08 April 2013

opini musri nauli : “Menolak Bungkam Untuk Mewujudkan Keadilan Ekologis”


SUVARNA-DVIPA YANG TERCECER
Menolak Bungkam Untuk Mewujudkan Keadilan Ekologis”


Sumatera atau Sumatra adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Penduduk pulau ini sekitar 42.409.510 jiwa (2000).

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Swarnadwipa (“pulau emas”) atau Swarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi.

Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi dan bhūmi mālayu untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.

Sumatera tidak sekedar cerita tentang Pulau Emas. Tapi juga dibicarakan eksotisme alam liar nan indah atau kemasyuran Sriwijaya.1 Namun juga harus dibicarakan sebagai Pulau yang pernah menguasai jalur perdagangan selat Malaka, pemberontakan maupun perampasan sumber daya alam.

Sumatera adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional. Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannya, lalu kapur barus dari hutan-hutannya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna-Dvipa – Tanah Emas. Karena itu, beberapa jejak seperti India, persia, Arab, China dapat ditemukan di Sumatera.

Sumatera telah ditulis oleh para penjelajah dalam berbagai bahasa seperti Arab, Persia, Italia, Perancis, Portugis, Belanda, Jerman, Indonesia dan Inggeris. Pandangan mereka beragam. Kadang mereka tidak mengerti2 dan terkesan tidak simpatik terhadap masyarakat di Pulau Sumatera3. Mereka penuh syakwasangka tentang penduduk Sumatera.

Padahal kekayaan sumber daya alamnya melimpah ruah. Tan Malaka menuliskan kekayaan sumatera dengan jernih “Di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat minyak yang berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu dan Perlak. Di perbatasan Deli dengan Jambi terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung. Di Jambi sendiri terdapat timah. Bauksit di Riau dan alumunium di di Asahan, Deli. Belum lagi logam besi, timah”4


Belanda berhasil menguasai daerah-daerah paling produktif di Sumatera dalam dua agresi militer pada 1947 dan 1948 – 1949. Walaupun Belanda membentuk Pemerintahan Hindia Belanda tanggal 1 Januari 1800, namun perlu diingat bahwa antara 1811-1816, Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles5Belum lagi berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856),


Namun bacaan tentang Sumatera terkini tidak dapat dilepaskan dari “kerakusan” untuk menguasai sumber daya alam. Dari Aceh, Medan, Sumbar, Riau, Kepri, Babel, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Lampung
Pendekatan yang digunakan tidak semata-mata pendekatan issu (based issue6). Tapi pendekatan regional. Latar belakang yang digunakan untuk pendekatan issu dilatar belakangi dengan semakin massifnya kerusakan lingkungan. Total areal untuk perkebunan kelapa sawit, tambang, HTI Belum lagi kerusakan seperti abrasi yang “menghajar” pantai pesisir Barat Sumatera, pantai timur sumatera.
Dalam sudut pandang cross cutting issu menggunakan pendekatan perubahan iklim, perempuan, kriminalitas, pangan dan HAM.
Bahkan pulau Sumatera menjadi “toilet” negara-negara penghasil emisi karbon yang menyodorkan pulau sumatera sebagai site untuk demplot REDD.
Berbagai interaksi yang terus menerus antara “kerusakan hutan” dengan daya dukung lingkungan yang “terlambat” untuk merespon dan membuat “bumi sejenak untuk bernapas”, membuat pulau sumatera rentan terhadap bencana gempa bumi. Gempa bumi yang terus terjadi dan lambat direspon membuat korban-korban “bencana alam” terus bertambah dan cenderung “memakan korban” yang tidak semestinya terjadi.
Dalam bacaan Para Gubernur se – Sumatera di Bukit Tinggi, 1 Agustus 2008, Pulau Sumatera dipandang :
  1. Pertumbuhan ekonomi di Semenanjung Malaya-Singapura-Indochina yang sangat cepat (SEZ Iskandar Development Region, Kawasan Delta Sungai Mekong, Kawasan Industri Jurong)
  2. Regionalisasi ekonomi Malaysia-Singapore: Johor-Singapore causeway dan Malaysia-Singapore second link.
  3. Penetapan KEK BBK
  4. Sumatera masih sebagai hinterland Singapura & Malaysia (penelitian National Univ of Singapore + Durham Univ +Loughborough Univ)
  5. Optimasi kerjasama regional: IMT-GT, IMS-GT
  6. Intensifikasi koridor ekonomi Medan-Penang-Songkhla
  7. Pengembangan Trans Asia Highway, Jembatan Selat Malaka, dan Jembatan Selat Sunda
  8. MP3EI menjadikan pulau Sumatera sebagai koridor pembangunan kelapa sawit, karet dan lumbung energi


Bacaan ini sekaligus “mempertegas” memandang Pulau Sumatera sebagai “pusat investasi”. Bacaan ini memberikan pekerjaan tambahan yang cukup berat bagi pandangan Walhi Se Sumatera.
Dari pertemuan Regional Para Direktur Eksekutif Walhi Se-Sumatera, tanggal 7 April 2013, disepakati beberapa agenda :
  1. Untuk melihat Pulau Sumatera dipersatukan dengan 3 pendekatan. 1. Pendekatan Pesisir Pantai Timur yang melingkupi pulau Sumatera dengan issu gambut (wetland), pendekatan pesisir Pantai Barat yang merupakan lempeng tektonik dan Bukit Barisan yang memanjang dari Ujung Barat Sumatera hingga timur sumatera. 3 pendekatan inilah yang kemudian menghubungkan Pulau Sumatera dan harus dibaca sebagai pulau dengan pendekatan holistik, regional dan menyatu. Dan tidak bisa dibaca sebagai pulau investasi dan pulau penghasil sumber daya alam yang melimpah.
  2. Strategis dalam menghadapi issu utama diatas dilakukan dengna cara membangun strategis kampanye regional sumatera, strategi advokasi terkait dengan MP3EI, dan RTRW Pulau Sumatera. Selain itu mempersiapkan strategi pengorganisasian. Dan strategi melawan serangan balik aktor perusak lingkungan. Dan membangun knowledge management movement.

  3. Membaca pulau Sumatera tidak bisa dipisahkan antara konflik satu dengan konflik lain dengan pendekatan batas administrasi Propinsi. Dalam pendekatan memandang Sumatera, dalam pertemuan juga disepakati melihat dari sudut pandang aktor “perusak lingkungan”. Pemain utama dalam konflik sumber daya alam tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lain. Perusahaan pulp and paper merupakan satu “biang kerok” dan perusak lingkungan yang tidak hanya melingkupi konflik perusahaan dengan propinsi tapi juga dimensi propinsi lain. Perusaan pulp and paper melingkupi Propinsi Riau, Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatera Barat dengan luas konsensi. Begitu juga perusahaan sawit Wilmar sebagai pemain penting dalam kerusakan lingkungan tidak hanya berkaitan antara satu propinsi saja tapi juga Propinsi di Sumatera. Begitu juga PTPN yang tidak berkaitan antara Propinsi Sumatera Selatan dan Propinsi Bengkulu saja, tapi juga berkaitan dengan Propinsi se Regional Sumatera. Dalam sektor migas, Pertamina merupakan salah satu biang kerok di sektor pertambangan.
  4. Kebutuhan terhadap agenda-agenda advokasi “bertabrakan” dengan kenyataan riil. Perkembangan dan perlawanan Walhi Regional Sumatera sudah memasuki tahap kritis. Ditangkapnya 2 orang Staff ED Walhi Bengkulu bersama-sama dengan masyarakat Seluma dan perkembangan terakhir Direktur Walhi Sumsel menjadi perhatian cukup serius. Refleksi dalam pertemuan di Regional Sumatera kemudian menyadari, resistensi dan pemukulan Walhi daerah harus direfleksi secara serius. Tanpa mengabaikan fakta terhadap perkembangan Walhi yang menjadi sikap kritis terhadap kebijakan daerah, dukungan solidaritas terhadap teman-teman Walhi daerah dibuktikan dengna dukungan secara serius. Pertemuan Regional Sumatera di Palembang selain membicarakan agenda-agenda strategis juga mendukung secara politik di dalam persidangan di Pengadilan Negeri Palembang terhadap Anwar Sadat dan Dedek Chaniago. Dukungna ini kemudian akan terus dijaga dengan mengadakan “multi event” di Palembang Oktober 2013. Multi event se Sumatera selain akan dijadikan pertemuan regional se sumatera juga mengadakan berbagai rangkaian kegiatan. Seperti berbagai perlombaan, pementasan seni dan Gladian Pecinta Alam se Sumatera. Multi event penting diadakan selain “menjaga” issu terhadap rekayasa kriminalisasi Anwar Sadat, dukungan secara politik juga akan menjaga solidaritas Se-Sumatera. Event ini diharapkan menjadi agenda tahunan yang penentuan tempat akan disepakati kemudian.
Berangkat dari berbagai pemaparan diatas, maka kebutuhan untuk agenda-agenda advokasi ke depan.
  1. Menambah kemampuan kemahiran (skill) seperti advokasi, bahasa inggeris, managemen keuangan, keorganisasian
  2. Mempersiapkan bacaan mengenai sumatera secara komprehensif. Bacaan ini akan dipersiapkan selama 6 bulan.
  3. Menambah pengetahauan tentang management (knowledge management).
  4. Membangun kader dan regenerasi dalam membangun advokasi.



























1Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe – Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
2Dalam catatan Marco Polo tentang unicorn, hewan negeri dongeng berwujud kuda bersayap dan bertanduk yang digambarkan sebagai hewan berbulu seperti kerbau, berkaki seperti gajah, bertanduk hitam besar, memiliki lidah berduri tajam dan senang berkubang.
3John Davis menggambarkan Sultan Alau'ddin Ri'ayat Syah Al-Mukammil yang mengunjungi Aceh dengan kalimat “Tidak melakukan apapun sepanjang hari selain makan dan minum.
4Tan Malaka, “Di Deli” dalam “Dari Penjara ke Penjara, Teplok Press, hal. 69 - 100
5Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe – Dari Marco Polo Sampai Tan Malaka
6Issu yang telah dibangun seperti Issu Hutan (termasuk HTI, REDD, SHK), Tambang, Sawit, wilayah pesisir pulau kecil, pencemaran, energi)