Konsentrasi
dunia dicurahkan ke Paris dalam Pertemuan COP Global Perubahan Iklim (Union Nation Framework Convention on Climate
change/UNFCCC). Pertemuan dianggap penting setelah berbagai inisiatif untuk
menghadang perubahan iklim belum banyak memberikan perbaikan.
Persoalan
ketahanan pangan, Penggunaan batubara, kebakaran di berbagai dunia, masih
kurangnya penggunaan energy alternative (renewable energy) membuat dunia harus
berfikir ulang untuk melihat bumi yang semakin panas.
Tema
kebakaran tahun 2015 menjadi perhatian berbagai kalangan internasional. Dunia
menyoroti kebakaran tahun 2015 dikaitkan dengan agenda perubahan iklim (climate change) yang memasuki paruh
waktu terakhir setelah komitmen berbagai dunia mulai dipersoalkan.
Amerika
Serikat dan Republik Rakyat Tionghoa menjadi titik perhatian dunia setelah
kedua Negara sebagai penyumbang emisi belum mampu menurunkan tingkat pemakaian
fosil dalam energy terbarukan (renewable
energy). Sementara Indonesia menjadi perhatian penting setelah “Kegagapan” menghadapi kebakaran yang
meluluhlantakan Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.
Tema
kekabakaran merupakan salah satu tema penting pandangan dunia tentang
Indonesia. Dengan tema, Indonesia kemudian memberangkatkan delegasi yang cukup
besar . Pemerintah Indonesia berkepentingan untuk menjelaskan kepada dunia
tentang upaya Indonesia untuk menanggulangi kebakaran.
Namun
yang menjadi perhatian dari Walhi bukan melihat upaya Pemerintahan Jokowi
menghadapi kekabakaran. Tapi “kegagapan”
Negara menghadapi kekabakaran dan lemahnya penegakkan hokum terhadap korporasi
yang sudah terbukti lahannya terbakar.
Dalam
catatan Walhi Jambi, 80 % kebakaran terletak di areal konsensi perusahaan
terutama sawit dan HTI. 80% titik api kemudian menggelapkan langit di Jambi
selama 3 bulan lebih.
Belum
usai penegakkan hokum, upaya sistematis dari korporasi terus dilakukan untuk
menghindarkan dari tanggung jawab dalam kekabakaran hutan.
Konsentrasi
untuk melepaskan tanggungjawab korporasi kemudian dikaitkan dengan pasal 69 UU
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
Lingkungan Hidup).
Pasal 69 ayat (1) huruf h
“Setiap orang dilarang “melakukan pembukaan
lahan dengan cara membakar” . Sedangkan ketentuan pasal 69 ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing-
masing.
Desain canggih sedang
dimainkan baik melalui pernyataan perusahaan besar maupun “penggiringan pertanyaan wartawan” untuk menyalahkan masyarakat yang
membakar hutan.
Dengan
“menyalahkan” pasal 69 UU Lingkungan
Hidup, tiba-tiba dunia “disetting”
untuk menyalahkan konstitusi Indonesia yang memberikan toleransi melakukan
pembakaran.
Tema
ini menjadi perhatian dunia yang dimulai dari berbagai pertanyaan dari berbagai
kalangan seperti jurnalis asing seperti Al Jazeera, DW TV, Asian Channel hingga
berbagai pertanyaan media nasional.
Padahal
tentu saja terlalu sederhana kemudian melihat pasal 69 UU Lingkungan Hidup
sebagai penyebab kebakaran tahun 2015.
Hasil
analisis berbagai lembaga Negara seperti LAPAN, BMKG, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan maupun lembaga-lembaga lain seperti data satelit NOAA
maupun NASA dengan jelas menunjukkan titik api berasal dari konsensi
perusahaan.
Hipotesis
yang menarik adalah kebakaran memang terjadi di lahan gambut. Dalam kajian
lanskap sebagai ekosistem gambut, Pantai Timur Sumatera yang terdapat gambut
yang memanjang di pesisir Sumatera seperti Propinsi Riau, Propinsi Jambi maupun
Propinsi Sumatera Selatan mengalami kebakaran yang hebat. Bahkan Pemerintah
sendiri kewalahan untuk memadamkan api.
Hipotesis
ini dengan gambang “dipelintir dengan
menuduh masyarakat” sebagai biang kebakaran. Hipotesis ini selain
bertentangan dengan kenyataan juga menyakiti masyarakat yang terbukti arif
mengelola gambut. Masyarakat yang telah panjang mengatur sirkulasi gambut
dengan seenaknya kemudian dituduh oleh berbagai kalangan.
Tema
ini yang paling menarik perhatian dunia ketika Indonesia yang berjanji akan
menurunkan emisi dari 46% menjadi 26%. Berbagai proyek dunia yang mendukung
ambisi Indonesia kemudian menghadapi kenyataan. Daerah yang menjadi areal untuk
proyek perubahan iklim kemudian malah terbakar dan gagal menjadi contoh.
Kenyataan
ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang mengelola gambut dan mengelola
hutan. Tanpa dukungan proyek dari Negara, kawasan kelola rakyat seperti Hutan
Desa, Hutan adat malah relative aman dari kebakaran.
Hipotesis
kebakaran tahun 2015 telah memberikan pemahanan kepada dunia. Indonesia gagal
memenuhi ambisinya untuk menurunkan emis dari yang dijanjikan. Namun rakyat
tanpa banyak berbicara ternyata relative mampu memberikan pelajaran kepada
dunia. Bagaimana rakyat mengelola hutan dan gambut dan terbukti mampu dari
kebakaran.
Tema
itulah yang kemudian penting untuk pelajaran kedepan. Di tangan rakyatlah, kita
belajar memandang lingkungan hidup dan mengelola hutan.
Sehingga
tidak salah kemudian, kabar dari daerah akan mempengaruhi opini dunia tentang
perubahan iklim (climate change). Dan dari Indonesia kabar itu didapatkan dari
kampong-kampung yang justru tidak mengenal istilah “perubahan iklim”. Apalagi
kata “climate change”.
Baca : sesat pikir tentang asap dan Tafsir Sesat Karhutla