Untuk
mengenal Prof. Soetanyo Wignyosoebroto (Prof. Tanyo) tidak bisa
dilepaskan dari buku yang menjadi landmark mengenal Sejarah hukum di
Indonesia. Bukunya yang terkenal “Dari hukum Kolonial menjadi Hukum
Nasional-Suatu Kajian tentang dinamika sosial politik dalam
perkembangan hukum selama satu setengah Abad di Indonesia
(1840-1990)” merupakan buku yang menceritakan tentang sejarah
digunakan hukum kodifikasi Hukum Belanda. Prof. Tanyo menyebutkan
“hukum Kolonial”. Sebuah istilah bentuk sinisme terhadap
diterapkan hukum Belanda untuk masyarakat pribumi.
Sebagai
sebuah buku yang menjadikan landmark Prof. Tanyo dalam pemikiran yang
“dahsyat”, bertemu dan mendengarkan penjelasan langsung yang
diberikan merupakan sebuah kesempatan “langka”, tanpa menyebutkan
kata-kata “luar biasa'. Lebih banyak disampaikan secara ketika
pertemuan dari buku itu sendiri. Dalam. Ibarat “sungai” semakin
digali, semakin tidak berarti ilmu yang telah kita ketahui. Dan
penulis berkesempatan mendengarkan penjelasan langsung.
Buku
yang terkenal itu kemudian bisa memahami, mengapa negara Kolonial
Belanda “gigih” menerapkan hukum modern di tengah masyarakat
Indonesia yang terbelakang. Runut, sistematis dan menggunakan
literatur yang langsung digali di Belanda, membuat buku ini menjadi
“bernyawa”. Dan sebagai bagian dari proses “perenungan yang
panjang”, penulis merasakan “getar” amarah, getar ngejek
terhadap masih digunakan hukum-hukum nasional di tengah masyarakat
yang sangat plural. Ditambah penguasaan bahasa belanda dan bahasa
inggeris, membuat diskusi menjadi hidup, diskusi menjadi sederhan
walaupun harus memerlukan perenungan yang dalam. Sebagai buku
landmark, tidak salah kemudian beliau bertutur “Buku itu merupakah
master piece”. Dan penulis sangat sedih ketika beliau berbicara
masih ada keinginan untuk melahirkan buku-buku sejenis, tapi belum
mendapatkan kesempatan.
Sidharta
lebih dikenal dengan “pikiran-pikirannya” dalam pondasi Filsafat
Hukum. Sebagai bacaan yang menguraikan pemikiran yang menguraikan
filsafat dan perkembangan filsafat baik dalama bacaan filsafat
sebagai ilmu, filsafat hukum, logika adalah bahan yang renyah untuk
menangkap essensi pentingnya ilmu hukum. Sebagai bacaan filsafat
hukum, nama Sidharta memang tidak bisa dipisahkan dalam barisan muda
penulis filsafat hukum. Sebagai orang muda yang mengajarkan filsafat
hukum, tentu saja bacaan berat semisal J. J. H. Bruggink tentang
Refleksi Hukum yang dituliskan oleh Arief Sidharta dengan
menggambarkan slide presentasi “memukau” penulis untuk menyatakan
kekaguman. Materi yang berat, kering, sepi, hening membuat filsafat
hukum menjadi klaim sebagai pondasi ilmu hukum. Tanpa memperdebatkan
sustansi ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum, dengan mudah
kita mengikuti bagaimana “pertarungan” para filosof hukum
menceritakan hukum. Ditangan Sidharta kemudian dengan enteng dan
gampang dijelaskan.
Belum
lagi paparan dari Rikardo Simarmata tentang disertasinya tentang
Selat Mahakam di Kalimantan Timur. Paparan yang panjang lebar dari
Rikardo Simarmata tentang pentingya pendekatan multidisplin didalam
membedah hukum membuat, pandangan tentang pentingnya ilmu sosial
mendapatkan tempat di berbagai kalangan ilmu.
Penulis
mengetahui tentang Rikardo Simarmata setelah penulis membaca bukunya
“Kapitalisme Perkebunan” sekitar tahun 2004. Sebagai bacaan yang
dalam tentang sejarah perkebunan sawit, data-data yang disampaikan
sering penulis kutip didalam berbagai bacaan untuk mendukung advokasi
perlawanan terhadap pembangunan kelapa sawit di Indonesia. Di tangan
Rikardo Simarmata, buku ini salah satu rujukan penting didalam
membedah perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Semuanya
kemudian memberikan “pembekalan” pentingnya ilmu sosial membantu
ilmu hukum untuk melihat hukum sebagai bagian tidak terpisahkan dari
bagian hidup manusia. Di tangan merekalah, penulis berkeyakinan,
mengapa pentingnya ilmu-ilmu sosial untuk membantu “membedah”
hukum dari berbagai sudut pendekatan (multidispliner). Hukum tidak
terjebak dengan dogma-dogma, idiom, perintah dan sanksi belaka. Di
tangan merekalah, kemudian hukum menjadi hidup dan mampu menjelaskan
kerumitan hukum apabila hanya menggunakan pendekatan doktrin semata.
Dan
penulis berkesempatan untuk mendengarkan paparan secara langsung
selama 2 hari tanggal 10-11 April di Jakarta dalam pelatihan
Penelitian ilmu sosial, Epistema Institute.
Pelatihan
ini menjadi penting bagi penulis, setelah pengalaman praktis di
lapangan harus kembali “dicuci” agar pilihan mendengarkan “cerita
rakyat yang luhur” membongkar paradigma berbagai ilmu yang
dipelajari di kampus. Pikiran harus kembali “bersih” setelah
klaim kebenaran dari negara yang membuat kita kembali mempertanyakan
“ilmu untuk manusia”. Bukan manusia mengabdi untuk hukum. Sebuah
slogan yang sering didengung-dengungkan setelah ilmu gagal
“memanusiakan manusia”.
Tentu
saja pengalaman itu tidak mudah dilupakan.