07 Oktober 2010

opini musri nauli : Hak Preogratif Presidn dan Hak Preogratif Gubernur ?


Dalam sebuah forum, saya ditanyakan, apakah Gubernur mempunyai hak prerogratif untuk menentukan pejabat Gubernuran ? 

Wacana ini mengemukaka disaat Presiden memberikan “grasi” kepada besannya dan pelaku korupsi lainnya termasuk Artalyta Suryani. 

Wacana ini juga berseliweran disaat yang bersamaan, setelah dilantik, HBA sebagai Gubernur Jambi akan menentukan komposisi pejabat Gubernuran. Media massa kemudian mengemas menjadi “hak preogratif” Gubernur. 

 Dalam sejarah negara modern, “hak prerogratif” merupakan penghormatan dan hak yang diberikan kepada Kepala Negara untuk menggunakan haknya sebagai simbol kepada rakyat yang menjadi sikap kemanusiaan seorang Kepala negara. 

Sejarah mencatat, hak prerogatif menjadi hak istimewa seorang raja, yang pertama kali diterapkan dalam konteks ketatanegaraan di kerajaan Inggris. 

Hak ini memberikan keistimewaan bagi penguasa politik untuk memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan sendiri, uniknya putusan itu bisa dilakukan tanpa alasan apapun, kecuali kehendak pribadi dari sang pemimpin itu sendiri. 

Kekuasaan Raja yang absolut, Inilah yang dikenal dengan prinsip “de Etaat de moi”, Negara adalah saya. 

Pada perjalanannya, hak ini diadopsi banyak negara. HAK PREROGRATIF PRESIDEN Sebagai negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, maka presiden pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dapat dilihat dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. 

Ketentuan ini, secara umum dapat ditafsirkan apabila presiden dapat menjalankan segala kemampuannya untuk mengendalikan pemerintahan. Jadi dalam tafsiran UUD 1945, presiden dibekali hak prerogatif. 

Lihat saja, dalam hal menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); mengangkat duta dan konsul (Pasal 13); memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 ayat (1)); amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2)); membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16); mengangkat dan memberhentikan menteri (Bab V Pasal 17 ayat (2)). 

Atau dengna kata lain, “hak prerogratif” merupakan hak yang melekat kepada Presiden. 

Namun sejak digunakan di Indonesia, hak eksekutif tersebut, tidak diatur secara memadai oleh UU. Akibatnya presiden memiliki kekuasaan yang luas dan bagai tak bertepi. 

Padahal, Lord Acton mengatakan, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang bersifat absolut tentunya akan menimbulkan korupsi yang absolut pula). 

Oleh karena itu, jika hak prerogatif dibiarkan tanpa batasan, membuat pemerintah menjadi tidak sehat, dan cenderung bertindak korup (Majalah FIGUR Edisi XI/Februari 2007) Kembali ke pertanyaan. 

Apakah Presiden mempunyai “hak” untuk memberikan “grasi”. 

Dengan merujuk kepada ketentuan konstitusi, maka Presiden mempunyai “hak grasi”. 

Namun menggunakan “hak prerogratif” hak “grasi” harus merujuk kepada UU No. 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI junto UU No. 5 Tahun 2010. 

 Dalam wacana “Grasi” kita masih ingat tentang perdebatan kasus Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), dimana satu sisi mengajukan Peninjauan kembali (herzening) dan disisi lain mengajukan grasi. Perdebatan hukum mewarnai media massa. 

Kelompok “positivisme” berpendapat mengajukan PK dan grasi bersamaan tidak masalah dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya. 

Namun kelompok yang lain berpendapat, walaupun tidak diatur didalam peraturan, namun mengajukan PK dan grasi bersamaan merupakan merusak tatanan hukum. 

PK merupakan upaya luar biasa yang diatur didalam KUHAP berpandangan, terdakwa tetap berpendapat tidak bersalah dan mengajukan keberatan (dengan upaya hukum luar biasa/PK). 

Sedangkan “grasi” adalah permohonan pengampunan terhadap perbuatan terdakwa. 

Dengan demikian, pemberian “grasi” Presiden kepada besannya merupakan “hak prerogratif” memberikan “grasi”. Namun yang menjadi persoalan dalam dimensi “kepantasan”. Apakah dengna melihat jumlah permohonan “grasi’ yang mencapai 17.000, pemberian “grasi” sudah tepat dan pantas ? 

HAK DAN WEWENANG 

 Apakah Presiden memberikan hak prerogratif kepada Gubernur/Walikotamadya/Bupati. 

Didalam rumusan konstitusi dan perangkat perundang-undangan, Hampir seluruh Kewenangan Pemerintah Pusat diberikan kepada Pemerintah Daerah kecuali Politik, hukum, agama, moneter, HANKAM, Hubungan Luar Negeri. 

Dalam pengangkatan dan pemberhentian Menteri, konstitusi sudah menegaskan, Presiden mempunyai “hak prerogratif”. 

Namun konstitusi tidak pernah memberikan “hak prerogratif” Presiden kepada Gubernur/Walikotamadya/Bupati. 

Dengan demikian, maka terhadap pengangkata Pejabat Gubernuran tidak merupakan “hak prerogratif” Gubernur. 

Pengangkatan pejabat Gubernuran merupakan kewenangan Gubernur untuk menunjang program-program yang ditawarkan saat kampanye. 

Didalam ilmu hukum, definisi Kewenangan “Wewenang (bevoegdheid/ Utility) mengandung pengertian tugas (plichten)”. 

Sedangkan hak (rechten/right) adalah pemberian hukum yang dapat menjadi kepemilikan. Hak-hak normatif sudah menjadi standar dan didalam hukum Indonesia telah dirumuskan didalam ketentuan konstitusi dan UU HAM. 

Dengan melihat definisi, maka ada kesalahan prinsip didalam pencampur-adukan antara “hak” dan “wewenang”. 

Dengan merujuk definisi maka, konstitusi tidak pernah memberikan “hak prerogratif” Presiden kepada Gubernur/Walikota/Bupati untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat Gubernuran. 

Pengangkatan/pemberhentian pejabat Gubernuran haruslah ditafsirkan sebagai kewenangan yang melekat sebagai Gubernur. 

Dengan demikian, kewenangan Gubernur haruslah ditentukan dengna hukum dan tidak bertindak sebagai “de Etaat de moi”, Negara adalah saya. 

Apabila cara-cara ini ditempuh, maka kita masih berpikiran sebelum abad Modern. Pada masa kegelapan Eropa (the dark ages)”