Dunia
kemudian terbelah memandang COP 21 di Paris. Sebagian optimis dan berharap
gagasan besar dari Negara-negara utama di Dunia memperhatikan perubahan iklim
(Climate change) yang semakin panas. Sebagian justru memandang sinis dengan
pelaksanaan COP 21 di Paris melihat perilaku berbagai Negara utama belum juga
menunjukkan tanda-tanda berubah didalam memandang lingkungan.
Di
tengah suasana ketidakpastian, konsep climate change mulai dipertanyakan.
Indonesia yang menjadi sorotan dan berambisi menurunkan tingkat emisi dari 40%
menjadi 26 % mulai memikirkan siasat dan cara mempertanggungjawabkan komitmen
yang telah dibangun. Siasat dan cara mempertanggungjawabkan komitmen didasarkan
kepada “kegagapan” Pemerintahan Jokowi yang baru saja dihajar kebakaran dan
asap yang paling parah sejak tahun 1997.
Di
tengah berbagai upaya yang dilakukan, komitmen Indonesia memandang arah climate
change berbanding terbalik dengna kenyataan.
Dengan
kebakaran tahun 2015, menghajar 80% wilayah di Sumatera dan Kalimantan, 40 juta
terpapar asap, posisi Indonesia diperkirakan sulit untuk mengelak dari emisi
karbon yang terbuang dari kebakaran tahun 2015. Dengan penghitungan sederhana
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, emisi karbon yang telah dibuang di
udara mencapai 600 juta ton, maka Indonesia dapat dianggap sebagai “biang
kegagalan proyek perubahan iklim”.
Namun
di tengah “kegagapan Pemerintah” menghadapi perubahan iklim, evaluasi terhadap
pelaksanaan program sebelumnya seperti REDD sama sekali tidak pernah dilakukan
evaluasi. Daerah-daerah yang menjadi tempat pelaksanaan REDD, areal yang
dilindungi seperti gambut, izin konsensi semuanya terbakar. Api dan asap tahun
2015 justru terletak berada di areal “moratorium”, izin konsesi, gambut bahkan
di areal-areal perusahaan besar di Indonesia. Titik api dan asap tidak bisa
dibohongi dengan “acrobat” untuk menghilangkan tanggung jawab Negara yang gagal
memberikan “hak lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Titik
api 2015 justru berbanding terbalik dengan areal-areal yang justru dikelola
oleh rakyat seperti Hutan Adat, Hutan Desa dan kawasan lain yang dianggap
penting oleh rakyat. Tempat-tempat seperti Hutan Adat, Hutan Desa bahkan justru
aman dari kebakaran. Sebagai contoh Hutan Desa di Jambi dan kawasan gambut yang
dikelola di Sungai Tohor memberikan pelajaran penting bagaimana rakyat mampu
mengelola kawasannya.
Di
tengah “kegagapan Pemerintah” menghadapi sorotan dunia terhadap kebakaran dan
belum dilakukan upaya penegakkan hokum terhadap pelaku kebakaran,
inisiatif-inisiatif proyek perubahan iklim justru disuarakan oleh berbagai
kelompok-kelompok konservasi dan korporasi.
Apabila
proyek perubahan iklim yang ditandai dengan REDD yang terbukti gagal dan
berhadapan dengan terbukti cara masyarakat melindungi kawasannya, usulan maupun
inisiatif terus bermunculan. Belum selesai proses penegakkan hokum dan
cenderung hanya menyeret pelaku lapangan dan belum menyentuh actor utama,
inisiatif seperti Badan Restorasi Gambut “seakan-akan” mantra dan menutupi
jejak kejahatan dalam kasus asap.
Dalam
proses ini, kemudian delegasi resmi Indonesia “seakan-akan” koor dan mulai
menutupi kegagalan proyek REDD dan pelaku kebakaran.
Namun
bukannya melakukan refleksi terhadap kegagalan Negara melindungi negaranya,
inisiatif-inisiatif dari berbagai kelompok konservasi dan korporasi terus
mengupayakan perlindungan lanskap kawasan.
Model
lanskap merupakan salah satu “siasat” yang terus disuarakan.
Model
lanskap berangkat semata-mata melihat kawasan sebagai model untuk melakukan
proyek perubahan iklim.
Inisiatif
Badan Restorasi Gambut merupakan salah satu bentuk yang cukup banyak diminati
dan terus dilakukan untuk dilaksanakan tahun 2016.
Yang
menarik adalah kawasan gambut yang akan dilakukan pemulihan (restorasi)
merupakan lahan-lahan yang terbakar.
Didalam
UU Lingkungan Hidup, tanggungjawab pemulihan terhadap areal yang terbakar
dibebankan kepada sang pollutan. Putusan PT. Rawa Tripa dan PT. Ade Plantation
dapat dijadikan pegangan pelaksanaan UU Lingkungan Hidup (yurisprudensi).
Negara
tidak mampu memaksa yang ditandai dengan masih sedikitnya proses hokum dari
sang poluttan. Negara tidak menggunakan haknya untuk menggugat korporasi untuk
melakukan restorasi (pemulihan) lahan gambut.
Bahkan
Negara dengan “entengnya” membebankan tanggungjawab sang pollutan dengan
menyiapkan program restorasi di lahan gambut.
Upaya
Negara mempunyai konsekwensi serius dalam penegakkan hokum.
Negara
kemudian telah mengajarkan kepada public yang tidak mampu meminta
pertanggungjawaban kepada sang pollutan. Korporasi yang kemudian “dikesankan”
dilindungi sehingga proses hukumnya menjadi tidak jelas.
Di
saat posisi masyarakat yang mampu mengelola kawasan dan korporasi yang terbukti
gagal menjaga kawasannya, menjadi ironi dan aneh apabila Pemerintahan Jokowi
lebih banyak mendengarkan usulan dan inisiatif dari kelompok-kelompok
konservasi dan mengabaikan seruan dan pelajaran dari masyarakat. Usulan dan
inisiatif terus disuarakan kelompok-kelompok konservasi lingkungan yang
mengabaikan pelajaran penting yang telah diberikan. Di saat itulah, maka
negosiasi didalam COP 21 kurang memiliki makna bagi rakyat yang merasakan asap
tahun 2015,
Posisi
Walhi sudah jelas dalam tema “perubahan iklim”. Walhi yang menjadi anggota
Friend of the earth (terdiri dari 74 negara) terus mendesak kepada Negara untuk
meminta pertanggungjawaban dari korporasi yang menyebab kebakaran tahun 2015.
Walhi terus mendesak kepada Negara dan tidak memberikan ruang kepada upaya
korporasi yang terlibat kebakaran dan mengusulkan inisiatif “restorasi gambut”.
Tanggungjawab restorasi gambut merupakan pelaku yang terlibat tahun 2015.
Walhi
sendiri sudah mengambil bagian dari proses melihat perubahan iklim. Cara
pandang Walhi haruslah berangkat dari pengetahuan masyarakat yang terbukti
handal dan mampu melewati kebakaran tahun 2015.