06 Oktober 2015

opini musri nauli : Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran tahun 2015 memasuki tahun kelam indeks mutu udara di 5 Provinsi. Selama dua bulan Provinsi Riau, Jambi, Sumsel, Kalteng dan Kalbar ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra satelit WALHI mencatat terdapat sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total 191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain akibat asap. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. 12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan. 4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang di Sumsel.

Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di Kalbar dan Sumsel terganggu. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.
Kebakaran terbesar dan terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare. Kemudian disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for Remote Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar.

Kebakaran dapat mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan negara serta polusi asap akan mengganggu hubungan regional dan internasional. Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan terbakar yang terdaftar di Singapura

Ditengah kebakaran sejak tahun 2010, hukum belum mampu menjangkau korporasi untuk diminta pertanggungjawaban (liability). Selain putusan PT. Kalista alam dan Putusan PT. Adei Plantation, hampir praktis korporasi belum bisa dimintakan pertanggungjawaban (liability).

Didalam melihat persolan kebakaran, berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari berbagai ketentuan yang berkaitan dengan UU Sumber daya alam. Penulis mencatat 18 UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang memberikan perlindungan terhadap hutan dan lahan.

Pasal 69 ayat (1) UU Lingkungan Hidup, Pasal 56 UU Perkebunan dan pasal 50 ayat (3) huruf d  UU Kehutanan  secara tegas mencantumkan “larangan membakar”. Namun didalam ketiga UU kemudian dimaknai dengna “perbuatan sengaja (dolus)” yang dilakukan oleh korporasi dan perorangan. Dalam sistem eropa continental kemudian harus dibuktikan hubungan sebab akibat (causalitet) dan hubungan antara kesalahan (schuld) dan pertanggungjawaban (liability). Asas ini kemudian dikenal dengan istilah “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea). Adanya hubungan antara kesalahan dengan pertanggungjawaban, maka tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability based on fault).

Sehingga kemudian membuktikan “perbuatan sengaja (kehendak jahat/mens rea)” menimbulkan kesulitan proses penegakkan hokum.

Absolute Liability

Dalam hukum kebakaran hutan dan lahan, mekanisme sistem pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental haruslah ditinggalkan. Merujuk pasal 48 ayat (3) UU Kehutanan dinyatakan “Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya”. Pasal 49 justru menegaskan “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal  kerjanya. Pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan kemudian memerintahkan kepada “pelaku usaha perkebunan” untuk menyiapkan sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. Ketentuan ini kemudian diatur lebih rinci di Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47 tahun 2014

Menilik pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 ayat (2) UU Perkebunan maka “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya. Makna ini kemudian dapat dilihat didalam pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001 maupun pasal 18 UU PP No. 45 tahun 2004 dan Permentan No. 47 tahun 2014

Dengan melihat makna “pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya”, maka pemilik izin kemudian tidak dapat melepaskan tanggungjawab terhadap kebakaran di arealnya. Asas ini kemudian dikenal asas absolute liability.

Absolute liability kemudian mengenyampingkan asas “tiada pemidanaan tanpa kesalahan (Geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi mens sir rea). Dengan demikian maka asas absolute liability kemudian dapat meminta pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan mengenyampingkan asas liability based on fault

Asas Absolute liability memberikan beban tanggungjawab lebih besar kepada pemilik izin daripada asas "strict liability". Strict liability dimungkinkan untuk melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).

Sedangkan terhadap absolute liabilty tidak dimungkinkan lepas dari pertanggungjawaban. Kecuali force mayour, the act of god dan bencana alam. Putusan PT. Kalistra Alam dan PT. Ade plantation jelas menyebutkan tanggungjawab korporasi. Putusan PT. Kalista Alam dapat dijadikan yurisprudensi karena telah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde).

Dengan menggunakan pasal 49 UU Kehutanan, pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP No. 4 Tahun 2001, PP No. 45 tahun 204 dan Permentan No. 47 tahun 2014 sebagai dasar penggunaan asas Absolute liability, maka korporasi kemudian bertanggungjawab terhadap kebakaran dan juga menyebabkan penurunan baku mutu emisi. Sehingga berdasarkan pasal 98 atau pasal 108 UU Lingkungan hidup, korporasi tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban. Baik terhadap ganti rugi maupun pemulihan terhadap lingkungan hidup.