19 Juli 2016

opini musri nauli : Turki dan Jambi


Akhir-akhir ini, dunia politik internasional diarahkan di Turki. Kudeta yang gagal kemudian memantik diskusi panjang tentang Presiden Recep Tayyip Erdogan. Namun mari kita tinggalkan cerita tentang “kudeta gagal” di Turki.

Hubungan Jambi dengan Turki merupakan hubungan politik, hubungan ekonomi dan hubungan kebudayaan yang panjang. Cerita local baik di ornament makam Datuk Paduka berhala maupun cerita tentang Anak Datuk Paduka Berhala yaitu Orang Kayu Hitam masih kuat didalam ingatan kolektif masyarakat di Jambi daerah hilir.

Makam Datuk Paduka Berhala (kemudian disebut Pulau Berhala) masih menjadi identitas yang kuat kekuasaan kerajaan Jambi di Pulau Berhala. Di seberang pulau berhala terdapat Makam Orang kayu Hitam dan Orang Kayu Pingai (keturunan Datuk Paduka Berhala) yang terletak di Marga Dendang berdekatan dengan Margo Jebus (Kumpeh Ilir, Muara Jambi).

Dalam buku S. Budhisantoso disebutkan,[1], salah seorang Putri yang berasal dari Pagaruyung yaitu Putri Selaras Pinang Masak kemudian diangkat oleh rakyat Jambi sebagai raja yang berkedudukan di Tanjung Jabung.
Sementara itu, kebesaran Kerajaan Turki memiliki tiga orang anak. Salah satu anaknya, Ahmad Barus II kemudian berlayar dan terdampar di Pulau Berhala. Rakyat Jambi kemudian mengenalnya sebagai Datuk Paduka Berhala.
Namun dari versi yang lain ada yang menyebutkan “Dikisahkan Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat berhala. Dia mendirikan pemerintahan baru dan bergelar Datuk Paduko Berhalo. Namun masyarakat lebih meyakini Datuk Paduka Berhala sebagai keturunan dari Turki.
Kedatangan Datuk Paduko Berhala diperkirakan tahun 1480[2]. Datuk Paduka Berhala kemudian menikah dengan Putri Selaras Pinang Masak.
Wilayah Kerajaan ini memanjang dari Ujung Jabung hingga ke Muara Tembesi. Sumber lain menyebutkan Kerajaan Jambi berakhir abad 17-an.
Cerita Kerajaan Jambi dengan Turki kemudian dilanjutkan dengan keturunan Datuk Paduko Berhala.
Didalam Buku Sejarah Nasional Indonesia III – Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia” disebutkan keturunan Datuk Paduko Berhalo kemudian melahirkan Orang Kayo Hitam, Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang Kayo Gemuk.
Sedangkan didalam “Undang-undang, Piagam dan Kisah Negeri Jambi” dijelaskan, Orang Kayo Pingai merupakan anak tertua. Sedangkan adiknya bernama Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemrik (perempuan). Namun M. Nasir Didalam bukunya Keris Siginjei Mengenal budaya daerah Jambi justru menyebutkan Orang Kayo Hitam adalah anak bungsu dari Datuk Paduko Berhalo dan Putri Pinang Masak (Putri Selaras Pinang Masak).
Perkembangan Islam di Jambi sangat terbantu seiring dengan proses berdirinya Kesultanan Jambi yang dimulai sejak di akhir abad ke-15[3].
J. Tideman didalam bukunya “Djambi” tahun 1938 didasarkan M. M Menes didalam catatan “Stamboom van he Djambische vorsten Geslach”, menerangkan pada Masa Sultan Sri Ingalogo (1665-1690) terjadi peperangan besar dengan Kerajaan Johor. Peperangan ini kemudian mengakibatkan Belanda terlibat. Didalam perjanjian “Corpus diplomatic Nederlandsch Indicum Derde Deel (1676-1691), Belanda memaksa Kerajaan Jambi agar Belanda monopoli pembelian lada dan memaksa penjualan kain dan opium.

Rakyat Jambi kemudian menolak monopoli pembelian lada melalui Belanda. Perlawanan dilakukan dengan menyerang kantor dagang Belanda dan terbunuhnya Kepala dagang VOC, Sybrandt Swart. Sultan Sri Ingalogo kemudian ditangkap kemudian diasingkan ke Batavia dan dibuang ke Pulau Banda. Peristiwa ini lebih dikenal sebagai perlawanan rakyat Jambi di Muara Kumpeh.

Pengganti Sultan Sri Ingalogo adalah Pangeran Dipati Cakradiningrat bergelar Sultan Kyai Gede. Mereka kemudian menyingkir ke Tebo dengan membawa keris Siginjai[4].

Perlawanan Kesultanan Jambi terhadap Belanda dan hubungan politik dengan Kesultanan Jambi dengan Turki kemudian dilanjutkan dibawah kepemimpinan Sultan Thaha.

Sikap Sultan Thaha mendorong Belanda untuk melakukan ekspansi militer pada 1857 dan berhasil mengusir sultan dari istananya. Dari tempat pengasingannya di daerah pedalaman Jambi (1857), Sultan Thaha coba mencari bantuan militer kepada Turki[5].
Sultan Thaha menyurati Sultan Turki, melalui Singapore, untuk memperoleh cap yang menyatakan bahwa Jambi merupakan bahagian dari wilayah vassal state Turki, agar Belanda tidak berbuat sewenang-wenang. Sultan Thaha mempercayakan kepada salah seorang putra mahkota (Pangeran Ratu) untuk membawa surat ke Turki. Akan tetapi sesampainya di Singapure, surat tersebut diserahkan kepada seorang pembesar dari keturunan Arab untuk dibawa ke Istambul Turki dengan memberi imbalan sebesar 30.000 dollar Spanyol.
Namun kedudukan Sultan Thaha semakin dikepung. Bahkan semakin sempit ketika Pasukan Belanda dari Palembang langsung mendirikan benteng di Muara Tembesi tanggal 21 Maret 1901[6].
Turki kemudian pernah memberikan bantuan dan tidak pernah sampai ke Sultan Thaha hingga Sultan Thaha kemudian dinyatakan gugur tahun 1904.
Nama Sultan Thaha kemudian diabadikan di bandara di Jambi. 


[1] S. Budhisantoso (dkk.), ”Kajian dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi,” Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Depdiknas (Kemendiknas), 1991/1992, hlm. 4.
[2] Di dalam naskah, sebenarnya, tidak terdapat penyebutan tahun. Data tersebut adalah rekaan dari J. Tideman dan P. L. F Sigar, Djambi, (Amsterdam: Kolonial Instituut, 1938).

[3] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, penerj. Noor Cholis dari Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907 (Jakarta: KITLV, 2008), hlm. 36
[4] Ali Muzakir dkk., “Sejarah Kesultanan Jambi dalam Konteks Nusantara,” Laporan Penelitian Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis Keagamaan, Balibang Departemen Agama RI, 2010.

[5] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907), Op. Cit. hlm.135
[6] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936