18 Juli 2016

opini musri nauli : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA VAKSIN PALSU



Jagat belantara dunia kesehatan memasuki dunia kelam. Beredarnya “vaksin palsu” memantik keresahan public yang telah “mempercayakan” kesehatan di badan-badan kesehatan. Orang tua yang telah mempercayakan kepada lembaga-lembaga kesehatan untuk “memvaksinkan” anaknya kemudian resah dan khawatir terhadap kekebalan yang akan diderita anaknya.

Saya sengaja menggunakan istilah “vaksin palsu” sebagai terjemahan “vaksin” yang tidak memenuhi standar kesehatan. Didalam pasal 196 UU Kesehatan disebutkan sebagai “persediaan farmasi/alat kesehatan yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu”.

Dalam lapangan hukum, maka persoalan mulai timbul. Siapa yang harus dimintakan pertanggungjawaban ?

Sebelum membicarakan mekanisme meminta pertanggungjawaban di lapangan hukum pidana, saya akan mencoba melihat dari sudut pandang tindak pidana kesehatan, tindak pidana umum dan mekanisme pertanggungjawaban. Dari ranah ini, maka kita bisa meminta pertanggungjawaban dan dapat dilihat bagaimana peran dari masing-masing actor (dader) dalam hukum pidana.

Untuk menentukan bagaimana peran dan tanggungjawab pidana masing-masing pelaku (dader), maka kita harus bisa memetakan bagaimana pola rangkaian terjadinya tindak pidana.

Dari ranah inilah, maka kita bisa menjangkau tanggungjawab hukum baik dilihat dari kesengajaan (dolus) maupun “kelalaian (culva)” dari masing-masing rangkaian.

Melihat pola yang terjadi di berbagai tempat dan dan berbagai daerah, maka bisa disimpulkan, rangkaian “pemainnya” cukup canggih dan terpola merata.

Sebelum menentukan pertanggungjawaban pidana, maka secara hukum haruslah dibuktikan apakah “Vaksin palsu” ternyata tidak sesuai dengan ketentuan kesehatan. Sehingga persediaan farmasi memang yang tidak memenuhi standar, khasiat/kemanfaatan dan mutu” bisa dibuktikan secara ilmiah.

Hasil analisis dari segi kesehatan haruslah membuktikan sebelum melihat pertanggungjawaban.

Dari hasil analisis kesehatan, maka terhadap “pengguna” seperti RS maupun bidan/klinik ditentukan. Apakah karena membeli dengan harga yang dibawah standar ataupun menerima “Sesuatu” seperti bonus terhadap pemasaran vaksin palsu sehingga terhadap pelaku kemudian dapat dikualifikasikan sebagai “pelaku”.


Dalam berbagai pemberitaan, daerah-daerah yang sudah “diindikasikan” menerima vaksin palsu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Melihat polanya yang sudah lama, maka secara politik, dapat diminta pertanggungjawaban kepada lembaga kesehatan di Indonesia. Menteri Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban mengapa persoalan “begitu penting” menjadi teledor dan luput dari pengawasan.

Sedangkan Dinas Kesehatan dapat diminta pertanggungjawaban terhadap 14 rumah sakit dan 8 bidan/klinik di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.  

Selain itu, maka harus juga dilihat rangkaian panjang, mengapa 14 RS dan 8 bidan/klinik telah menerima “vaksin palsu”.

Didalam pasal 196 UU Kesehatan disebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Melihat pasal 196 UU Kesehatan, maka terhadap Pimpinan RS ataupun pimpinan bidan/klinik yang telah menerima vaksin palsu “harus dimintakan pertanggungjawaban” mengapa menerima “vaksin palsu”. Pimpinan RS ataupun pimpinan bidan/klinik adalah orang dianggap sebagai dader (pelaku utama) dalam “mengedarkan” vaksin palsu.

Bahkan pimpinan RS swasta dan pimpinan bidan/klinik harus dimintakan pertanggungjawaban korporasi sebagaimana diatur didalam 201 UU Kesehatan. Selain ancaman pidana diperberat juga pertanggungjawaban korporasi juga dimintakan sanksi denda. Bahkan RS Swasta dan pimpinan bidan/klinik dapat dilakukan Pencabutan izin usaha; dan/atau Pencabutan status badan hukum

Dengan melihat rangkaian, maka seluruh pimpinan 14 RS dan 8 pimpinan bidan/klinik dapat dikualifikasikan sebagai “dader” atau pelaku utama dan dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Tinggal di tingkat penyidikan, maka ditentukan apakah rangkaian yang dilakukan merupakan “kesalahan (dolus) ataupun semata-mata karena kelalaian (culva) sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kesehatan didalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi IX DPR tanggal 14 Juli 2016.

Selain Pimpinan RS dan pimpinan Bidan/klinik, maka terhadap “orang yang menyediakan” baik yang memproduksi, mengedarkan yang tidak memiliki izin edar” juga diminta pertanggungjawaban. Pasal 197 UU Kesehatan telah menyebutkan “setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Sedangkan pasal 198 UU Kesehatan menyebutkan “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dari ranah, ini penyidik akan mudah dan dapat menetapkan para “pengedar, produsen” sebagai pelaku utama (dader).

Penegakkan hukum terhadap pelaku dalam kasus “vaksin palsu” harus tegas. Selain “memberikan hukuman terhadap orang yang bertanggungjawab” juga memberikan “kepastian kepada masyarakat” yang menjadi korban dari “salah urus” di bidang kesehatan.