03 Oktober 2010

opini musri nauli : Luak XVI dalam Perspektif Hukum



Pertanyaan yang mendasar. Apa yang menyebabkan “Kepatuhan” terhadap hukum. Apakah negara memaksa dan menggunakan kekuatan untuk menjadi rakyat patuh terhadap hukum. 

Mengapa masyarakat Persatuan Wilayah LUAK XVI patuh kepada nilai dan hukum didalam mengelola sumber daya alam. Menurut ekonom, sanksi hukum berat mencegah pelanggaran hukum. 
Menurut sarjana hukum, orang mungkin mematuhi hukum yang didukung oleh sanksi ringan karena norma-aktivasi. 

Mematuhi undang-undang adalah kewajiban moral, bukan kewajiban hukum Di sini kita akan membahas tiga isu utama: (a) kapan dan sejauh apa hukum dapat membatasi kebebasan warga negara, (b) sifat kewajiban seseorang untuk mematuhi hukum, dan (c) pembenaran hukuman oleh hukum. 

 Dengan melihat berbagai faktor maka (1) negara harus menunjukkan bahwa perilaku diatur oleh batasan yang diusulkan melibatkan jenis membahayakan yang rasional seseorang ingin menghindari, (2) pada perhitungan yang terisi penuh orang rasional, potensi kerugian melebihi manfaat dari perilaku yang relevan, dan (3) pembatasan yang diusulkan adalah alternatif terbatas setidaknya untuk melindungi terhadap kerugian. Hukum Pidana, misalnya, menghapus perilaku tertentu dari berbagai pilihan perilaku dengan menghukum mereka dengan penjara dan, dalam beberapa kasus, kematian. 

 Mengingat bahwa otonomi manusia patut prima facie menghormati moral, pertanyaan yang muncul adalah apa saja batas-batas yang sah otoritas negara untuk membatasi kebebasan warganya. 

 Hukum moralisme adalah pandangan bahwa hukum sah dapat digunakan untuk melarang perilaku yang bertentangan dengan moral kolektif penilaian masyarakat bahkan ketika perilaku tersebut tidak mengakibatkan kerusakan fisik atau psikologis orang lain. 

Menurut pandangan ini, kebebasan seseorang sah dapat dibatasi hanya karena hal itu bertentangan dengan moralitas kolektif masyarakat, dengan demikian, moralisme hukum menyiratkan bahwa diizinkan bagi negara untuk menggunakan kekuatan pemaksa untuk menegakkan moralitas kolektif masyarakat. Hayek menjelaskan bahwa aturan hukum memiliki delapan karakteristik (Friedrich A Hayek, Konstitusi Liberty, London:, 206ff. Routledge.1960): 

Undang-undang yang non-retroaktif, tertentu dan diketahui, kesetaraan di depan hukum (yaitu, undang-undang yang sempurna umum, abstrak, dan permanen), peradilan yang independen, subjek pemerintah untuk aturan, sistem peradilan untuk mengontrol legalitas tindakan administratif dan keputusan peradilan, dan Bill of Rights (Hayek terlalu menyadari kelemahan iusnaturalism naif untuk daftar hak-hak). 

 Legitimasi harus memiliki dasar lain, atau akan tidak sama sekali. Barnett membangun suatu kasus untuk legitimasi konstitusi dan hukum yang berlaku di dalam melindungi hak-hak mereka daripada melakukan pelanggaran. Satjipto Raharjo, menyebutkan faktor budaya (“Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003). 

Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum di dalam masyarakat. 

Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. John Rawls berpendapat bahwa ada kewajiban moral untuk mematuhi hukum qua hukum di masyarakat di mana ada saling menguntungkan dan hanya skema kerjasama sosial. 

 Secara a contra-rio masyarakat tidak patuh pada hukum karena masyarakat tersebut dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara kesetiaan yang satu bertentangan dengan kesetiaan lainnya. 

 PATUH HUKUM 

 Muchtar Agus Cholif, mendefinisikan makna “LUAK XVI”. Arti LUAK “berarti kurang, usak, tidak cukup lagi”. 

Sebuah istilah berasal dari daerah Merangin, Kerinci, Melayu. Sehingga artinya kurang dari XVI. XVI adalah identitas kurang dari XVI. 

Sebuah Persatuan Masyarakat Hukum Adat yang terjadi pada tahun 1915. sedangkan yang dimaksudkan dengan Enam belas. 1. Serampas, 2. Sungai Tenang, 3. Peratin Tuo, 4. Senggrahan, 5, Tiang Pumpung, 6. Renah Pembarap, 7. Pulau Sangkar, 8. Temiai, 9. Pengasi, 10. Hamparan Tanah Rawang, 11. Koto Teluk Hamparan Tanah Rawang, 12. Koto Dian Hamparan Tanah Rawang, Koto Tuo Semurup, 13. Semurup, 14. Seleman, 15. Penwar, 16. Hampar di Hiang. Luak XVI yang dimaksud Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Senggrahan, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah pembarap Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai Induk Enam Anak Sepuluh. 

Dalam pengidentifikasikan, kemudian 6 marga kemudian terletak di daerah Merangin, sedangkan yang sepuluh terletak di Kerinci. Dengan demikian, maka yang terletak di Kerinci disebut Kerinci Tinggi, sedangkan 6 marga yang terletak di Merangin disebut Kerinci Rendah. Hubungan kekerabatan antara Margo dapat dilihat ujaran “Gedung di Pembarap, Pasak di Tiang Pumpung, Kunci di pembarap”. Pembarap berrenah luas, Tiang pumpung berlarik panjang, Sanggrehan berhutan lebar. Artinya mereka saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. 

Pada prinsipnya masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seperti “seinduk bak ayam, serumpun bak serai, Besikek bak pisang, batutung bak tebu. Luak XVI Melayu termasuk rumpun kesukuan Melayu. 

Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan dari 650 suku di Indonesia. Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. 

Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua. Keberadaan masyarakat LUAK XVI diperkirakan jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan LUAK XVI.

 Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat, Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah. 

 Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm. Hipotesis yuridis ini diurai kritis oleh Jimly Asshiddiqie dan Ali Safa’at, selama Orde Baru Grundnorm diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. 

Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni di kemudian hari. 

Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif.. 

Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. 

Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. 

 Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). 

Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak) Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila. Melalui grundnorm ini semua peraturan hukum disusun dalam satu-kesatuan. 

Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. 

Dibawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Karena Pancasila ada dalam konstitusi (UUD 1945), maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). 

Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm, berada di atas Undang-Undang Dasar. 

Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny danbertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), Pancasila dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia Dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan didalam Persekutuan Masyarakat Adat Luak XVI dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer) 

 Dimuat di Harian Posmetro, 6 OKtober 2010