28 November 2015

opini musri nauli : KEBAKARAN DALAM PEMBICARAAN INTERNASIONAL


Konsentrasi dunia dicurahkan ke Paris dalam Pertemuan COP Global Perubahan Iklim (Union Nation Framework Convention on Climate change/UNFCCC). Pertemuan dianggap penting setelah berbagai inisiatif untuk menghadang perubahan iklim belum banyak memberikan perbaikan.

Persoalan ketahanan pangan, Penggunaan batubara, kebakaran di berbagai dunia, masih kurangnya penggunaan energy alternative (renewable energy) membuat dunia harus berfikir ulang untuk melihat bumi yang semakin panas.
Tema kebakaran tahun 2015 menjadi perhatian berbagai kalangan internasional. Dunia menyoroti kebakaran tahun 2015 dikaitkan dengan agenda perubahan iklim (climate change) yang memasuki paruh waktu terakhir setelah komitmen berbagai dunia mulai dipersoalkan.

Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tionghoa menjadi titik perhatian dunia setelah kedua Negara sebagai penyumbang emisi belum mampu menurunkan tingkat pemakaian fosil dalam energy terbarukan (renewable energy). Sementara Indonesia menjadi perhatian penting setelah “Kegagapan” menghadapi kebakaran yang meluluhlantakan Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Tema kekabakaran merupakan salah satu tema penting pandangan dunia tentang Indonesia. Dengan tema, Indonesia kemudian memberangkatkan delegasi yang cukup besar . Pemerintah Indonesia berkepentingan untuk menjelaskan kepada dunia tentang upaya Indonesia untuk menanggulangi kebakaran.

Namun yang menjadi perhatian dari Walhi bukan melihat upaya Pemerintahan Jokowi menghadapi kekabakaran. Tapi “kegagapan” Negara menghadapi kekabakaran dan lemahnya penegakkan hokum terhadap korporasi yang sudah terbukti lahannya terbakar.

Dalam catatan Walhi Jambi, 80 % kebakaran terletak di areal konsensi perusahaan terutama sawit dan HTI. 80% titik api kemudian menggelapkan langit di Jambi selama 3 bulan lebih.

Belum usai penegakkan hokum, upaya sistematis dari korporasi terus dilakukan untuk menghindarkan dari tanggung jawab dalam kekabakaran hutan.

Konsentrasi untuk melepaskan tanggungjawab korporasi kemudian dikaitkan dengan pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup).

Pasal 69 ayat (1) huruf h “Setiap orang dilarang “melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar” . Sedangkan ketentuan pasal 69 ayat (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing.

Desain canggih sedang dimainkan baik melalui pernyataan perusahaan besar maupun “penggiringan pertanyaan wartawan” untuk menyalahkan masyarakat yang membakar hutan.

Dengan “menyalahkan” pasal 69 UU Lingkungan Hidup, tiba-tiba dunia “disetting” untuk menyalahkan konstitusi Indonesia yang memberikan toleransi melakukan pembakaran.

Tema ini menjadi perhatian dunia yang dimulai dari berbagai pertanyaan dari berbagai kalangan seperti jurnalis asing seperti Al Jazeera, DW TV, Asian Channel hingga berbagai pertanyaan media nasional.

Padahal tentu saja terlalu sederhana kemudian melihat pasal 69 UU Lingkungan Hidup sebagai penyebab kebakaran tahun 2015.

Hasil analisis berbagai lembaga Negara seperti LAPAN, BMKG, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun lembaga-lembaga lain seperti data satelit NOAA maupun NASA dengan jelas menunjukkan titik api berasal dari konsensi perusahaan.

Hipotesis yang menarik adalah kebakaran memang terjadi di lahan gambut. Dalam kajian lanskap sebagai ekosistem gambut, Pantai Timur Sumatera yang terdapat gambut yang memanjang di pesisir Sumatera seperti Propinsi Riau, Propinsi Jambi maupun Propinsi Sumatera Selatan mengalami kebakaran yang hebat. Bahkan Pemerintah sendiri kewalahan untuk memadamkan api.

Hipotesis ini dengan gambang “dipelintir dengan menuduh masyarakat” sebagai biang kebakaran. Hipotesis ini selain bertentangan dengan kenyataan juga menyakiti masyarakat yang terbukti arif mengelola gambut. Masyarakat yang telah panjang mengatur sirkulasi gambut dengan seenaknya kemudian dituduh oleh berbagai kalangan.

Tema ini yang paling menarik perhatian dunia ketika Indonesia yang berjanji akan menurunkan emisi dari 46% menjadi 26%. Berbagai proyek dunia yang mendukung ambisi Indonesia kemudian menghadapi kenyataan. Daerah yang menjadi areal untuk proyek perubahan iklim kemudian malah terbakar dan gagal menjadi contoh.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang mengelola gambut dan mengelola hutan. Tanpa dukungan proyek dari Negara, kawasan kelola rakyat seperti Hutan Desa, Hutan adat malah relative aman dari kebakaran.

Hipotesis kebakaran tahun 2015 telah memberikan pemahanan kepada dunia. Indonesia gagal memenuhi ambisinya untuk menurunkan emis dari yang dijanjikan. Namun rakyat tanpa banyak berbicara ternyata relative mampu memberikan pelajaran kepada dunia. Bagaimana rakyat mengelola hutan dan gambut dan terbukti mampu dari kebakaran.

Tema itulah yang kemudian penting untuk pelajaran kedepan. Di tangan rakyatlah, kita belajar memandang lingkungan hidup dan mengelola hutan.

Sehingga tidak salah kemudian, kabar dari daerah akan mempengaruhi opini dunia tentang perubahan iklim (climate change). Dan dari Indonesia kabar itu didapatkan dari kampong-kampung yang justru tidak mengenal istilah “perubahan iklim”. Apalagi kata “climate change”.