PASAL
PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN
(Yang
terseret didalam RUU KUHP)
Entah
“terlewatkan”, kurang mengikuti perkembangan, “disengaja”,
atau adanya kepentingan tertentu”, penulis sungguh-sungguh
geleng-geleng kepala. RUU KUHP masih “mencantumkan”
klasifikasi tindak pidana penghinaan terhadap Presiden/Wakil
Presiden.
Semula
penulis “tidak mengikuti perkembangan” selain karena
materi RUU KUHP cukup baik disusun oleh para ahli hukum yang mumpuni,
penulis yakin dengan materi yang disampaikan yang ditandai para
perumus RUU KUHP hadir di sebuah acara talkshow di sebuah stasiun
televisi.
Namun
konsentrasi penulis seakan tersentak. Ketika dalam sebuah diskusi di
milist, disampaikan bahwa pembahasan RUU KUHP masih mencantumkan
tentang definisi “penghinaan Presiden dan Wakil Presiden”.
Kekagetan itu kemudian ditambah ketika di running text sebuah
televisi nasional, Ketua MK mengingatkan putusan MK yang berkaitan
dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam
RUU KUHP, Pasal 265 berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum
menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.".
Bandingkan dengan kalimat didalam pasal 134 KUHP “Penghinaan
dengan sengaja terhadap Presiden atua Wakil Presiden diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Atau pasal 136 bis
“Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134
mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika itu dilakukan
diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum,
maupun tidak dimuka umum baik lidsan atau tulisan, namun dihadapan
lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan
dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.
Dengan
memperhatikan rumusan RUU KUHP Pasal 265 dengan pasal 134 KUHP dan
pasal 136 bis KUHP maka “sebenarnya” rumusan pasal RUU
KUHP merupakan perbuatan tindak pidana yang sama saja (idem ito)
dengan ancaman terhadap RUU KUHP lebih berat dibandingkan dengan
KUHP. Selain juga RUU KUHP mencantumkan ancaman denda lebih besar.
Penulis
kemudian tersentak. Selain memang, adanya “ketelodoran”
dari penyusun dan tim yang membawa ke senayan rumusan RUU KUHP yang
tidak memperhatikan pandangan konstitusi terhadap kriteria melalui
putusan MK, juga akan berdampak terhadap perlindungan konstitusi
terhadap warganegara. Selain itu juga, perkembangan yang cukup cepat
dalam pembahasan konstitusi terhadap permohonan dari warganegara
terhadap KUHP, perkembangan ini kemudian tidak diikuti tim penyusun
dan tim yang membawa ke senayan.
Tahun
2006 merupakan tahun penting bagi rumusan tindak pidana terhadap
Presiden dan wakil Presiden. Seorang advokat, Dr. Eggi Sujana yang
dituduh melakukan “penghinaan” terhadap Presiden kemudian
disidangkan dalam tuduhan cukup serius. Penghinaan terhadap Presiden.
Selain “menghadapi” persidangan, Eggi Sujana kemudian
“mempersoalkan” pasal ini ke MK.
Permohonan
ini kemudian diperiksa oleh MK dalam perkara No. 013 Tahun 2006.
Sebelum memberikan putusan akhir, MK kemudian mempertimbangkan
terhadap permohonan Eggi Sujana.
Menurut
MK, Penerapan Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan
Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk
membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada jajahan Belanda
dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda. Padahal sekarang
ini pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh
karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai
sekarang tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut
dan tidak diberlakukan lagi.
Pasal
134 (dan juga Pasal 135 telah dihapus, asal 136 bis, dan Pasal 137)
tersebut di atas, kata “Presiden atau Wakil Presiden”
dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur
Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda.
Yang
dimaksud dengan “Ratu” adalah Ratu Negeri Belanda
(Nederland) dan yang dimaksud dengan “Gubernur Jenderal”
adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu Belanda
untuk tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia.
Oleh
sebab itu, pasal-pasal tersebut di atas pada hakekatnya adalah
pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk memidana rakyat jajahan
dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan telah menghina
penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu rakyat
bisa dipertakuti, ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan
penjajah Belanda (penulis sengaja menegaskan kalimat ini). Dengan
kalimat inilah, kata-kata penting pandangan konstitusi terhadap
pasal-pasal yang membuka ruang untuk mengkritik penguasa.
Dengan
begitu, apabila pasal-pasal tersebut digunakan terhadap rakyat
Indonesia yang sudah menyatakan dirinya merdeka, sama saja dengan
mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih terjajah.
Pasal
134 dan 136 bis KUHPidana Indonesia tentang penghinaan dengan sengaja
terhadap President dan Wakil Presiden serta pengertian penghinaan
yang juga mencakup perbuatan yang dilakukan di luar kehadiran yang
dihina terdapat dalam Bab II yang berjudul "Kejahatan
Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden".
Didalam
Memorie van Toelichting (MvT) padanannya (berdasarkan asas
konkordansi) di Belanda, yaitu Pasal 111 WvS Belanda, yang
perumusannya serupa.
Menurut
Mr. W.A.M. Cremers (1980) pengertian "penghinaan"
(“belediging”) disini mempunyai arti yang sama dengan Pasal
261 WvS Belanda. Di KUHP kita bisa lihat didalam pasal 310 KUHP.
Dengan
demikian KUHP Indonesia yang merupakan kekhususan dari delik-delik
dalam Bab XVI WvS Belanda tentang Penghinaan. Jadi arti penghinaan
Pasal 134 KUHP Indonesia berkaitan dengan arti penghinaan dalam Pasal
310-321 KUHP Indonesia.
Perbedaan
antara Pasal 134 dengan Pasal 310 adalah bahwa yang terakhir ini
(penghinaan biasa) adalah delik aduan (klacht delict). Pasal
134 (penghinaan terhadap Presiden) adalah delik biasa.
Menurut
Cleiren, sebabnya dalam MvT adalah karena "... martabat Raja
tidak membenarkan pribadi Raja bertindak sebagai pengadu
(aanklager)". Masih menurut Cleiren, “pribadi Raja
begitu dekat terkait (verweven) dengan kepentingan negara
(staatsbelang), sehingga mertabat Raja memerlukan perlindungan
khusus". Inilah alasan mengapa ada bab dan pasal khusus
untuk penghinaan terhadap Raja. Tidak ditemukan rujukan, apakah
alasan serupa dapat diterima di Indonesia, yang mengganti kata "Raja"
dengan "Presiden dan Wakil Presiden" (bandingkan
bentuk negara Belanda yang masih menganut sistem Monarkhi dengan
sistem negara yang berbentuk Republik)
Menurut
Cleiren ... terdapat penghinaan (belediging/slander/defamation),
apabila kehormatan (ecr/honor) atau nama baik (goede naam/reputation)
seseorang diserang (aangerand/impugns)".
Adapun
pengertian "kehormatan" merujuk kepada "respect"
(rasa hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia.
Sedangkan
pengertian "nama baik" merujuk pada "mengurangi
kehormatan seseorang di mata orang lain". Mengenai apa yang
merupakan "sifat menghina" (beledigend karakter)
tergantung pada norma-norma masyarakat pada saat itu.
Dalam
uraian panjang lebar kemudian MK menerangkan, dibedakan antara
“smaad" sebagaimana didalam Pasal 310 (1) KUHP dengan
pencemaran, penistaan, slander dengan "smaadschrift",
pencemaran tertulis sebagaimana didalam Pasal 310 (2) KUHP
Dan
dikatakan dalam Pasal 310 (3) KUHP bila dilakukan demi kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk membela diri, maka perbuatan tersebut
bukan "pencemaran" atau "pencemaran
tertulis”.
Dibedakan
juga antara "pencemaran" dan "pencemaran
tertulis" sebagaimana didalam Pasal 310 KUHP, dengan
"fitnah" (laster/ aggravated defamation)
sebagaimana didalam Pasal 311 KUHP.
Dikatakan
oleh Cleiren dalam delik "pencemaran" dan
"pencemaran tertulis", tidak disyaratkan bahwa apa yang
dikatakan tentang korban adalah tidak benar (onwaar). Lain
halnya pada "fitnah", disini dipersyaratkan bahwa
pelaku harus mengetahui bahwa apa yang dikatakan tentang korban
adalah tidak benar.
Sementara
Andi Hamzah mengemukakan masalah teknis yuridisnya. Pasal 134 KUHP
itu tentulah asalnya masih dari Wetboek van Strafrecht Voor Nederland
Indie yang pada dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menyatakan
bahwa kata raja harusnya dibaca presiden atau wakil presiden. Jadi
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, sebenarnya Pasal 134 dan
seterusnya telah “dinasionalisasi”, Pasal 134 tersebut
diambil dari Pasal 111 KUHP Belanda
Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan
pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran
merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Delik
penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum
seharusnya diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHP manakala penghinaan
(beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal
207 KUHP dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau
Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager).
Dalam
kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHP bagi delik penghinaan terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan
terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar
lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya
dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).
Dua
orang ahli, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Prof. Dr.
J.E. Sahetapy, S.H., M.A. memandang bahwa pasal-pasal pidana dimaksud
tidak perlu diberlakukan lagi.
Dengan pertimbangan itulah, maka MK kemudian menyatakan Pasal 134 KUHP dan pasal 136 bis KUHP dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan
melihat uraian pertimbangan MK, maka sudah jelas pandangan konstitusi
yang membuka ruang terhadap kritik dari warganegara. Sikap kritik ini
kemudian tidak perlu disikapi dan tidak tepat masih “menggunakan”
pasal-pasal KUHP untuk “menjerat” para pengkritik. Selain
sikap ini masih melambangkan “pemikiran” kekuasaan yang “anti
demokrasi”, bertentangan dengan HAM, juga masih ketinggalan
perkembangan informasi yang begitu cepat.
Tokh.
Apabila sikap kritik yang disampaikan sudah menyerang pribadi
Presiden/Wakil Presiden maka dapat menggunakan mekanisme biasa.
Laporan penghinaan pribadi/pencemaran baik sebagaimana rumusan dalam
pasal 310 KUHP.