12 Desember 2014

opini musri nauli : Putusan legal standing Walhi Kebakaran 2013



Setelah mengalami persidangan lebih dari setahun, akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memutuskan perkara yang diajukan oleh Walhi dalam kapasitas organisasi lingkungan hidup (legal standing). Walhi meminta pertanggungjawaban negara yang abai didalam melindungi lingkungan hidup dari ancaman asap tahun 2013 di Propinsi Jambi dan Propinsi Riau.
Riau dan Jambi kemudian diselimuti asap. Tidak cukup hanya memaksa rakyat di Jambi dan Riau memakai masker, asap yang disebabkan perusahaan sawit dan HTI kemudian mengirimkan ke negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura kemudian mengirimkan nota protes dan SBY kemudian meminta maaf kepada negara-negara lain.

Walhi kemudian meminta pertanggungjawaban negara dimulai dari Presiden, Kapolri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Dua gubernur yaitu Gubernur Riau dan Gubernur Jambi dan 13 Kepala Daerah di Propinsi Jambi dan Propinsi Riau.

Dalam putusannya, PN Jakpus kemudian menyatakan gugatan Walhi tidak dapat diterima (NO) dan Walhi kemudian diperintahkan membayar biaya perkara.

Terlepas dari putusan yang telah dijatuhkan, pertimbangan (legal reasioning) dari PN Jakpus terlalu sayang untuk dilewatkan. Tanpa mempengaruhi sikap yang akan diambil apakah banding atau menggugat kembali, pertimbangan yang telah dijatuhkan oleh PN Jakpus, putusan ini menarik dan menjadi pembelajaran kedepan.

Sebagai sebuah gugatan yang diajukan oleh Walhi, Walhi mempunyai kepentingan terhadap jaminan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (HAL). Rumusan ini selain telah diatur didalam konstitusi kemudian diturunkan didalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Sebagai sebuah rumusan hak, maka Walhi sejak tahun 2003 telah menetapkan HAL sebagai hak asasi manusia. Dan untuk memastikan terpenuhi hak asasi, maka negara berkewajiban untuk dapat memastikan terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dengan dasar pertimbangan itulah, maka negara yang gagal memenuhi HAL dapat diminta pertanggungjawaban dimuka hukum.

Walhi yang kemudian mengajukan gugatan dengan cara hak organisasi untuk mengajukan gugatan (legal standing) kemudian meminta pertanggungjawaban negara dari Presiden hingga kepala daerah di dua propinsi.

Kelalaian Tanggungjawab negara didalam memenuhi HAL yang kemudian biasa dikenal perbuatan hukum oleh negara (onrechtmaatigoverdaad).

Dengan alasan onrechtmaatigoverdaad, maka PN Jakpus kemudian menolak eksepsi dari para tergugat yang menyatakan PN Jakpus tidak berwenang untuk mengadili perkara gugatan legal standing Walhi. Atau dengan kata lain, Walhi mempunyai hak legal standing untuk mengajukan perkara yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Sampai sekarang penulis merasa heran terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh para tergugat yang “masih mempersoalkan” legal standing Walhi. Padahal sudah jamak diketahui, Walhi mempunyai hak gugat (legal standing). Sejarah yang panjang dimulai dari gugatan Walhi terhadap dana reboisasi hingga legal standing kemudian sudah termasuk kedalam UU No. 23 tahun 1997 dan kemudian dipertegas lagi di UU No. 32 tahun 2009.

Legal standing ini mempunyai porsi yang cukup besar pembahasannya selain karena cukup banyak analisis yang disampaikan oleh para tergugat, mempersoalkan Walhi sama sekali tidak mendasarkan kepada berbagai yurisprudensi yang memberi ruang kepada Walhi.

Dari titik inilah, maka PN Jakpus menolak seluruh dalil-dalil dari para tergugat yang masih mempersoalkan Walhi sebagai organisasi lingkungan.

Pertimbangan yang menarik untuk dibicarakan yaitu berkaitan dengan gugatan yang dianggap kabur.

Hakim PN Jakpus dengan tegas menyatakan gugatan yang dibuat oleh Walhi mudah dipahami sehingga tuduhan sebagai gugatan yang kabur (Obscuur libels) tidak relevan disampaikan oleh tergugat.

Begitu juga terhadap gugatan yang dianggap daluarsa. Para tergugat mempersoalkan gugatan dan dianggap daluarsa (lewat waktu).

Padahal menurut ketentuan yang berlaku dalam BW suatu gugatan menjadi kadaluwasa dalam waktu 30 tahun lihat Pasal 835 BW. Lihat juga di Putusan Mahkamah Agung No. 26K/Sip/1972 tanggal 19 April 1972. Sehingga PN Jakpus kemudian menolak dalil-dalil yang disampaikan oleh tergugat.

Yang paling unik adalah dalil-dalil yang disampaikan oleh tergugat yang mempersoalkan posisi hukum (legal standing) dari para tergugat. Para tergugat menyampaikan Walhi melakukan kesalahan dengan menyatakan para tergugat (Presiden hingga Bupati) tidak melibatkan Kementerian Pertanian.

Dalil-dalil yang disampaikan oleh para tergugat kemudian disebutkan sebagai kurang pihak.

Namun PN Jakpus kemudian menyatakan, hak daripada penggugat untuk melibatkan para tergugat. Itu merupakan hak daripada penggugat sehingga bantahan ini kemudian tidak diterima oleh hakim. Siapapun yang dilibatkan sebagai tergugat merupakan hak dan pengadilan tidak mempunyai kewenangan daripada hak yang disampaikan oleh penggugat.

Cerita ini kemudian berakhir (pertimbangan hukum) ketika Walhi salah meminta pertanggungjawaban daripada para tergugat. Walhi diharapkan meminta pertanggungjawaban dari kementerian Pertanian. Sehingga kemudian PN Jakpus menyatakan menerima tangkisan daripada para tergugat sehingga gugatan kemudian dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Sehingga putusan PN Jakpus kemudian menyatakan gugatan kurang pihak dan gugatan Walhi tidak diterima. Dan Walhi kemudian diperintahkan untuk membayar perkara (besarnya nilai biaya perkara akan ditentukan lebih lanjut).

Pelajaran yang bisa ditarik.

Sebelum saya menguraikan lebih lanjut dengan persidangan gugatan Walhi tentang asap 2013, ada beberapa kesan yang menarik untuk disampaikan.
Pertama. Mempersoalkan Walhi sebagai legal standing organisasi lingkungan hidup tidak relevan dipersoalkan. Selain menyita energi, berbagai putusan (yurisprudensi) dapat dijadikan rujukan untuk membaca legal standing Walhi.

Kedua. Ada beberapa kelemahan didalam dalil gugatan yang diserang habis-habisan. Itu menjadi refleksi yang mendalam terutama bagi saya pribadi.

Ketiga. Diperlukan konsentrasi tinggi dan ketelitian yang mendalam untuk mempersoalkan gugatan di Pengadilan. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada tim Pengacara, saya berkesempatan untuk menyampaikan diperlukan banyak waktu untuk tim pengacara berdiskusi.

Berbagai pertemuan yang diadakan dianggap belum cukup sehingga kelemahan yang terjadi didalam gugatan, luput dari pengamatan.

Keempat. Saya memberikan apresiasi kepada Ketua Muhnur yang harus bolak-balik ke Jambi dan Riau untuk mengumpulkan data-data, informasi dan fakta untuk memperkuat gugatannya. Rasa hormat itulah yang membuat saya menganggap kelemahan gugatan juga merupakan tanggung jawab saya pribadi yang harus diperbaiki kedepan.

Kelima. Meminjam peribahasa “tidak ada gading yang tidak retak”. Gugatan yang disiapkan dengan waktu cukup lama, ternyata masih luput dari kesalahan. Ke depan, gugatan yang dipersiapkan harus didukung berbagai perangkat organisasi, sehingga kesalahan-kesalahan dapat kita minimalisir.

Terlepas dari berbagai kelemahan gugatan, saya tetap menganjurkan agar kita tetap mempersoalkan persoalan asap di Pengadilan. Saya tetap menawarkan agar kita tetap menggugat. Tidak perlu mengajukan keberatan (banding/appeal) namun menggugat melalui mekanisme biasa. Gugatan baru dengan perbaikan.