30 November 2015

opini musri nauli : MEMBACA ARAH COP 21


Dunia kemudian terbelah memandang COP 21 di Paris. Sebagian optimis dan berharap gagasan besar dari Negara-negara utama di Dunia memperhatikan perubahan iklim (Climate change) yang semakin panas. Sebagian justru memandang sinis dengan pelaksanaan COP 21 di Paris melihat perilaku berbagai Negara utama belum juga menunjukkan tanda-tanda berubah didalam memandang lingkungan.

Di tengah suasana ketidakpastian, konsep climate change mulai dipertanyakan. Indonesia yang menjadi sorotan dan berambisi menurunkan tingkat emisi dari 40% menjadi 26 % mulai memikirkan siasat dan cara mempertanggungjawabkan komitmen yang telah dibangun. Siasat dan cara mempertanggungjawabkan komitmen didasarkan kepada “kegagapan” Pemerintahan Jokowi yang baru saja dihajar kebakaran dan asap yang paling parah sejak tahun 1997.

Di tengah berbagai upaya yang dilakukan, komitmen Indonesia memandang arah climate change berbanding terbalik dengna kenyataan.

Dengan kebakaran tahun 2015, menghajar 80% wilayah di Sumatera dan Kalimantan, 40 juta terpapar asap, posisi Indonesia diperkirakan sulit untuk mengelak dari emisi karbon yang terbuang dari kebakaran tahun 2015. Dengan penghitungan sederhana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, emisi karbon yang telah dibuang di udara mencapai 600 juta ton, maka Indonesia dapat dianggap sebagai “biang kegagalan proyek perubahan iklim”.

Namun di tengah “kegagapan Pemerintah” menghadapi perubahan iklim, evaluasi terhadap pelaksanaan program sebelumnya seperti REDD sama sekali tidak pernah dilakukan evaluasi. Daerah-daerah yang menjadi tempat pelaksanaan REDD, areal yang dilindungi seperti gambut, izin konsensi semuanya terbakar. Api dan asap tahun 2015 justru terletak berada di areal “moratorium”, izin konsesi, gambut bahkan di areal-areal perusahaan besar di Indonesia. Titik api dan asap tidak bisa dibohongi dengan “acrobat” untuk menghilangkan tanggung jawab Negara yang gagal memberikan “hak lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Titik api 2015 justru berbanding terbalik dengan areal-areal yang justru dikelola oleh rakyat seperti Hutan Adat, Hutan Desa dan kawasan lain yang dianggap penting oleh rakyat. Tempat-tempat seperti Hutan Adat, Hutan Desa bahkan justru aman dari kebakaran. Sebagai contoh Hutan Desa di Jambi dan kawasan gambut yang dikelola di Sungai Tohor memberikan pelajaran penting bagaimana rakyat mampu mengelola kawasannya.

Di tengah “kegagapan Pemerintah” menghadapi sorotan dunia terhadap kebakaran dan belum dilakukan upaya penegakkan hokum terhadap pelaku kebakaran, inisiatif-inisiatif proyek perubahan iklim justru disuarakan oleh berbagai kelompok-kelompok konservasi dan korporasi.

Apabila proyek perubahan iklim yang ditandai dengan REDD yang terbukti gagal dan berhadapan dengan terbukti cara masyarakat melindungi kawasannya, usulan maupun inisiatif terus bermunculan. Belum selesai proses penegakkan hokum dan cenderung hanya menyeret pelaku lapangan dan belum menyentuh actor utama, inisiatif seperti Badan Restorasi Gambut “seakan-akan” mantra dan menutupi jejak kejahatan dalam kasus asap.

Dalam proses ini, kemudian delegasi resmi Indonesia “seakan-akan” koor dan mulai menutupi kegagalan proyek REDD dan pelaku kebakaran.

Namun bukannya melakukan refleksi terhadap kegagalan Negara melindungi negaranya, inisiatif-inisiatif dari berbagai kelompok konservasi dan korporasi terus mengupayakan perlindungan lanskap kawasan.

Model lanskap merupakan salah satu “siasat” yang terus disuarakan.

Model lanskap berangkat semata-mata melihat kawasan sebagai model untuk melakukan proyek perubahan iklim.

Inisiatif Badan Restorasi Gambut merupakan salah satu bentuk yang cukup banyak diminati dan terus dilakukan untuk dilaksanakan tahun 2016.

Yang menarik adalah kawasan gambut yang akan dilakukan pemulihan (restorasi) merupakan lahan-lahan yang terbakar.

Didalam UU Lingkungan Hidup, tanggungjawab pemulihan terhadap areal yang terbakar dibebankan kepada sang pollutan. Putusan PT. Rawa Tripa dan PT. Ade Plantation dapat dijadikan pegangan pelaksanaan UU Lingkungan Hidup (yurisprudensi).

Negara tidak mampu memaksa yang ditandai dengan masih sedikitnya proses hokum dari sang poluttan. Negara tidak menggunakan haknya untuk menggugat korporasi untuk melakukan restorasi (pemulihan) lahan gambut.

Bahkan Negara dengan “entengnya” membebankan tanggungjawab sang pollutan dengan menyiapkan program restorasi di lahan gambut.

Upaya Negara mempunyai konsekwensi serius dalam penegakkan hokum.

Negara kemudian telah mengajarkan kepada public yang tidak mampu meminta pertanggungjawaban kepada sang pollutan. Korporasi yang kemudian “dikesankan” dilindungi sehingga proses hukumnya menjadi tidak jelas.

Di saat posisi masyarakat yang mampu mengelola kawasan dan korporasi yang terbukti gagal menjaga kawasannya, menjadi ironi dan aneh apabila Pemerintahan Jokowi lebih banyak mendengarkan usulan dan inisiatif dari kelompok-kelompok konservasi dan mengabaikan seruan dan pelajaran dari masyarakat. Usulan dan inisiatif terus disuarakan kelompok-kelompok konservasi lingkungan yang mengabaikan pelajaran penting yang telah diberikan. Di saat itulah, maka negosiasi didalam COP 21 kurang memiliki makna bagi rakyat yang merasakan asap tahun 2015,

Posisi Walhi sudah jelas dalam tema “perubahan iklim”. Walhi yang menjadi anggota Friend of the earth (terdiri dari 74 negara) terus mendesak kepada Negara untuk meminta pertanggungjawaban dari korporasi yang menyebab kebakaran tahun 2015. Walhi terus mendesak kepada Negara dan tidak memberikan ruang kepada upaya korporasi yang terlibat kebakaran dan mengusulkan inisiatif “restorasi gambut”. Tanggungjawab restorasi gambut merupakan pelaku yang terlibat tahun 2015.

Walhi sendiri sudah mengambil bagian dari proses melihat perubahan iklim. Cara pandang Walhi haruslah berangkat dari pengetahuan masyarakat yang terbukti handal dan mampu melewati kebakaran tahun 2015.