Akhir-akhir
ini, dunia politik internasional diarahkan di Turki. Kudeta yang gagal kemudian
memantik diskusi panjang tentang Presiden Recep
Tayyip Erdogan. Namun mari kita tinggalkan cerita tentang “kudeta gagal” di
Turki.
Hubungan Jambi dengan Turki merupakan
hubungan politik, hubungan ekonomi dan hubungan kebudayaan yang panjang. Cerita
local baik di ornament makam Datuk Paduka berhala maupun cerita tentang Anak
Datuk Paduka Berhala yaitu Orang Kayu Hitam masih kuat didalam ingatan kolektif
masyarakat di Jambi daerah hilir.
Makam Datuk Paduka Berhala (kemudian disebut
Pulau Berhala) masih menjadi identitas yang kuat kekuasaan kerajaan Jambi di
Pulau Berhala. Di seberang pulau berhala terdapat Makam Orang kayu Hitam dan
Orang Kayu Pingai (keturunan Datuk Paduka Berhala) yang terletak di Marga
Dendang berdekatan dengan Margo Jebus (Kumpeh Ilir, Muara Jambi).
Dalam buku S. Budhisantoso disebutkan,[1],
salah seorang Putri yang berasal dari Pagaruyung yaitu Putri Selaras Pinang
Masak kemudian diangkat oleh rakyat Jambi sebagai raja yang berkedudukan di
Tanjung Jabung.
Sementara itu, kebesaran Kerajaan Turki memiliki tiga orang anak. Salah
satu anaknya, Ahmad Barus II kemudian berlayar dan terdampar di Pulau Berhala.
Rakyat Jambi kemudian mengenalnya sebagai Datuk Paduka Berhala.
Namun dari versi yang lain ada yang menyebutkan “Dikisahkan
Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat berhala. Dia mendirikan
pemerintahan baru dan bergelar Datuk Paduko Berhalo. Namun masyarakat lebih meyakini Datuk Paduka Berhala sebagai
keturunan dari Turki.
Kedatangan Datuk Paduko Berhala diperkirakan tahun 1480[2]. Datuk
Paduka Berhala kemudian menikah dengan Putri Selaras Pinang Masak.
Wilayah Kerajaan ini memanjang
dari Ujung Jabung hingga ke Muara Tembesi. Sumber lain menyebutkan Kerajaan
Jambi berakhir abad 17-an.
Cerita Kerajaan Jambi dengan Turki kemudian dilanjutkan dengan keturunan
Datuk Paduko Berhala.
Didalam Buku Sejarah Nasional Indonesia III –
Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia” disebutkan
keturunan Datuk Paduko Berhalo kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Orang Kayo
Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang Kayo Gemuk.
Sedangkan didalam “Undang-undang, Piagam dan
Kisah Negeri Jambi” dijelaskan, Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua.
Sedangkan adiknya bernama Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo
Gemrik (perempuan). Namun M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal
budaya daerah Jambi justru menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu
dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak).
Perkembangan Islam di Jambi sangat terbantu seiring dengan proses
berdirinya Kesultanan Jambi yang dimulai sejak di akhir abad ke-15[3].
J. Tideman didalam bukunya “Djambi”
tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische
vorsten Geslach”, menerangkan pada Masa Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan besar dengan
Kerajaan Johor. Peperangan ini kemudian mengakibatkan Belanda terlibat. Didalam
perjanjian “Corpus diplomatic Nederlandsch Indicum Derde Deel (1676-1691),
Belanda memaksa Kerajaan Jambi agar Belanda monopoli pembelian lada dan memaksa
penjualan kain dan opium.
Rakyat Jambi kemudian menolak monopoli
pembelian lada melalui Belanda. Perlawanan dilakukan dengan menyerang kantor
dagang Belanda dan terbunuhnya Kepala dagang VOC, Sybrandt Swart. Sultan Sri
Ingalogo kemudian ditangkap kemudian diasingkan ke Batavia dan dibuang ke Pulau
Banda. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai perlawanan rakyat Jambi di Muara
Kumpeh.
Pengganti Sultan Sri Ingalogo adalah Pangeran
Dipati Cakradiningrat bergelar Sultan Kyai Gede. Mereka kemudian menyingkir ke
Tebo dengan membawa keris Siginjai[4].
Perlawanan Kesultanan Jambi terhadap Belanda
dan hubungan politik dengan Kesultanan Jambi dengan Turki kemudian dilanjutkan
dibawah kepemimpinan Sultan Thaha.
Sikap Sultan Thaha mendorong Belanda untuk melakukan ekspansi militer
pada 1857 dan berhasil mengusir sultan dari istananya. Dari tempat
pengasingannya di daerah pedalaman Jambi (1857), Sultan Thaha coba mencari
bantuan militer kepada Turki[5].
Sultan Thaha menyurati Sultan Turki, melalui Singapore, untuk memperoleh
cap yang menyatakan bahwa Jambi merupakan bahagian dari wilayah vassal state
Turki, agar Belanda tidak berbuat sewenang-wenang. Sultan Thaha mempercayakan
kepada salah seorang putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk membawa surat ke
Turki. Akan tetapi sesampainya di Singapure, surat tersebut diserahkan kepada
seorang pembesar dari keturunan Arab untuk dibawa ke Istambul Turki dengan
memberi imbalan sebesar 30.000 dollar Spanyol.
Namun kedudukan Sultan Thaha semakin dikepung. Bahkan semakin sempit
ketika Pasukan
Belanda dari Palembang langsung mendirikan benteng di Muara Tembesi tanggal 21
Maret 1901[6].
Turki kemudian pernah memberikan bantuan dan tidak pernah sampai ke
Sultan Thaha hingga Sultan Thaha kemudian dinyatakan gugur tahun 1904.
Nama Sultan Thaha kemudian diabadikan di bandara di Jambi.
Baca : Datuk Paduko Berhalo
[1] S. Budhisantoso (dkk.), ”Kajian dan Analisa
Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi,” Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara Depdiknas (Kemendiknas), 1991/1992, hlm. 4.
[2] Di dalam naskah, sebenarnya, tidak terdapat
penyebutan tahun. Data tersebut adalah rekaan dari J. Tideman dan P. L. F
Sigar, Djambi, (Amsterdam: Kolonial Instituut, 1938).
[3] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan
Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme
Belanda, penerj. Noor Cholis dari Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi
and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907 (Jakarta: KITLV, 2008), hlm. 36
[4] Ali Muzakir dkk., “Sejarah Kesultanan Jambi dalam
Konteks Nusantara,” Laporan Penelitian Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Teknis Keagamaan, Balibang Departemen Agama RI, 2010.
[5] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial:
Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907), Op. Cit. hlm.135
[6] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936