Akibat
keteledoran pengelola Rumah Sakit Harapan Kita yang mengizinkan
syuting sinetron di ruang ruang intensive care and critical unit
(ICCU), seorang anak yang tengah dirawat meninggal dunia.
Seorang
bocah bernama Ayu Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) RS
Harapan Kita. Ironisnya Ayu meninggal saat ruangan di sekitar rumah
sakit digunakan untuk keperluan syuting Film Love in Paris.
Menurut keterangan keluarga, Ayu meninggal karena pembuluh darahnya
pecah.
Namun,
Ketika sedang dirawat di ICCU rumah sakit ternyata ruangan itu juga
digunakan untuk pengambilan gambar sinetron yang tayang di SCTV
tersebut. Para kru film bahkan bebas keluar masuk ruang ICCU yang
harusnya streril. Malah, keluarga pasien yang hendak masuk ke ICCU
hanya diperbolehkan masuk melalui pintu samping.
Demikianlah
kabar yang disampaikan media massa akhir-akhir ini. Sebelum
menentukan sikap terhadap Rumah Sakit Harapan Kita, maka diperlukan
investitagasi yang cukup lengkap. Investigasi ini selain diperlukan
untuk melihat persoalan sebenarnya, juga diperlukan dalam proses
hukum.
Dalam
berbagai tayangan media massa, sudah jelas “dipaparkan”
bagaimana Rumah Sakit Harapan Kita “dianggap” lalai dan sibuk
memikirkan syuting sinetron daripada “memberikan” perawatan
maksimal Terlepas dari hasil akhir investigasi, persoalan terhadap
tidak “memberikan” perawatan maksimal terhadap pasien Ayu
Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) terlalu
sederhana untuk “dibicarakan” internal instansi kesehatan. Banyak
faktor-faktor yang dapat dijadikan bahan untuk membongkar berbagai
skenario buruk dalam pelayanan.
Tanpa
memasuki wilayah “urusan Kesehatan” dan cara menanganinya,
persoalan ini menimbulkan akibat secara hukum. Meninggalnya Ayu
Tria Desiani (9 tahun) meninggal di (ICCU) adalah
fakta hukum yang tidak terbantahkan. Dan Tugas hukum akan mencoba
akar dan benang merah untuk menentukan “siapa yang salah” dan
bagaimana “pertanggungjawaban pidana”. Dari ranah ini, penulis
akan memaparkan berbagai fakta-fakta yang kemudian akan dicoba
hubungkan dengan teori ilmu hukum.
Kesalahan
dan Pertanggungjawaban
Dalam
ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea.
Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk)
dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut
para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk),
yaitu :
a.
Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b.
Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet
als zekerheidsbewustzijn)
c.
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis).
Diluar
dari bentuk kesengajaan (opzettelijk),
kita kemudian mengenal dengan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian
(culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat
perbuatan. Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu
lintas (diatur didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan
kemudian diterapkan dalam pasal-pasal UU Lalu Lintas.
Pembuktian
apakah terhadap pelaku diterapkan berdasarkan kepada bentuk
kesengajaan dilihat kepada berbagai fakta-fakta untuk melihat
penerapan kesengajaan (opzettelijk).
Dengan
menghubungkan teori “kesengajaan” (opzettelijk)
maka
kita akan coba kepada lihat fakta-fakta yang telah penulis sampaikan.
Sebagaimana
didalam fakta-fakta yang telah disampaikan di media massa, ruang
intensive care and critical unit (ICCU) “telah digunakan” sebagai
syuting Film Love in Paris. Padahal didalam ilmu kesehatan, ruang
ICCU merupakan pertolongan “penting” untuk menyelamatkan “nyawa
manusia'”. Ruang ICCU merupakan rekomendasi terhadap penanganan
korban ketika tiba di ruangan itu.
Begitu
pentingnya ruang ini, maka didalam ruangan, selalu disiapkan baik
dokter jaga maupun tenaga kesehatan yang “harus standy by” untuk
menangani pertama kali terhadap korban yang sudah “kritis”.
Dengan disediakan ruang ICCU dan dokter untuk menangani pertolongan
pertama maka “nyawa manusia” dapat diselamatkan.
Nah,
dengan begitu, apakah terhadap penanganan korban tidak dilakukan di
ruang ICCU ? Tidak dilakukan standar kesehatan sehingga korban tidak
berhasil diselamatkan ?
Apabila
ternyata berdasarkan fakta-fakta yang berkaitan “ternyata”
ruangan ICCU dipergunakan tidak untuk “kesehatan”, korban tidak
mendapatkan pelayanan “penyelamatan penting”, maka harus bisa
dipastikan, bahwa Rumah Sakit Harapan Kita telah “menelantarkan”
dan abai dalam menyelamatkan “nyawa manusia”. Dari titik inilah,
maka walaupun dalam kacamatan awan, tidak ada “keinginan” adanya
terjadi korban yang meninggal, namun dalam kacamata hukum, pihak
Rumah Sakit Harapan Kita telah melakukan kesalahan. Kesalahan
“menelantarkan” dan tidak “memberikan pertolongan”
sebagaimana mestinya, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dan
dalam upaya “gagal” menolong korban dapat dikategorikan sebagai
“pembunuhan berencana” ataupun “pembunuhan biasa”. Tinggal
penegak hukum menentukan, apakah Rumah Sakit Harapan Kita telah
melakukan kesalahan dalam kesengajaan
(opzettelijk).
Tinggal perkembangan fakta-fakta yang berkaitan, apakah kesengajaan
dilihat dari bentuk seperti Kesengajaan
sebagai maksud (oogmerk) atau Kesengajaan dengan sadar kepastian
(opzet
als zekerheidsbewustzijn) atau Kesengajaan
dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis).
Apakah
“digunakan ruang ICCU untuk syuting” dan “kurang maksimalnya”
memberikan pertolongan kepada korban “menyebabkan” matinya
korban.
Pertanyaan
diatas sekedar fakta-fakta yang harus dibuktikan kebenarannya agar
kesalahan dapat ditentukan dan orang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum.
Kita
tunggu perkembangan kasus ini. Namun yang pasti, kematian korban
tidak boleh sia-sia. Harus diusut tuntas bagaimana peristiwa itu
terjadi. Tidak semata-mata hanya “urusan takdir”.