Akhir-akhir
ini kita kemudian memasuki pertanyaan penting. Apakah Kebakaran merupakan
bencana atau tidak ?
Untuk
melihat konteks persoalan asap, penting kita mengetahui tentang kerusakan
lingkungan yang harus disandarkan kepada aturan tentang UU SDA. Dalam catatan
saya sudah ada 18 UU SDA yang tegas mengaturnya.
Saya
memulai pembicaraan tentang persoalan kerusakan lingkungan hidup terutama
kebakaran dilihat didalam norma pasal 49 UU Kehutanan, uu PPLH, PP No. 4 tahun
2001, PP No. 45 tahun 2004 dan UU Perkebunan. Semuanya tegas mengatur dengan
mencantumkan kalimat "“setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap
areal didalam izinnya”
Dengan
demikian, maka kemudian mendefinisikan sebagai absolute liability. Sebuah makna pertanggungjawaban lebih berat
daripada "strict liability".
Strict liability dimungkinkan untuk
melepaskan tanggung jawab dengan berbagai persayaratan. Misalnya dengan
pembagian resiko atau berbagai model melepaskan tanggungjwabnya (defende).
Sedangkan
terhadap absolute liabilty tidak
dimungkinkan lepas dari pertanggungjawaban. Kecuali force mayour, the act of god dan bencana alam. Putusan PT. Kalistra
Alam dan PT. Ade plantation jelas menyebutkan tanggungjawab perusahaan.
terlepas apakah kesengajaan ataupun kelalaian. Putusan PT. Kalista Alam dapat
dijadikan yurisprudensi karena telah mempunyai kekuatan hokum di tingkat
kasasi.
Pertanyaan
kuncinya adalah apakah kebakaran merupakan bencana alam ? Secara kasatmata kita
mudah mendefinisikan sebagai pernyataan tidak. mengapa karena yang dimaksudkan
dengan bencana alam, memang tidak ada andil manusia terhadap proses alam
tersebut. Atau dengan kata lain, tidak ada aktivitas manusia di areal tersebut.
itu memang kuasa illahi yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia.
Dengan
demikian, maka kebakaran merupakan pembuktian yang bisa digunakan dengan
pendekatan "absolute liability".
Dengan tidak terpenuhinya pelepasan tanggungjawab (defende), maka pemegang izin tidak dapat dilepaskan dari
tanggungjawab.
Saya
sengaja menguraikan pendapat ini agar kita tidak terjebak dengan desain canggih
dari perusahaan yang hendak melepaskan tanggungjwab. Upaya ini terus menerus
dimainkan perusahaan yang ditandai dengan pernyataan "tidak mungkin perusahaan membakar'. Lahan dibakar masyarakat. Kemudian
pembangunan kanalisasi dan
seterusnya. Karena kesemuanya tidak termakan oleh kita, maka mereka menggunakan
senjata pamungkasnya. Bencana.
Untuk
mendukung argumentasi yang telah saya sampaikan, didalam Pasal 79 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78 dilakukan oleh korporasi, selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 78.
Dengan menggunakan kalimat tersebut maka belum bisa ditarik apakah kebakaran
masuk ke bencana atau tidak.
Sedangkan
definisi Bencana nonalam
adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam
yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
Dengan
melihat kalimat Bencana nonalam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit, dapat dilihat secara gramatikal dan “letterlijk” atau makna
harfiah, bahwa terhadap kebakaran tidak termasuk kedalam bencana non alam.
Dengan
memperbandingkan asas “absolute liability”
dan makna “bencana non alam” maka
menjadi jelas, kebakaran tidak dapat dijadikan sebagai bencana non alam.
Bencana
mempunyai konsekwensi dan akibat hokum terhadap korporasi. Secara hokum,
perusahaan bisa dilepaskan tanggungjawab dari kebakaran. Didalam tanggungjawab
perdata, bencana alam merupakan salah satu yang menyebabkan perusahaan
dilepaskan dari tanggungjawab (defende).
Sehingga tema
bencana alam tidak tepat kita gunakan dalam persoalan kebakaran. Apabila kita
bisa membuktikan adanya aktivitas manusia di areal yang tidak lagi memenuhi
daya dukung dan daya tampung, maka kita menolak penggunan bencana alam. Saya menggunakan
istilah “corporate crime” sebagai
padanan kata lebih tegas daripada “bisnis
and human right”. Disinilah “maqom”
kita menjadi jelas dan terukur.
Dalam
hokum acara perdata, bencana alam telah menimbulkan masalah. Dalam kasus
Lapindo, tanggungjawab PT. Lapindo Brantas kemudian diambil alih oleh Negara (karena ditetapkan sebagai bencana.
Pengadilan kemudian mengamini). Sehingga APBN kemudian harus dikeluarkan
akibat dari perbuatan “Korporasi”. Saya khawatir, apabila kita tidak kawal “kebakaran” masuk kedalam jebakan batman
sebagai “bencana” dan harus ditolak,
pengadilan negeri akan mudah memutuskan gugatan yang sedang kita siapkan dengan
ukuran “Bencana”.
Maka
kemudian mengusulkan sebagai “siaga
nasional” setelah sebelumnya 5 propinsi kemudian menetapkan sebagai darurat daerah”. Ukuran ini diperlukan
agar Jokowi bisa mengeluarkan Inpres untuk menyelsaikan masalah kebakaran.