Setelah
mengalami persidangan lebih dari setahun, akhirnya Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) memutuskan perkara yang diajukan oleh Walhi
dalam kapasitas organisasi lingkungan hidup (legal standing). Walhi
meminta pertanggungjawaban negara yang abai didalam melindungi
lingkungan hidup dari ancaman asap tahun 2013 di Propinsi Jambi dan
Propinsi Riau.
Riau
dan Jambi kemudian diselimuti asap. Tidak cukup hanya memaksa rakyat
di Jambi dan Riau memakai masker, asap yang disebabkan perusahaan
sawit dan HTI kemudian mengirimkan ke negara tetangga seperti
Singapura dan Malaysia. Singapura kemudian mengirimkan nota protes
dan SBY kemudian meminta maaf kepada negara-negara lain.
Walhi
kemudian meminta pertanggungjawaban negara dimulai dari Presiden,
Kapolri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dua
gubernur yaitu Gubernur Riau dan Gubernur Jambi dan 13 Kepala Daerah
di Propinsi Jambi dan Propinsi Riau.
Dalam
putusannya, PN Jakpus kemudian menyatakan gugatan Walhi tidak dapat
diterima (NO) dan Walhi kemudian diperintahkan membayar biaya
perkara.
Terlepas
dari putusan yang telah dijatuhkan, pertimbangan (legal reasioning)
dari PN Jakpus terlalu sayang untuk dilewatkan. Tanpa mempengaruhi
sikap yang akan diambil apakah banding atau menggugat kembali,
pertimbangan yang telah dijatuhkan oleh PN Jakpus, putusan ini
menarik dan menjadi pembelajaran kedepan.
Sebagai
sebuah gugatan yang diajukan oleh Walhi, Walhi mempunyai kepentingan
terhadap jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (HAL).
Rumusan ini selain telah diatur didalam konstitusi kemudian
diturunkan didalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Sebagai
sebuah rumusan hak, maka Walhi sejak tahun 2003 telah menetapkan HAL
sebagai hak asasi manusia. Dan untuk memastikan terpenuhi hak asasi,
maka negara berkewajiban untuk dapat memastikan terpenuhinya hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dengan
dasar pertimbangan itulah, maka negara yang gagal memenuhi HAL dapat
diminta pertanggungjawaban dimuka hukum.
Walhi
yang kemudian mengajukan gugatan dengan cara hak organisasi untuk
mengajukan gugatan (legal standing) kemudian meminta
pertanggungjawaban negara dari Presiden hingga kepala daerah di dua
propinsi.
Kelalaian
Tanggungjawab negara didalam memenuhi HAL yang kemudian biasa dikenal
perbuatan hukum oleh negara (onrechtmaatigoverdaad).
Dengan
alasan onrechtmaatigoverdaad, maka PN Jakpus kemudian menolak
eksepsi dari para tergugat yang menyatakan PN Jakpus tidak berwenang
untuk mengadili perkara gugatan legal standing Walhi. Atau dengan
kata lain, Walhi mempunyai hak legal standing untuk mengajukan
perkara yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sampai
sekarang penulis merasa heran terhadap dalil-dalil yang disampaikan
oleh para tergugat yang “masih mempersoalkan” legal standing
Walhi. Padahal sudah jamak diketahui, Walhi mempunyai hak gugat
(legal standing). Sejarah yang panjang dimulai dari gugatan Walhi
terhadap dana reboisasi hingga legal standing kemudian sudah termasuk
kedalam UU No. 23 tahun 1997 dan kemudian dipertegas lagi di UU No.
32 tahun 2009.
Legal
standing ini mempunyai porsi yang cukup besar pembahasannya selain
karena cukup banyak analisis yang disampaikan oleh para tergugat,
mempersoalkan Walhi sama sekali tidak mendasarkan kepada berbagai
yurisprudensi yang memberi ruang kepada Walhi.
Dari
titik inilah, maka PN Jakpus menolak seluruh dalil-dalil dari para
tergugat yang masih mempersoalkan Walhi sebagai organisasi
lingkungan.
Pertimbangan
yang menarik untuk dibicarakan yaitu berkaitan dengan gugatan yang
dianggap kabur.
Hakim
PN Jakpus dengan tegas menyatakan gugatan yang dibuat oleh Walhi
mudah dipahami sehingga tuduhan sebagai gugatan yang kabur (Obscuur
libels) tidak relevan disampaikan oleh tergugat.
Begitu
juga terhadap gugatan yang dianggap daluarsa. Para tergugat
mempersoalkan gugatan dan dianggap daluarsa (lewat waktu).
Padahal
menurut ketentuan yang berlaku dalam BW suatu gugatan menjadi
kadaluwasa dalam waktu 30 tahun lihat Pasal 835 BW. Lihat juga di
Putusan Mahkamah Agung No. 26K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972.
Sehingga PN Jakpus kemudian menolak dalil-dalil yang disampaikan oleh
tergugat.
Yang
paling unik adalah dalil-dalil yang disampaikan oleh tergugat yang
mempersoalkan posisi hukum (legal standing) dari para tergugat. Para
tergugat menyampaikan Walhi melakukan kesalahan dengan menyatakan
para tergugat (Presiden hingga Bupati) tidak melibatkan Kementerian
Pertanian.
Dalil-dalil
yang disampaikan oleh para tergugat kemudian disebutkan sebagai
kurang pihak.
Namun
PN Jakpus kemudian menyatakan, hak daripada penggugat untuk
melibatkan para tergugat. Itu merupakan hak daripada penggugat
sehingga bantahan ini kemudian tidak diterima oleh hakim. Siapapun
yang dilibatkan sebagai tergugat merupakan hak dan pengadilan tidak
mempunyai kewenangan daripada hak yang disampaikan oleh penggugat.
Cerita
ini kemudian berakhir (pertimbangan hukum) ketika Walhi salah meminta
pertanggungjawaban daripada para tergugat. Walhi diharapkan meminta
pertanggungjawaban dari kementerian Pertanian. Sehingga kemudian PN
Jakpus menyatakan menerima tangkisan daripada para tergugat sehingga
gugatan kemudian dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk
verklaard).
Sehingga
putusan PN Jakpus kemudian menyatakan gugatan kurang pihak dan
gugatan Walhi tidak diterima. Dan Walhi kemudian diperintahkan untuk
membayar perkara (besarnya nilai biaya perkara akan ditentukan lebih
lanjut).
Pelajaran
yang bisa ditarik.
Sebelum
saya menguraikan lebih lanjut dengan persidangan gugatan Walhi
tentang asap 2013, ada beberapa kesan yang menarik untuk disampaikan.
Pertama.
Mempersoalkan Walhi sebagai legal standing organisasi lingkungan
hidup tidak relevan dipersoalkan. Selain menyita energi, berbagai
putusan (yurisprudensi) dapat dijadikan rujukan untuk membaca legal
standing Walhi.
Kedua.
Ada beberapa kelemahan didalam dalil gugatan yang diserang
habis-habisan. Itu menjadi refleksi yang mendalam terutama bagi saya
pribadi.
Ketiga.
Diperlukan konsentrasi tinggi dan ketelitian yang mendalam untuk
mempersoalkan gugatan di Pengadilan. Tanpa mengurangi rasa hormat
kepada tim Pengacara, saya berkesempatan untuk menyampaikan
diperlukan banyak waktu untuk tim pengacara berdiskusi.
Berbagai
pertemuan yang diadakan dianggap belum cukup sehingga kelemahan yang
terjadi didalam gugatan, luput dari pengamatan.
Keempat.
Saya memberikan apresiasi kepada Ketua Muhnur yang harus bolak-balik
ke Jambi dan Riau untuk mengumpulkan data-data, informasi dan fakta
untuk memperkuat gugatannya. Rasa hormat itulah yang membuat saya
menganggap kelemahan gugatan juga merupakan tanggung jawab saya
pribadi yang harus diperbaiki kedepan.
Kelima.
Meminjam peribahasa “tidak ada gading yang tidak retak”. Gugatan
yang disiapkan dengan waktu cukup lama, ternyata masih luput dari
kesalahan. Ke depan, gugatan yang dipersiapkan harus didukung
berbagai perangkat organisasi, sehingga kesalahan-kesalahan dapat
kita minimalisir.
Terlepas
dari berbagai kelemahan gugatan, saya tetap menganjurkan agar kita
tetap mempersoalkan persoalan asap di Pengadilan. Saya tetap
menawarkan agar kita tetap menggugat. Tidak perlu mengajukan
keberatan (banding/appeal) namun menggugat melalui mekanisme biasa.
Gugatan baru dengan perbaikan.