23 April 2013

opini musri nauli : MENGEMBARA DALAM KESUNYIAN




Untuk mengenal Prof. Soetanyo Wignyosoebroto (Prof. Tanyo) tidak bisa dilepaskan dari buku yang menjadi landmark mengenal Sejarah hukum di Indonesia. Bukunya yang terkenal “Dari hukum Kolonial menjadi Hukum Nasional-Suatu Kajian tentang dinamika sosial politik dalam perkembangan hukum selama satu setengah Abad di Indonesia (1840-1990)” merupakan buku yang menceritakan tentang sejarah digunakan hukum kodifikasi Hukum Belanda. Prof. Tanyo menyebutkan “hukum Kolonial”. Sebuah istilah bentuk sinisme terhadap diterapkan hukum Belanda untuk masyarakat pribumi.

Sebagai sebuah buku yang menjadikan landmark Prof. Tanyo dalam pemikiran yang “dahsyat”, bertemu dan mendengarkan penjelasan langsung yang diberikan merupakan sebuah kesempatan “langka”, tanpa menyebutkan kata-kata “luar biasa'. Lebih banyak disampaikan secara ketika pertemuan dari buku itu sendiri. Dalam. Ibarat “sungai” semakin digali, semakin tidak berarti ilmu yang telah kita ketahui. Dan penulis berkesempatan mendengarkan penjelasan langsung.

Buku yang terkenal itu kemudian bisa memahami, mengapa negara Kolonial Belanda “gigih” menerapkan hukum modern di tengah masyarakat Indonesia yang terbelakang. Runut, sistematis dan menggunakan literatur yang langsung digali di Belanda, membuat buku ini menjadi “bernyawa”. Dan sebagai bagian dari proses “perenungan yang panjang”, penulis merasakan “getar” amarah, getar ngejek terhadap masih digunakan hukum-hukum nasional di tengah masyarakat yang sangat plural. Ditambah penguasaan bahasa belanda dan bahasa inggeris, membuat diskusi menjadi hidup, diskusi menjadi sederhan walaupun harus memerlukan perenungan yang dalam. Sebagai buku landmark, tidak salah kemudian beliau bertutur “Buku itu merupakah master piece”. Dan penulis sangat sedih ketika beliau berbicara masih ada keinginan untuk melahirkan buku-buku sejenis, tapi belum mendapatkan kesempatan.

Sidharta lebih dikenal dengan “pikiran-pikirannya” dalam pondasi Filsafat Hukum. Sebagai bacaan yang menguraikan pemikiran yang menguraikan filsafat dan perkembangan filsafat baik dalama bacaan filsafat sebagai ilmu, filsafat hukum, logika adalah bahan yang renyah untuk menangkap essensi pentingnya ilmu hukum. Sebagai bacaan filsafat hukum, nama Sidharta memang tidak bisa dipisahkan dalam barisan muda penulis filsafat hukum. Sebagai orang muda yang mengajarkan filsafat hukum, tentu saja bacaan berat semisal J. J. H. Bruggink tentang Refleksi Hukum yang dituliskan oleh Arief Sidharta dengan menggambarkan slide presentasi “memukau” penulis untuk menyatakan kekaguman. Materi yang berat, kering, sepi, hening membuat filsafat hukum menjadi klaim sebagai pondasi ilmu hukum. Tanpa memperdebatkan sustansi ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum, dengan mudah kita mengikuti bagaimana “pertarungan” para filosof hukum menceritakan hukum. Ditangan Sidharta kemudian dengan enteng dan gampang dijelaskan.

Belum lagi paparan dari Rikardo Simarmata tentang disertasinya tentang Selat Mahakam di Kalimantan Timur. Paparan yang panjang lebar dari Rikardo Simarmata tentang pentingya pendekatan multidisplin didalam membedah hukum membuat, pandangan tentang pentingnya ilmu sosial mendapatkan tempat di berbagai kalangan ilmu.

Penulis mengetahui tentang Rikardo Simarmata setelah penulis membaca bukunya “Kapitalisme Perkebunan” sekitar tahun 2004. Sebagai bacaan yang dalam tentang sejarah perkebunan sawit, data-data yang disampaikan sering penulis kutip didalam berbagai bacaan untuk mendukung advokasi perlawanan terhadap pembangunan kelapa sawit di Indonesia. Di tangan Rikardo Simarmata, buku ini salah satu rujukan penting didalam membedah perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Semuanya kemudian memberikan “pembekalan” pentingnya ilmu sosial membantu ilmu hukum untuk melihat hukum sebagai bagian tidak terpisahkan dari bagian hidup manusia. Di tangan merekalah, penulis berkeyakinan, mengapa pentingnya ilmu-ilmu sosial untuk membantu “membedah” hukum dari berbagai sudut pendekatan (multidispliner). Hukum tidak terjebak dengan dogma-dogma, idiom, perintah dan sanksi belaka. Di tangan merekalah, kemudian hukum menjadi hidup dan mampu menjelaskan kerumitan hukum apabila hanya menggunakan pendekatan doktrin semata.

Dan penulis berkesempatan untuk mendengarkan paparan secara langsung selama 2 hari tanggal 10-11 April di Jakarta dalam pelatihan Penelitian ilmu sosial, Epistema Institute.

Pelatihan ini menjadi penting bagi penulis, setelah pengalaman praktis di lapangan harus kembali “dicuci” agar pilihan mendengarkan “cerita rakyat yang luhur” membongkar paradigma berbagai ilmu yang dipelajari di kampus. Pikiran harus kembali “bersih” setelah klaim kebenaran dari negara yang membuat kita kembali mempertanyakan “ilmu untuk manusia”. Bukan manusia mengabdi untuk hukum. Sebuah slogan yang sering didengung-dengungkan setelah ilmu gagal “memanusiakan manusia”.

Tentu saja pengalaman itu tidak mudah dilupakan.