05 April 2013

opini musri nauli : PASAL PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN (Yang terseret didalam RUU KUHP)





PASAL PENGHINAAN PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN
(Yang terseret didalam RUU KUHP)


Entah “terlewatkan”, kurang mengikuti perkembangan, “disengaja”, atau adanya kepentingan tertentu”, penulis sungguh-sungguh geleng-geleng kepala. RUU KUHP masih “mencantumkan” klasifikasi tindak pidana penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden.

Semula penulis “tidak mengikuti perkembangan” selain karena materi RUU KUHP cukup baik disusun oleh para ahli hukum yang mumpuni, penulis yakin dengan materi yang disampaikan yang ditandai para perumus RUU KUHP hadir di sebuah acara talkshow di sebuah stasiun televisi.

Namun konsentrasi penulis seakan tersentak. Ketika dalam sebuah diskusi di milist, disampaikan bahwa pembahasan RUU KUHP masih mencantumkan tentang definisi “penghinaan Presiden dan Wakil Presiden”. Kekagetan itu kemudian ditambah ketika di running text sebuah televisi nasional, Ketua MK mengingatkan putusan MK yang berkaitan dengan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam RUU KUHP, Pasal 265 berbunyi: "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 300 juta.". Bandingkan dengan kalimat didalam pasal 134 KUHP “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atua Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah. Atau pasal 136 bis “Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 135, jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum baik lidsan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.

Dengan memperhatikan rumusan RUU KUHP Pasal 265 dengan pasal 134 KUHP dan pasal 136 bis KUHP maka “sebenarnya” rumusan pasal RUU KUHP merupakan perbuatan tindak pidana yang sama saja (idem ito) dengan ancaman terhadap RUU KUHP lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Selain juga RUU KUHP mencantumkan ancaman denda lebih besar.

Penulis kemudian tersentak. Selain memang, adanya “ketelodoran” dari penyusun dan tim yang membawa ke senayan rumusan RUU KUHP yang tidak memperhatikan pandangan konstitusi terhadap kriteria melalui putusan MK, juga akan berdampak terhadap perlindungan konstitusi terhadap warganegara. Selain itu juga, perkembangan yang cukup cepat dalam pembahasan konstitusi terhadap permohonan dari warganegara terhadap KUHP, perkembangan ini kemudian tidak diikuti tim penyusun dan tim yang membawa ke senayan.

Tahun 2006 merupakan tahun penting bagi rumusan tindak pidana terhadap Presiden dan wakil Presiden. Seorang advokat, Dr. Eggi Sujana yang dituduh melakukan “penghinaan” terhadap Presiden kemudian disidangkan dalam tuduhan cukup serius. Penghinaan terhadap Presiden. Selain “menghadapi” persidangan, Eggi Sujana kemudian “mempersoalkan” pasal ini ke MK.

Permohonan ini kemudian diperiksa oleh MK dalam perkara No. 013 Tahun 2006. Sebelum memberikan putusan akhir, MK kemudian mempertimbangkan terhadap permohonan Eggi Sujana.

Menurut MK, Penerapan Pasal 134 KUHP dan Pasal 136 bis KUHP diciptakan Belanda lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu dengan alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat negara-negara pada jajahan Belanda dan untuk tidak menyerang kehormatan Ratu Belanda. Padahal sekarang ini pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi di Negara Belanda, oleh karena itu sangat tidak relevan penerapan pasal tersebut sampai sekarang tetap diberlakukan dimana di negara asalnya sudah dicabut dan tidak diberlakukan lagi.

Pasal 134 (dan juga Pasal 135 telah dihapus, asal 136 bis, dan Pasal 137) tersebut di atas, kata “Presiden atau Wakil Presiden” dibuat untuk menggantikan Penguasa Belanda, yaitu Ratu atau Gubernur Jenderal dan Penguasa Belanda di daerah-daerah Hindia Belanda.

Yang dimaksud dengan “Ratu” adalah Ratu Negeri Belanda (Nederland) dan yang dimaksud dengan “Gubernur Jenderal” adalah penguasa tunggal di Hindia Belanda selaku wakil Ratu Belanda untuk tanah jajahan, yang kemudian disebut Indonesia.

Oleh sebab itu, pasal-pasal tersebut di atas pada hakekatnya adalah pasal-pasal penjajah yang digunakan untuk memidana rakyat jajahan dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan tuduhan telah menghina penguasa (penjajah) Belanda, agar melalui ancaman penjara itu rakyat bisa dipertakuti, ditundukkan dan diatur hidupnya untuk tidak melawan penjajah Belanda (penulis sengaja menegaskan kalimat ini). Dengan kalimat inilah, kata-kata penting pandangan konstitusi terhadap pasal-pasal yang membuka ruang untuk mengkritik penguasa.

Dengan begitu, apabila pasal-pasal tersebut digunakan terhadap rakyat Indonesia yang sudah menyatakan dirinya merdeka, sama saja dengan mengatakan bahwa rakyat Indonesia masih terjajah.

Pasal 134 dan 136 bis KUHPidana Indonesia tentang penghinaan dengan sengaja terhadap President dan Wakil Presiden serta pengertian penghinaan yang juga mencakup perbuatan yang dilakukan di luar kehadiran yang dihina terdapat dalam Bab II yang berjudul "Kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden".

Didalam Memorie van Toelichting (MvT) padanannya (berdasarkan asas konkordansi) di Belanda, yaitu Pasal 111 WvS Belanda, yang perumusannya serupa.

Menurut Mr. W.A.M. Cremers (1980) pengertian "penghinaan" (“belediging”) disini mempunyai arti yang sama dengan Pasal 261 WvS Belanda. Di KUHP kita bisa lihat didalam pasal 310 KUHP.

Dengan demikian KUHP Indonesia yang merupakan kekhususan dari delik-delik dalam Bab XVI WvS Belanda tentang Penghinaan. Jadi arti penghinaan Pasal 134 KUHP Indonesia berkaitan dengan arti penghinaan dalam Pasal 310-321 KUHP Indonesia.

Perbedaan antara Pasal 134 dengan Pasal 310 adalah bahwa yang terakhir ini (penghinaan biasa) adalah delik aduan (klacht delict). Pasal 134 (penghinaan terhadap Presiden) adalah delik biasa.

Menurut Cleiren, sebabnya dalam MvT adalah karena "... martabat Raja tidak membenarkan pribadi Raja bertindak sebagai pengadu (aanklager)". Masih menurut Cleiren, “pribadi Raja begitu dekat terkait (verweven) dengan kepentingan negara (staatsbelang), sehingga mertabat Raja memerlukan perlindungan khusus". Inilah alasan mengapa ada bab dan pasal khusus untuk penghinaan terhadap Raja. Tidak ditemukan rujukan, apakah alasan serupa dapat diterima di Indonesia, yang mengganti kata "Raja" dengan "Presiden dan Wakil Presiden" (bandingkan bentuk negara Belanda yang masih menganut sistem Monarkhi dengan sistem negara yang berbentuk Republik)

Menurut Cleiren ... terdapat penghinaan (belediging/slander/defamation), apabila kehormatan (ecr/honor) atau nama baik (goede naam/reputation) seseorang diserang (aangerand/impugns)".

Adapun pengertian "kehormatan" merujuk kepada "respect" (rasa hormat) yang merupakan hak seseorang sebagai manusia.

Sedangkan pengertian "nama baik" merujuk pada "mengurangi kehormatan seseorang di mata orang lain". Mengenai apa yang merupakan "sifat menghina" (beledigend karakter) tergantung pada norma-norma masyarakat pada saat itu.

Dalam uraian panjang lebar kemudian MK menerangkan, dibedakan antara “smaad" sebagaimana didalam Pasal 310 (1) KUHP dengan pencemaran, penistaan, slander dengan "smaadschrift", pencemaran tertulis sebagaimana didalam Pasal 310 (2) KUHP

Dan dikatakan dalam Pasal 310 (3) KUHP bila dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri, maka perbuatan tersebut bukan "pencemaran" atau "pencemaran tertulis”.

Dibedakan juga antara "pencemaran" dan "pencemaran tertulis" sebagaimana didalam Pasal 310 KUHP, dengan "fitnah" (laster/ aggravated defamation) sebagaimana didalam Pasal 311 KUHP.

Dikatakan oleh Cleiren dalam delik "pencemaran" dan "pencemaran tertulis", tidak disyaratkan bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar (onwaar). Lain halnya pada "fitnah", disini dipersyaratkan bahwa pelaku harus mengetahui bahwa apa yang dikatakan tentang korban adalah tidak benar.

Sementara Andi Hamzah mengemukakan masalah teknis yuridisnya. Pasal 134 KUHP itu tentulah asalnya masih dari Wetboek van Strafrecht Voor Nederland Indie yang pada dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 menyatakan bahwa kata raja harusnya dibaca presiden atau wakil presiden. Jadi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, sebenarnya Pasal 134 dan seterusnya telah “dinasionalisasi”, Pasal 134 tersebut diambil dari Pasal 111 KUHP Belanda

Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310-Pasal 321 KUHP manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya, dan Pasal 207 KUHP dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku pejabat (als ambtsdrager).

Dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHP bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht).

Dua orang ahli, Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A. memandang bahwa pasal-pasal pidana dimaksud tidak perlu diberlakukan lagi.

Dengan pertimbangan itulah, maka MK kemudian menyatakan Pasal 134 KUHP dan pasal 136 bis KUHP dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan melihat uraian pertimbangan MK, maka sudah jelas pandangan konstitusi yang membuka ruang terhadap kritik dari warganegara. Sikap kritik ini kemudian tidak perlu disikapi dan tidak tepat masih “menggunakan” pasal-pasal KUHP untuk “menjerat” para pengkritik. Selain sikap ini masih melambangkan “pemikiran” kekuasaan yang “anti demokrasi”, bertentangan dengan HAM, juga masih ketinggalan perkembangan informasi yang begitu cepat.

Tokh. Apabila sikap kritik yang disampaikan sudah menyerang pribadi Presiden/Wakil Presiden maka dapat menggunakan mekanisme biasa. Laporan penghinaan pribadi/pencemaran baik sebagaimana rumusan dalam pasal 310 KUHP.