04 Agustus 2012

opini musri nauli : CATATAN HUKUM KEWENANGAN MABES MEMERIKSA KASUS SIMULASI




CATATAN HUKUM KEWENANGAN MABES MEMERIKSA KASUS SIMULASI

Pasca “insiden” penahanan barang bukti yang akan dibawa oleh KPK di Korlantas Mabes Polri, Markas Besar Kepolisian RI menetapkan lima tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat ujian surat izin mengemudi. “Sudah ditetapkan sejak 1 Agustus 2012," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Inspektur Jenderal Anang Iskandar dalam konferensi pers di kantornya Kamis 2 Agustus 2012. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan pun, kata Anang, dikirim ke Kejaksaan Agung pada hari yang sama (http://www.tempo.co/read/news/2012/08/03/063421073/5-Tersangka-Versi-Polri-4-Tersangka-Versi-KPK)

Dalam hari yang sama, penjelasan juga diberikan oleh Kabaresreskrim yang disampaikan melalui media visual di Televisi. Beberapa penjelasan yang disampaikan, ada beberapa persoalan hukum yang menarik untuk kita didiskusikan.

Pertama. Mabes bersikukuh akan tetap melanjutkan pemeriksaan. Kedua. Selama belum ada putusan pengadilan yang menyatakan Kepolisian tidak berwenang untuk melakukan pemeriksaan, maka Mabes Polri tetap melakukan penyidikan. Ketiga. Dipersilahkan siapa saja yang merasa keberatan upaya yang dilakukan oleh Mabes Polri untuk mengajukan keberatan ke pengadilan.

Penjelasan pertama, apakah kepolisian berwenang untuk melanjutkan pemeriksaan. Penjelasan yang disampaikan oleh Mabes Polri yang mendasarkan kepada UU No. 8 tahun 1981 – kemudian biasa dikenal dengan istilah KUHAP, memang Kepolisian mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana. Kewenangna ini menurut penulis disebutkan sebagai kewenangan formal. Dari ranah ini, sebenarnya tidak perlu kita perdebatkan.  Namun terhadap kewenangan ini kemudian akan kita kupas lebih lanjut.

Kedua. Apakah diperlukan putusan pengadilan untuk menyatakan kepolisian tidak berwenang lagi untuk memeriksa perkara ini ? Walaupun Mabes Polri mendalilkan dengan ketentuan pasal 50 UU KPK, sebenarnya ada kekeliruan tafsiran sempit yang kontraproduktif dengan penjelasan yang disampaikan oleh Kabarreskrim Mabes Polri.

Pasal 50 ayat (1) UU KPK telah menegaskan “dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada komisi pemberantasan korupsi paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.

Berangkat dari norma ini, sebenarnya, kita akan mudah menangkap pesan dari pasal ini, KPK sudah bisa memastikan, Mabes Polri belum melakukan pemeriksaan dalam perkara ini. Ini bisa ditandai dengan “setelah” dilakukan penggeledahan di Korlantas Mabes Polri, Kabarreskrim kemudian menyatakan “telah” memeriksa perkara ini dan pada hari kamis kemudian mengirimkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung.

Bandingkan dengan periode waktunya. KPK telah menetapkan perkara ini ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan tanggal 27 Juli 2012. Sedangkan Mabes Polri pada tanggal 2 Agustus 2012. Dengan demikian penjelasan yang disampaikan oleh Mabes Polri, tidak sesuai dengan ketentuan pasal 50 ayat (1) UU KPK.
Selain itu juga yang dilupakan oleh Mabes Polri, ketentuan pasal 50 ayat (3) UU KPK menegaskan “dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.

Dengan penjelasan yang disampaikan, berangkat dari norma pasal 50 ayat (1) dan pasal 50 ayat (3) UU KPK, kewenangan Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan perkara ini tidak bisa dipertahankan lagi.
Selain itu juga, alasan Mabes Polri yang mendasarkan kepada UU No. 8 tahun 1981 atau KUHAP maka telah dikesampingkan oleh UU No. 30 tahun 2002 Tentang KPK sebagaimana asas “lex spesialis derogat lex generalis”. Peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum.

Ketiga. Apakah diperlukan upaya mengajukan keberatan terhadap upaya yang dilakukan Mabes Polri untuk memeriksa berkas perkara. Dengan melihat rumusan pasal-pasal di dalam UU No. 30 Tahun 2002 ada beberapa catatan penting. Pertama. Apakah perlu diajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan tafsiran konstitusi terhadap pasal-pasal UU No. 30 tahun 2002.

Penulis tidak melihat urgensi persoalan ini harus diselesaikan melalui mekanisme konstitusi dalam perkara di MK. Selain norma yang mengaturnya sudah jelas (normanya sudah terang dan penafsiran autentik), persoalan ini “semata-mata” penerapan norma dari suatun peraturan perundang-undangan. Sama sekali tidak tepat menjadi pembahasan dalam perkara di MK.

Namun yang lebih pasti, ini adalah “tafsiran sempit” dari Mabes Polri didalam membaca rumusan pasal-pasal didalam UU KPK.

Sedangkan apabila gugatan kepada Pengadilan umum biasa untuk memeriksa terhadap keberatan upaya yang dilakukan oleh Mabes Polri, menurut penulis harus diberi ruang untuk mendiskusikannya.

Secara normatif, dapat dilihat didalam rumusan  pasal 77 KUHAP yang membuka ruang terhadap upaya praperadilan yang berkaitan dengan “sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”.  Apabila kita menggunakan normatif pasal 77, maka Mabes Polri sudah akan memenangkan pertarungan ini. Namun yang dilupakan, adanya rumusan pasal 50 ayat (1) dan pasal 50 ayat (3) UU KPK akan menjadi peluru yang effektif untuk mengenyampingkan pasal 77 KUHAP.

Atau dengan kata lain, pasal 50 ayat (1) dan pasal 50 ayat (3) UU KPK akan dijadikan sandaran untuk menyatakan Mabes Polri tidak lagi berwenang  untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.

Namun terlepas dari penjelasan yang telah disampaikan, menurut penulis, menjadi persoalan “kepantasan” atau tidak apakah Mabes Polri memeriksa perkara ini. Penetapan nama-nama tersangka oleh Mabes 1.    Brigadir Jenderal Didik Purnomo --Wakil Kepala Korps Lalu Lintas atas perannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, 2.    Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan  --Kepala Primer Koperasi Polisi atas perannya sebagai Ketua Panitia Pengadaan, 3.    Komisaris Legimo --Bendahara Korps Lalu Lintas, 4.    Sukotjo S. Bambang -- Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia atas perannya menggelembungkan nilai proyek, 5.    Budi Susanto -- Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi  

Bandingkan dengan penetapan nama-nama tersangka oleh KPK, 1.    Inspektur Jenderal Djoko Susilo --Kepala Korps Lalu Lintas karena diduga menerima suap, 2.    Brigadir Jenderal Didik Purnomo --Wakil Kepala Korps Lalu Lintas, 3.    Sukotjo S. Bambang -- Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, 4.    Budi Susanto -- Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (tempo.dom)

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 Agustus 2012