26 Juli 2012

opini musri nauli : Sistem Hukum




Apabila kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda hanpir 350 tahun lamnya, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelijk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering), Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.


Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda.


Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Civl Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang termasuk Eropa Kontinental. Bandingkan dengan sistem hukum diberbagai negara lain. Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System,) Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis (Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem hukum Islam (Islamic Law System),  dan negara ketiga di Benua Afrika yang menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System).


Namun ketidakkonsistenan ini terjadi ketika Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara –negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. 


Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi. Ketidakkonsistensinya Indonesia dalam merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law – Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989.  Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat.  (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional.


Dengan mengadopsi berbagai sistem hukum, Indonesia mengalamiKeanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum.  Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. Wewenang dan kewajiban MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi.


Pentingnya sistem hukum yang mengatur tentang hukum akan berakibat terhadap proses hukum baik dalam hukum pidana (pemidanaan, pertanggungjawaban pidana) maupun dalam lapangan hukum privat (seperti pewarisan, penentuan hak). Banyaknya kasus-kasus yang mentah di pengadilan salah satu pihak kurang menguasai sistem hukum yang akan diterapkan..