Dalam
sebuah pertemuan di Jambi, penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar dari
Riau tentang mengelola gambut. Masyarakat menyebutkan “gambut” (Desa Nipah Sendanu), mangrove atau bakau (Desa Tanjung Sari),
hutan mangrove (Desa Sungai Tohor). Kesempatan yang langka ini merupakan
sebuah proses melihat pengelolaan gambut di Riau.
Desa-desa
yang menarik perhatian penulis adalah Desa Tanjung Damai, Desa Nipah Sendanu, Desa
Lukun, Desa Tanjung Sari, Desa Bandar Jaya, Desa Sungai Linau dan Desa Sungai
Tohor.
Desa
Nipah Sendanu dan Desa Tanjung Sari merupakan Desa Pemekaran dari Desa Sungai
Tohor. Desa Sungai Tohor menjadi terkenal ketika kedatangan Jokowi tahun 2014.
Model pengelolaan gambut di Sungai Tohor merupakan inspirasi daerah-daerah yang
terdapat gambut.
Didalam
pengelolaan, masyarakat mengenal batas-batas Desa yang disebut “Sempadan”. Di Jambi dengan penamaan yang
berbeda-beda. Di Daerah hulu biasa disebut Tembo.
Sedangkan di daerah hilir dikenal Batas.
Masyarakat
juga mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Di Riau disebut “Kawasan larangan”. Di Desa Tanjung Sari, Gambut merupakan kawasan
yang dilindungi. Nilai ini juga terdapat di Jambi. Masyarakat hilir terutama di
daerah gambut juga menghormati gambut yang dilindungi. Daerah-daerah ini
ditandai dengan “akar bekait, jelutung
dan pakis”.
Di
Desa Lukun terdapat di Kawasan
Hutan Lindung dan Kawasan Tasik atau Danau. Begitu juga di Desa Bandar Jaya.
Kawasan hutan tidak boleh dibuka. Sedangkan di Jambi disebut “Hutan Hantu Pirau’.
Desa
Sungai Tohor juga melarang membuka di kawasan Tasik. Bahkan Sungai Tohor tegas
melarang membuka hingga 500 meter dari kawasan Tasik. Sungai Tohor juga
melarang kawasan hutan yang terdapat di hutan Mangrove (Gambut atau Rawa).
Sebagai
daerah yang tidak boleh dibuka, masyarakat tetap berhak untuk akses terhadap
kekayaan di daerah tersebut. Baik hasil-hasil seperti jelutung, ikan ataupun
hasil-hasil lainnya.
Didalam
tradisi membuka kawasan untuk pertanian atau perkebunan dikenal melalui
berbagai tahap. Kawasan diutamakan untuk masyarakat Desa. Masyarakat kemudian
berkumpul dan membentuk kelompok (Desa Nipah Sendanu, Desa Bandar Jaya) atau
rombongan (Desa Tanjung Sari). Masyarakat hanya dibenarkan untuk membuka seluas
2 hektar.
Bandingkan
di Jambi dikenal Bidang. Setiap kepala
keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa. Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk
membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter.
Setiap proses membuka lahan harus seizin
Kepala Desa (Desa Tanjung Damai). Sedangkan tahap untuk membuka lahan dengan
izin pemangku adat dikenal dengan istilah “Pancung
alas’.
Sedangkan
tahap selanjutnya, setiap pemilik tanah kemudian membersihkan lahan dengan “ditebas” (Desa Lukun) atau “tebang/tebas” (Desa Tanjung Sari) atau “imas tumbang” (Desa Bandar Jaya).
Selanjutnya
diharuskan membuat “tapal batas atau
sepadan” (Desa Tanjung Damai)
atau
“pancang” (Desa Sungai Linau) atau “parit dan patok” (Desa Sungai Tohor).
Sedangkan
di Jambi dikenal dengan istilah “Mentaro”.
Selain membuat batas (mentaro) juga
ditanami seperti pinang, jelutung ataupun tanaman yang dapat dipergunakan dan
dinikmati hasilnya oleh masyarakat.
Setelah ditebas lahan, maka
masyarakat menanam tanaman Karet, Kelapa, Sagu, Pinang (Desa Lukun). Sedangkan
di Jambi, mengenal “peumoan” yang
ditanami padi lokal. “Tanah peumoan”
tidak boleh dikonversi ke lahan perkebunan. Cara ini juga dikenal di Riau.
Setelah ditentukan “tanah peumoan”, maka kemudian barulah
ditentukan areal yang dipergunakan untuk perkebunan yang ditanami seperti kopi,
coklat, kelapa atau pinang.
Didalam menyelesaikan perselisihan
berkaitan pengelolaan gambut maka terhadap pemilik tanah yang tidak dikerjakan
selama waktu tertentu maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus. 3 tahun
(Desa Tanjung Damai, Desa Nipah Sendanu, Desa Lukun, Desa Tanjung Sari, Desa
Bandar Jaya) atau 5 Tahun (Desa Sungai Tohor).
Tanah kemudian kembali ke Desa. Dan
pemilik tanah tidak dibenarkan lagi untuk membuka lahan. Bahkan di Desa Tanjung
Sari, pemilik tanah justru dikeluarkan baik dari Kelompok tani maupun dari
Desa. Di Jambi mekanisme ini dikenal ”larangan
krenggo”.
Yang menarik adalah tanaman sagu. Sagu
merupakan komoditi utama masyarakat di Sungai Tohor. Dengan sagu selain mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat juga diekspor keluar daerah. Dengan menanami
sagu, masyarakat berkepentingan untuk menjaga kawasan gambut agar sagu tidak
hancur.
Melihat
nilai-nilai yang dilakukan oleh masyarakat di Riau maka nilai serupa juga
ditemukan di Jambi. Sehingga tidak salah kemudian seloko “adat sama pemakai beda” atau “Adat datar,
pemakaian bebeda”. Cara perlakuan gambut sudah lama dilakukan di
masyarakat gambut.
baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi