akhir inin kita diramaikan berita media massa terhadap berita penganugerahan adat terhadap Gubernur Jambi oleh masyarakat Sumatera Barat. 

Pemberian gelar ini sebelumnya juga diterima oleh Gubernur Jambi dari masyarakat Sumatera Utara, Sulawesi dan gelar dari masyarakat adat Jambi sendiri. 

Peristiwa pemberian gelar sebenarnya merupakan peristiwa biasa dan sama sekali tidak mempunyai tendesi politis. 

Namun pemberian gelar terhadap Gubernur Jambi yang juga merupakan jabatan politis, maka persepsi publik dapat ditafsirkan beragam. Pemberian gelar oleh berbagai masyarakat adat tersebut dalam waktu yang sama sekali tidak lama dapat ditafsirkan sebagai dukungan politik dalam pemilihan Gubernur Jambi. 

Penafsiran ini sah-sah saja, namun bukan ruang yang penulis tawarkan untuk didiskusikan, karena ranah tersebut tentunya tidak mempunyai ukuran nilai yang sama. Namun ada ruang diskusi yang penulis tawarkan untuk kita didiskusikan. 

Momentum pemberian adat mengapa tidak disinkronkan dengan persoalan riil yang tengah terjadi ditengah masyarakat seperti masalah tanah, moral, KKN dan sebagainya. 

Mengapa momentum adat lebih diidentikkan dengan seremonial, pesta, simbol dan sebagainya. 

Pemberian adat tersebut sebagai nilai normative dapat ditafsirkan bahwa Gubernur telah masuk kedalam komunitas masyarakat adat tersebut dan bagian dari pergaulan adat. 

Masuknya Gubernur dalam komunitas tersebut juga bahwa Gubernur juga terikat kedalam nilai-nilai adat dalam komunitas tersebut. Sebagai bagian dari komunitas adat tersebut, maka hukum, adat, dan nilai-nilai dalam komunitas adat juga berlaku terhadap Gubernur. S

ehingga persoalan adat dalam komunitas adat tersebut juga merupakan persoalan bagi Gubernur. 

Tafsiran sederhana ini mungkin merupakan gambaran penulis terhadap pemberian adat tersebut dilihat dari perspektif umum.

Pemberian adat juga melambangkan alam pemikiran dan sikap masyarakat yang agraris. Ketokohan yang ditandai dengan pemberian gelar adat merupakan cerminan masyarakat yang feodalistis, mistis dan berfikir irrasional. Tiga indicator merupakan criteria masyarakat feodalistis. 

Perbandingkan ini berbeda dengan pemberian gelar yang dilakukan oleh Negara seperti Inggeris atau Jepang. Pemberian gelar kebangsawanan dilakukan semata-mata pengakuan negara yang mekanismenya diatur oleh UU dan lebih menampilkan sikap penghormatan dan dedikasinya yang luar biasa. Bukan symbol dari ketokohan dan ukuran-ukuran irrasional. 

Komunitas adat sebenarnya merupakan identitas suatu komunitas yang membedakan dengan identitas komunitas lainnya. Komunitas ini selain identitas juga merupakan wujud dari ekspresi komunitas adat. 

Maka lambang, umbul, warna, dan berbagai pernik budaya merupakan ekspresi dari komunitas adat tersebut. 

Namun kita haruslah menyatakan ikrar berbangsa dan bernegara bahwa komunitas suatu adat tidak dapat menyatakan bahwa komunitas tersebut lebih baik dari komunitas lainnya. 

Pernyataan ini walaupun secara politis telah diselesaikan pada Tahun 1908, 1928 dan 1945 namun belum mewujudkan dalam kehidupan berbangsa bernegara. 

Dalam masa reformasi sekarang, komunitas adat melakukan tafsir yang keliru dalam makna otonomi. Komunitas local menganggap bahwa mereka yang paling berhak dalam pengelolaan sumber daya alam. Tafsir keliru ini juga menempatkan bahwa mereka yang karena bukan dari keturunan komunitas adat tersebut tidaklah dapat hidup dalam pergaulan sehari-hari. 

Urusan yang seharusnya menjadi urusan publik ternyata dikemas menjadi urusan privat. Maka istilah “putra daerah”, merupakan tema pokok dalam mengemas sebuah persoalan politik secara sempit. 

Penulis masih ingat ketika issu ini juga melanda lembaga ilmiah dalam ribut-ribut rector Unja. Lembaga yang seharusnya bebas nilai sendiri ternyata dalam perjalanannya terkontaminasi dalam pertarungan issu putra daerah dan berfikir sempit. Praktis lembaga-lembaga sectarian, terbentuk mewakili komunitas adat. 

Organisasi ini seharusnya berorientasi terhadap tetapnya lestari komunitas adat ternyata dimanipulatif terhadap kepentingan politik praktis dan berorientasi jangka pendek. Dan organisasi ini lebih melakukan aktivitasnya menjelang suksesi ataupun LPJ suatu kepala Daerah tertentu. Issu yang dikemas selain menghentikan diskursus kita sebelum tahun 1908 juga menimbulkan sikap diskriminasi rasial terhadap orang diluar komunitas. 

Komunitas adat yang hanya mengakui terhadap keturunan seseorang yang “berhak” masuk kedalam komunitas itu, memberikan sikap diskriminasi orang diluar komunitas. Orang-orang diluar komunitas tidak “berhak” membicarakan persoalan rakyat dalam komunitas-nya. Orang-orang itu juga tidak “berhak” melakukan pendampingan terhadap petani yang tergusur akibat pembangunan perkebunan besar Kelapa Sawit misalnya.

 Orang-orang itu juga tidak “berhak” membicarakan pengelolaan sumber daya alam. Issu diskriminasi juga berlaku terhadap jabatan publik dan politik. Maka jabatan-jabatan politik seperti Kepala Daerah, Kepala Dinas bahkan KPU dan Ketua Partai-pun tidak sepi dari hiruk pikuk issu putra daerah. Dan sudah pasti dalam pemilihan kepala daerah kecendrungan berfikir sempit masih menjadi tema yang menentukan apakah seseorang pantas atau tidak memimpin daerah tersebut. Dan sekali lagi diskursus kita berhenti sejenak sebelum tahun 1908. 

Padahal kita sendiri mengetahui bagaimana orang-orang yang mendampingi rakyat baik dalam persoalan pengelolaan sumber daya alam, tanah, penggusuran lahan, Pembakaran pabrik, pendudukan lahan, penyanderaan, penyerobotan lahan adalah orang yang karena bukan keturunannya bukan berasal dari komunitas adat tersebut. 

Namun dedikasinya tanpa pamrih bersedia bersama-sama dengan komunitas adat tersebut merumuskan persoalan bersama, membangun jaringan, melakukan advokasi ditengah rakyat dan pekerjaan yang benar-benar bersama-sama rakyat melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan terhadap rakyat. 

Namun diskursus ini berhenti sejenak ketika orang-orang itu karena bukan keturunan-nya tidak berhak masuk kedalam komunitas adat tersebut.

 Sikap ini sebenarnya dapat juga kita gugat sebagaimana telah dipaparkan oleh Umar Kayam dalam Novelnya yang fundamental “Para Priyayi”. 

 Secara cerdas dipaparkan bahwa orang-orang yang berhak masuk kedalam pergaulan adat tertentu itu dilihat dari sikap teladan-nya bukan dari keturunan semata-mata karena Priyayi. 

Keturunan darah Raja yang paling ningrat, priyayi dan paling bermoral. Komunitas adat sebenarnya tidak menjadi bahan untuk didiskusikan oleh penulis apabila ternyata komunitas ini hanyalah sebagai ekpresi budaya semata. 

Tapi penulis tersentak ketika persoalan komunitas adat memasuki wilayah yang jauh dari jangkauannya. Komunitas adat ternyata menjadi bagian dari agenda penting politik di Indonesia. 

Ketika Soeharto berkuasa, maka symbol-simbol dari komunitas adat Jawa mewarnai politik di Indonesia. Publik dipaksa memahami persoalan politik Soeharto dari perspektif Jawa. Istilah-istilah “mukul mendem mawar jero”, lengser keprabon, mendeg pandito”, mewarnai kosakata kasanah politik kontemporer Indonesia. Gejala-gejala alam mistis ditafsirkan sebagai tanda-tanda dalam Pemerintahan Soeharto. 

Pemikiran mistis ini juga dialami oleh berbagai pemimpin Nasional di Indonesia. Nyekar ke berbagai kuburan pemimpin Kharismatik agama juga dialami oleh berbagai tokoh-tokoh nasional. 

Publik sekali lagi harus memahami bagaimana Indonesia dipimpin oleh Pemimpin yang cenderung mengambil keputusan dari pemikiran mistis. Segala tafsir alam haruslah dipahami sebagai isyarat kepada pemimpin di Indonesia. 

Maka benang merah yang dapat penulis tawarkan bahwa wilayah komunitas adat tidaklah tepat memasuki wilayah politik kontemporer di Indonesia. 

Ketakutan ini selain juga bertentangan dengan prinsip bernegara dan berbangsa, juga dapat menimbulkan persoalan kemanusiaan. 

Hitler yang menganggap bahwa bangsa Jerman adalah bangsa yang mulia dalam slogan politis-nya “Ras Aria”, melakukan pembersihan terhadap bangsa Jahudi. Jejak ini juga diikuti oleh Pol Pot, tokoh kharismatik dari Kambodja. Atau pembersihan etnis Bosnia oleh kaum Serbia yang dilakukan oleh Milosevic. 

 Dan dunia mencatat selain menimbulkan pembersihan etnis, juga ras yang menganggap paling mulia justru bertentangan dengan berbagai nilai-nilai umum yang berlaku secara universal.

 Baik nilai-nilai kemanusiaan, agama dan moral. Tokoh-tokoh yang melakukan pembersihan dan kejahatan terhadap kemanusiaan dikenal sebagaiorang yang berlumuran darah dan dikenang sebagai manusia jagal. Kembali kepada persoalan komunitas adat di Jambi. 

Mengapa publik dipaksa melihat bagaimana akhir-akhir ini berbagai komunitas adat memberikan gelar kepada Gubernur. Lantas dimana komunitas adat dalam persoalan daerah. Komunitas adat tidak memberikan perhatian penuh terhadap persoalan yang “sungguh-sungguh” terjadi ditengah masyarakat. 

Persoalan moral, pemerkosaan yang menurut penulis sudah diluar logika masyarakat yang “katanya beradat”, masalah tanah, masalah pengangguran dan berbagai masalah bencana alam yang tengah mengintip dan mengintai setiap saat kepada kita. 

Kejengkelan ini penulis rasakan karena disaat kita masih melihat petani yang tengah memperjuangkan tanah sejengkal-nya dijadikan kepentingan kapitalisme pembangunan kelapa sawit, peran adat justru tidak terlibat kalaulah tidak dikatakan tidak ada. 

Tokoh-tokoh adat yang selama ini menghiasi media massa tidak berperan. Persoalan tanah yang sebenarnya dapat diselesaikan karena tekanan komunitas adat ternyata “diserahkan” sendiri masyarakat adat itu yang harusnya menyelesaikannya sendiri. 

Maka praktis cara-cara yang ditempuh mengakibatkan persoalan baru. Pembakaran pabrik, pendudukan lahan, penyanderaan, penyerobotan lahan dan sebagainya adalah bentuk ekspresi kejengkelan rakyat terhadap berbagai lembaga yang mereka percayai untuk menyelesaikannya ternyata tidak peduli. Lembaga-lembaga adat dan berbagai tokohnya kemudian seakan-akan berjarak dengan komunitas adat-nya. 

Ataukah dimana komunitas adat berperan ketika kita juga mengetahui bahwa ada “persoalan” yang tidak beres yang tengah terjadi tengah masyarakat. Pemerkosaan yang terjadi sekarang sudah jauh diluar logika akal sehat manusia. 

Menurut catatan penulis, kejahatan terhadap kesusilaan dalam tahun 2003 sudah sampai tahap mengkhawatirkan karena pola kejahatannya cenderung lebih variatif. Misalnya 

Seorang Pemuda telah melakukan perbuatan sexual kepada anak perempuan berusia 4 tahun, Seorang Pemuda telah melakukan sodomi 11 orang bocah, Pegawai Rumah sakit diperkosa di dalam WC dekat Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit UMUM di Jambi, 

Seorang majikan memperkosa pembantunya didaerah Kasang Jaya Jambi, diperkosa 6 enam orang di Pulau Pandan, 

Seorang kakek melakukan pelecehan seksual terhadap anak berusia 4 tahun di daerah Jambi selatan Jambi, Seorang Pacar melakukan perbuatan seksual dan mengajak 6 orang temannya dan Kakek memperkosa anak perempuan berusia 9 tahun didaerah Kerinci. 

Apakah tidak sebaiknya kita bercermin kepada komunitas adat di Sumbar. Hampir praktis berbagai persoalan ditengah masyarakat dapat diselesaikan oleh tokoh-tokoh adat. Adat masih dipakai bukan dalam simbolisme merk-merk di jalanan, tapi mengejewantah dalam persoalan sehari-hari. Datuk-datuk (tokoh-tokoh adat) masih mempunyai kedudukan yang dihormati dan tidak semata-mata menjadi symbol dari peristiwa adat. 

Apakah tidak dicoba memulai dengan mengganti system pemerintahan di unit terkecil dengan system yang dikenal adat Jambi. misalnya Desa diganti dengan marga, pasirah, atau dusun dan berbagai istilah-istilah yang dikenal dalam system pemerintahan adat Jambi. 

Atau melakukan pemetaan berdasarkan Tambo (Pantun adat) dalam menyelesaikan konflik tanah di daerah-daerah. Atau menyelesaikan berbagai konflik dengan mekanisme yang dikenal dalam adat Jambi. 

Maka menurut penulis Apakah tidak sebaiknya pemberian gelar adat oleh berbagai komunitas adat dijadikan momentum untuk kita melakukan perubahan secara radikal dalam menyelesaikan persoalan yang tengah melilit bangsa kita?