CATATAN
HUKUM KEWENANGAN MABES MEMERIKSA KASUS SIMULASI
Pasca “insiden”
penahanan barang bukti yang akan dibawa oleh KPK di Korlantas Mabes Polri, Markas
Besar Kepolisian RI menetapkan lima tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan
alat ujian surat izin mengemudi. “Sudah
ditetapkan sejak 1 Agustus 2012," kata Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Inspektur Jenderal Anang Iskandar dalam konferensi pers di kantornya
Kamis 2 Agustus 2012. Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan pun, kata
Anang, dikirim ke Kejaksaan Agung pada hari yang sama (http://www.tempo.co/read/news/2012/08/03/063421073/5-Tersangka-Versi-Polri-4-Tersangka-Versi-KPK)
Dalam hari
yang sama, penjelasan juga diberikan oleh Kabaresreskrim yang disampaikan melalui
media visual di Televisi. Beberapa penjelasan yang disampaikan, ada beberapa
persoalan hukum yang menarik untuk kita didiskusikan.
Pertama. Mabes
bersikukuh akan tetap melanjutkan pemeriksaan. Kedua. Selama belum ada putusan
pengadilan yang menyatakan Kepolisian tidak berwenang untuk melakukan
pemeriksaan, maka Mabes Polri tetap melakukan penyidikan. Ketiga. Dipersilahkan
siapa saja yang merasa keberatan upaya yang dilakukan oleh Mabes Polri untuk
mengajukan keberatan ke pengadilan.
Penjelasan pertama,
apakah kepolisian berwenang untuk melanjutkan pemeriksaan. Penjelasan yang
disampaikan oleh Mabes Polri yang mendasarkan kepada UU No. 8 tahun 1981 –
kemudian biasa dikenal dengan istilah KUHAP, memang Kepolisian mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak
pidana. Kewenangna ini menurut penulis disebutkan sebagai kewenangan formal. Dari
ranah ini, sebenarnya tidak perlu kita perdebatkan. Namun terhadap kewenangan ini kemudian akan
kita kupas lebih lanjut.
Kedua. Apakah diperlukan
putusan pengadilan untuk menyatakan kepolisian tidak berwenang lagi untuk memeriksa
perkara ini ? Walaupun Mabes Polri mendalilkan dengan ketentuan pasal 50 UU
KPK, sebenarnya ada kekeliruan tafsiran sempit yang kontraproduktif dengan
penjelasan yang disampaikan oleh Kabarreskrim Mabes Polri.
Pasal 50 ayat
(1) UU KPK telah menegaskan “dalam hal
suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi pemberantasan Korupsi belum
melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada komisi pemberantasan
korupsi paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
Berangkat dari
norma ini, sebenarnya, kita akan mudah menangkap pesan dari pasal ini, KPK
sudah bisa memastikan, Mabes Polri belum melakukan pemeriksaan dalam perkara
ini. Ini bisa ditandai dengan “setelah”
dilakukan penggeledahan di Korlantas Mabes Polri, Kabarreskrim kemudian
menyatakan “telah” memeriksa perkara
ini dan pada hari kamis kemudian mengirimkan Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung.
Bandingkan dengan
periode waktunya. KPK telah menetapkan perkara ini ditingkatkan dari
penyelidikan ke penyidikan tanggal 27 Juli 2012. Sedangkan Mabes Polri pada
tanggal 2 Agustus 2012. Dengan demikian penjelasan yang disampaikan oleh Mabes
Polri, tidak sesuai dengan ketentuan pasal 50 ayat (1) UU KPK.
Selain itu
juga yang dilupakan oleh Mabes Polri, ketentuan pasal 50 ayat (3) UU KPK
menegaskan “dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana pada ayat
(1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
Dengan
penjelasan yang disampaikan, berangkat dari norma pasal 50 ayat (1) dan pasal
50 ayat (3) UU KPK, kewenangan Mabes Polri untuk melakukan pemeriksaan perkara
ini tidak bisa dipertahankan lagi.
Selain itu
juga, alasan Mabes Polri yang mendasarkan kepada UU No. 8 tahun 1981 atau KUHAP
maka telah dikesampingkan oleh UU No. 30 tahun 2002 Tentang KPK sebagaimana
asas “lex spesialis derogat lex generalis”.
Peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum.
Ketiga. Apakah
diperlukan upaya mengajukan keberatan terhadap upaya yang dilakukan Mabes Polri
untuk memeriksa berkas perkara. Dengan melihat rumusan pasal-pasal di dalam UU
No. 30 Tahun 2002 ada beberapa catatan penting. Pertama. Apakah perlu diajukan
gugatan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan tafsiran konstitusi terhadap
pasal-pasal UU No. 30 tahun 2002.
Penulis tidak
melihat urgensi persoalan ini harus diselesaikan melalui mekanisme konstitusi
dalam perkara di MK. Selain norma yang mengaturnya sudah jelas (normanya sudah terang dan penafsiran autentik),
persoalan ini “semata-mata” penerapan norma dari suatun peraturan
perundang-undangan. Sama sekali tidak tepat menjadi pembahasan dalam perkara di
MK.
Namun yang
lebih pasti, ini adalah “tafsiran sempit”
dari Mabes Polri didalam membaca rumusan pasal-pasal didalam UU KPK.
Sedangkan apabila
gugatan kepada Pengadilan umum biasa untuk memeriksa terhadap keberatan upaya yang
dilakukan oleh Mabes Polri, menurut penulis harus diberi ruang untuk
mendiskusikannya.
Secara normatif,
dapat dilihat didalam rumusan pasal 77 KUHAP
yang membuka ruang terhadap upaya praperadilan yang berkaitan dengan “sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan”. Apabila kita menggunakan normatif pasal 77,
maka Mabes Polri sudah akan memenangkan pertarungan ini. Namun yang dilupakan,
adanya rumusan pasal 50 ayat (1) dan pasal 50 ayat (3) UU KPK akan menjadi
peluru yang effektif untuk mengenyampingkan pasal 77 KUHAP.
Atau dengan
kata lain, pasal 50 ayat (1) dan pasal 50 ayat (3) UU KPK akan dijadikan
sandaran untuk menyatakan Mabes Polri tidak lagi berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini.
Namun terlepas
dari penjelasan yang telah disampaikan, menurut penulis, menjadi persoalan “kepantasan”
atau tidak apakah Mabes Polri memeriksa perkara ini. Penetapan nama-nama
tersangka oleh Mabes 1. Brigadir Jenderal Didik Purnomo
--Wakil Kepala Korps Lalu Lintas atas perannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen,
2. Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan --Kepala Primer
Koperasi Polisi atas perannya sebagai Ketua Panitia Pengadaan, 3.
Komisaris Legimo --Bendahara Korps Lalu Lintas, 4.
Sukotjo S. Bambang -- Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia atas
perannya menggelembungkan nilai proyek, 5. Budi Susanto --
Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi
Bandingkan dengan
penetapan nama-nama tersangka oleh KPK, 1. Inspektur Jenderal
Djoko Susilo --Kepala Korps Lalu Lintas karena diduga menerima suap, 2.
Brigadir Jenderal Didik Purnomo --Wakil Kepala Korps Lalu Lintas, 3.
Sukotjo S. Bambang -- Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, 4.
Budi Susanto -- Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (tempo.dom)
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 Agustus 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 9 Agustus 2012