Buyar
sudah bacaan tentang Negarakertagama karya masterpiece Empu Prapanca. Kronik
sejarah yang paling lengkap dituliskan di masa Majapahit lengkap dengan detail
waktu perjalanan sang Maharaja Hayam Wuruk dalam periode emas Majapahit. Entah
apa yang ada didalam pikiran Slamet Muljana yang tekun menterjemahkan puputan
dari daun lontar dari Kronik Majapahit dari bahasa dan sastra Jawi Kuno.
Entah
apa pula yang ada didalam pikiran TH Pigeaude yang sudah menerjemahkan kedalam
bahasa Inggeris. TH Pigeaude akan uring-uringan setelah menyesal
menerjemahkannya.
Atau
bahkan J. Ensink tidak tenang di alam kubur ketika sedang melihat kedatangan
tahun 60-an kemudian dibantah 50 tahun kemudian. Bahkan Disertasi Suwito
Santosa akan dibongkar dari arsip di Universitas Canberra, Australia yang sudah
ngendon sejak 1969. Bahkan Kern akan “menghantui” diskusi sejarah yang sudah
terkubur sejak tahun 1875.
Bahkan
A. Teeuw (tokoh sastra Indonesia) menyesal membuat judul “Sriwaratrikalpa dan
Pati Brata” tentang Majapahit.
Pelajaran
Sejarah kemudian harus diperbaiki. Kurikulum kemudian harus mengubah tentang
sejarah Indonesia kontemporer. Buku-buku klasik sejarah Indonesia karya M. C.
Ricklefs harus ditarik dari peredaran karena dianggap karya asing. Ricklefs
dianggap telah menyebarkan “pemikiran” dari Negara-negara liberal. Ricklefs
tidak mendukung nasionalisme “ala” Indonesia.
J.
Ensink, TH Pigeaude, Kern, M. C. Ricklefs, dianggap bangsa kafir. Kafir harus
diperangi.
Sedangkan
Slamet Muljana, Suwito Santosa dianggap tidak nasionalis. Dan nasionalis harus
dikembalikan kepada Indonesia.
Para
ahli kemudian berkumpul. Rapat diadakan untuk meluruskan sejarah. Mengembalikan
sejarah sebagai jatidiri bangsa Indonesia yang berdaulat.
Instruksi
harus dilaksanakan. Indonesia harus berdaulat.
“MARI,
BUNG.. REBUT KEMBALI !!!